Debat Cawapres Hilang: Otoriter, KPU Pengawal atau Penjagal Demokrasi?

MutiaraUmat.com -- Belum juga reda isu pengkondisian syarat untuk menjadi Capres dan Cawapres terkait dengan batas usia minimumnya dengan cara "merudapaksa" Mahkamah Konstitusi agar meloloskan judicial review atas Pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017, kini hal serupa juga dilakukan oleh KPU dengan merudapaksa ketentuan tentang debat capres dan cawapres.

Pada Pasal 169 huruf q secara limitatif ditentukan bahwa batas minimum calon presiden dan wakil presiden 40 tahun. Tidak perlu tafsir lain apa pun. Tiba-tiba harus di rudapaksa dengan tafsir lain yang terkesan "merudakpaksa" dengan amar putusan yang berbunyi:

“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan, 'berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun' bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’,” (Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman membacakan putusan pada Senin (16/10/2023) di Ruang Sidang Pleno MK).

Masih terkait dengan penyelenggaraan pemilu, khususnya Pilpres, dugaan kuat adanya rudapaksa kini dilakukan oleh KPU untuk mengubah format debat pasangan presiden dan wakil presiden tetapi dengan menghilangkan debat calon wakil presiden. Sementara itu, Pasal 277 ayat (1) UU Pemilu menegaskan bahwa “Debat Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan 5 (lima) kali”. Penjelasan UU Pemilu Pasal 277 ayat (1) berbunyi: "Yang dimaksud dengan debat Pasangan Calon dilaksanakan 5 (lima) kali adalah dilaksanakan 3 (tiga) kali untuk calon Presiden dan 2 (dua) kali untuk calon Wakil Presiden."

Jadi, jika ada kebijakan untuk menggabungkan debat calon Presiden dengan debat calon Wakil Presiden, atau menghilangkan debat khusus calon Presiden, atau debat khusus calon Wakil Presiden, maka hal itu tentu saja melanggar UU Pemilu ini, yang secara tegas memisahkan debat calon Presiden sebanyak 3 kali dan debat calon Wakil Presiden sebanyak 2 kali.

Kita perlu merasa prihatin atas pembuatan dan penegakan hukum di negeri ini. Patut diduga KPU telah sengaja mengubah secara paksa (BIFURKASI) prinsip negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945) menjadi negara kekuasaan. Dalam negara kekuasaan, hukum hanya dipakai oleh pemerintah melalui berbagai sarana untuk menjadi alat legitimasi status quonya yang oleh Brian Z. Tamanaha (On The Rule of Law 2012) disebut sebagai The Thinnest Rule of Law. Istilah sadisnya adalah kekuasaan pemerintah dijalankan secara otoriter.

Perilaku pejabat pemerintah negara yang suka mengubah hukum demi kepentingan pribadi atau kelompok (vested interest) oleh Levitsky dan Ziblatt (How Democracies Die: 2018) sebagai karakter pemerintahan negara yang otoriter dan akan membunuh demokrasi itu sendiri (suicide). Levitsky dan Ziblatt menyebut perilaku otoriter itu dengan kalimat "rejection of (or weak commitment to) democratic rules of the game" dengan menanyakan satu indikator "do they reject the constitution or express a willingness to violate it?" Perilaku otoriter ini dilakukan dengan cara suka mengubah-ubah peraturan yang dinilai tidak menguntungkan rezim kekuasaan sekarang tanpa pertimbangan aspek kebenaran dan keadilan. Jika perilaku ini diteruskan, maka tidak potensi matinya demokrasi sangat besar sekali. Hukum hanya akan menjadi alat legitimasi kekuasaan.

Perilaku yang suka mengubah peraturan demi kepentingan diri atau kelompoknya apalagi disertai pemberlakuan aturan baru yang menyimpang, maka perilaku tersebut jelas bisa disebut sebagai perilaku tidak bermoral dalam pembentukan dan penegakan hukum. Adalah Lon L Fuller (Cavendish Law Card: 1997) yang memperkenalkan tentang moralitas hukum dengan memerinci ada 8 prinsip moralitas prosedural dalam legislasi, yaitu:

(1) There must be rules;
(2) The rules must be prospective and not retroactive;
(3) The rules must be published;
(4) The rules must be intelligible;
(5) The rules must not be contradictory;
(6) Compliance with the rules must be possible;
(7) The rules must not be constantly changinG; and
(8) There must be a congruency between the rules as declared and published and the actions of officials rsspinsible for the application and enforcement of such rules.

Oleh Lon L Fuller, ketika suatu aturan baru yang dikeluarkan tidak memenuhi 8 prinsip itu, maka peraturan hukum itu dikatakan tidak bermoral. Apakah kebijakan KPU tentang Perubahan model debat capres dan cawapres itu bermoral? Jika kita perhatikan maka, kebijakan ini tidak menenuhi beberapa prinsip moralitas hukum dan artinya kebijakan ini melegalkan pelanggaran hukum dan moral.

Kebijakan KPU ini juga dapat dinilai tidak memenuhi prinsip moralitas hukum yang ke-7, yakni seharusnya peraturan tidak mudah diubah sesuai dengan kemauan "penguasa" karena akan menimbulkan ketidakpastian, apalagi patut diduga perubahannya hanya untuk kepentingan sesaat dan vested interest. Tidak ada legal reasoning yang menjadi dasar hukum perubahannya bahkan semakin menunjukkan tidak terpenuhinya prinsip ke-8 yakni adanya inkonsistensi antara aturan baik bermoral dengan aplikasi atau perilaku penegakan aturannya. 

KPU mestinya kembali ke prinsip dasarnya bahwa KPU mesti independen dalam penyelenggaraan pemilu. Ikut "cawe-cawe-nya" KPU demi keuntungan tertentu bagi pasangan calon yang bertarung menunjukkan proses demoktratisasi di negeri ini telah mengalami penyimpangan bahkan mendorong sekarat hingga matinya demokrasi. Apakah memang betul bahwa penentu kemenangan salah satu paslon dalam pilpres itu bukan di tangan rakyat, tetapi di tangan KPU? Kita perlu menuntut agar KPU mengembalikan format debat pasangan calon presiden dan wakil presiden, yakni tanpa menghapuskan debat wakil presiden. Kita perlu mengetahui isi pikiran dan hati calon presiden mengingat ada kemungkinan wakil presiden akan menggantikan posisi presiden jika presiden terpilih mangkat atau berhalangan tetap. Tunjukkan bahwa KPU juga berperan sebagai pengawal demokrasi, bukan penjagal demokrasi dengan modus mengubah-ubah aturan hukum demi memuaskan nafsu serakah penguasa. Tabik![]

Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat 
Semarang: Ahad, 3 Desember 2023

0 Komentar