Tingginya Beban Hidup Mematikan Fitrah Ibu

MutiaraUmat.com -- Baru-baru ini telah terjadi pembunuhan oleh seorang ibu bernama Rohwana (38 tahun) terhadap bayinya sendiri di Kabupaten Bangka Belitung. Bayi tersebut dibunuh oleh ibunya dengan menenggelamkan tubuh bayi ke dalam ember. Kemudian membuangnya ke semak-semak dalam kebun milik warga. Ibu tersebut tega membunuh bayinya lantaran biaya hidup yang semakin tinggi (kumparanNews, 24/1).

Sebenarnya kasus ini bukanlah kali pertama terjadi. Kasus ini telah marak terjadi ditengah-tengah masyarakat. Karna tingginya biaya hidup dapat mematikan fitrah keibuan seorang perempuan. Padahal seorang ibu adalah pelita bagi anak-anaknya. Bermula dari lemahnya iman, ketidakpedulian masyarakat terhadap lingkungan sekitar ditambah negara tidak ikut andil dalam menjamin kebutuhan individu rakyatnya. 

Mengenai lemahnya keimanan, ketika dihadapkan dengan masalah membuat seorang ibu mudah untuk melakukan apa saja tanpa merujuk pada agama. Seorang ibu akan mudah stress ketika memikirkan tentang kebutuhan anaknya yang belum tercukupi ditambah dengan keadaan suami yang tidak bekerja hingga melampiaskan emosinya diluar kendali. 

Ketidakpedulian masyarakat juga menjadi pemicu timbulnya perbuatan-perbuatan yang  tidak masuk akal. Masyarakat tidak peduli dengan keadaan tetangga disekitarnya. Ia hanya berfokus mengurus urusan keluarganya sendiri tanpa peka terhadap lingkungan sekitar. Seperti halnya yang dilakukan ibu Rohwana ini. Ibu rohwana merasa ia tidak mempunyai tempat untuk berbagi cerita yang dapat membantunya dalam menyikapi permasalahan ini. Lengkap sudah penderitaan yang tengah dialami oleh seorang ibu sehingga dapat mematikan fitrah keibuannya. 

Dan yang paling berpengaruh adalah karena diterapkannya sistem kapitalisme dengan akidah sekuler, yaitu pemisahan agama di tengah kehidupan. Aturan agama tidak dipakai dalam kehidupan. Sehingga yang mendominasi di tengah kehidupan adalah ide-ide yang bukan berasal dari agama islam, melainkan lahir dari akidah barat. Akibatnya jika seorang ibu mengalami permasalahan hidup seperti himpitan ekonomi ini maka seorang ibu memilih untuk bekerja dan meninggalkan perannya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Ditambah suami tidak memahami perannya sebagai pencari nafkah yang akan menafkahi keluarga.

Hal ini yang semakin menambah kepanikan seorang ibu yang mendorongnya untuk bekerja bahkan sampai paruh waktu. Imbasnya pekerjaan rumah terbengkalai, anak dan suami tidak terurus.  Begitulah siklus kehidupan pada sistem kapitalisme ini yang menggandakan peran ibu untuk mengurus anak dan bekerja. Seringnya uang yang didapat juga tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarga. Sehingga kelahiran anak dianggap sebagai beban. 

Agama Islam diturunkan sebagai pemecah problematika kehidupan. Artinya setiap masalah, Islam mempunyai solusi tuntas untuk menanganinya. Termasuk menjaga fitrah keibuan seorang wanita. Fitrah ini muncul karena adanya naluri berkasih sayang dari seorang ibu. ketika seorang ibu memperlakukan anaknya dengan penuh cinta dan kasih sayang maka itu adalah perwujudan dari adanya naluri nau’. Naluri ini akan berjalan dengan baik jika kondisinya aman dan terkendali. Artinya seorang ibu akan bisa fokus dalam mendidik dan merawat anaknya ketika kebutuhan di dalam keluarga terpenuhi oleh suami. 

Namun semua ini sangat berkaitan erat dengan peran negara. Kebutuhan keluarga akan tercukupi apabila seorang suami bekerja. Dan yang bertugas untuk menyediakan lapangan pekerjaan ini adalah negara. Negara wajib untuk membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi masyarakat demi melangsungkan kehidupannya. Sehingga setiap kepala keluarga bebas dari pengangguran. Negara juga memberikan edukasi kepada suami dan istri tentang hak dan kewajibannya masing-masing. Suami sebagai pencari nafkah dan istri menjadi ibu dan pengurus rumah tangga. Sehingga telah memiliki porsi masing-masing yang harus dijalankannya. Jika suatu keadaan suami sudah lanjut usia yang tidak mampu lagi untuk bekerja atau meninggal maka nafkahnya akan ditangung oleh saudara laki-laki. Namun jika saudara laki-laki sudah benar-benar tidak sanggup maka akan di kembalikan kepada negara. 

Hal serupa pernah terjadi di masa pemerintahan Umar bin Khattab. Ketika pada malam hari Khalifah Umar sedang berjalan-jalan sambil memantau keadaan sekitar maka terdengarlah oleh Khalifah Umar percakapan antara seorang ibu dengan anak perempuannya yang tengah membohongi anaknya dengan mengatakan ia  memasak makanan untuk anaknya yang sedang kelaparan. Ia kelihatan sedang mengaduk makanan yang dimasaknya. Padahal cadangan makanan sudah tidak ada. Melihat kejadian tersebut Khalifah Umar langsung pergi ke Baitul mal untuk mengambil sekarung gandum yang akan diberikan kepada ibu tadi yang langsung membawa dipundaknya. Khalifah Umar tidak membiarkan keluarga tersebut berlarut-larut dalam kondisi kelaparan. 

Begitulah seharusnya peran negara, sehingga ibu akan mampu berjalan dengan fitrahnya. Terlebih ibu merupakan pencetak generasi rabbani bagi peradaban. Karena didikan ibulah seorang anak bisa menjadi orang yang bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. Anak yang tercukupi kasih sayang dari seorang ibu akan tumbuh dengan baik menjadi pribadi yang berakhlak mulia yang merupakan hasil didikan orang tuanya. Karna suksesnya seorang anak adalah karena adanya seorang ibu hebat dibelakangnya yang selalu memberikan pengajaran dan didikan yang luar biasa. Alhasil akan lahirlah generasi-seperti generasi seperti para sahabat terdahulu yang memiliki banyak keahlian di bidangnya. Sebut saja Ibnu Sina sebagai bapak kedokteran dan juga ahli di bidang filsafat yang semua itu tidak terlepas dari peran dan didikan ibu.

Begitu gemilangnya peradaban Islam yang mampu merawat fitrah keibuan seorang wanita disertai mekanisme terhadap terpenuhinya kebutuhan ekonomi di dalam keluarga yang tidak mengharuskan seorang istri untuk bekerja. Maka kehidupan seperti inilah yang harus dirindukan umat. Wallahu'alam Bishowab


Oleh: Delfi Sarlina
(Aktivis Muslimah)

0 Komentar