Bencana Banjir Kembali Terjadi, Butuh Mitigasi Komprenensif


MutiaraUmat.com -- Musim yang tak menentu memungkinkan terjadi curah hujan yang sangat tinggi di berbagai wilayah di Indonesia. Ditambah dengan lahan resapan yang berkurang karena alih fungsi lahan dan kerusakan alam akibat ulah manusia menyebabkan bahaya banjir termasuk banjir bandang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. 

Salah satu bencana yang terjadi baru-baru ini adalah bencana banjir bandang dan lahar di Sumatra Barat. Penyebab banjir yang terungkap akibat praktik 'deforesasi' yang makin luas dan terakumulasi selama bertahun-tahun di Taman Nasional Kerinci Seblat. Jumlah korban mencapai 50 orang sementara ratusan warga mengungsi akibat bencana ini (BBC, 13 Mei 2024).

Selain itu, luapan banjir Sungai Lalindu setinggi 2 m yang melanda Desa Sambandale, Kecamatan Ohea, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Utara membuat jalan Tran Sulawesi lumpuh total. Sekitar 3 km antrean panjang kendaraan yang mengalami lumpuh total dari arah Kendari-Monowali dan sebaliknya dilansi Antara (Sabtu, 11 Mei 2024).

Namun, sangat di sayangkan walaupun curah hujan tinggi saat musim hujan pasti akan menimbulkan bencana atau bahaya. Namun, antisipasi dan mitigasi yang baik yang merupakan faktor lain yang bisa diupayakan agar dampak curah hujan maupun debit air tinggi saat musim hujan tidak meluas hingga menyebabkan dampak yang lebih besar bagi masyarakat tidak mendapat perhatian yang serius.

Selain itu,  berkurangnya area resapan air akibat pembangunan yang ugal-ugalan menjadikan banjir dan air tergenang tak kunjung surut dalam jangka lama hingga warga terpaksa mengungsi. Pembangunan yang dilakukan tidak memperhatikan aspek lingkungan. Pengalihan fungsi lahan ini  membuat jadi berkurangnya area resapan. Tentu hal ini akan menyebabkan banjir dan tanah longsor. Pembangunan yang dilakukan dalam arahan kapitalisme hanya mengakibatkan berbagai kerusakan dalam tata kelola lingkungan dan mengganggu ruang hidup. 

Dan sangat disayangkan, pembangunan-pembangunan ini justru mendapat legalitas dari pemerintah dengan alasan investasi dan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Walaupun efek kemanfaatan  pembangunan untuk rakyatpun masih menjadi pertanyaan besar. 

Ditambah dengan industrialisasi yang semakin masif telah menyebabkan kacaunya tata ruang wilayah. Semua ini tidak lepas dari konsep ekonomi liberalisme yang diatur dalam sistem ekonomi kapitalisme.  

Indikator-indikator pertumbuhan ekonomi yang bisa dilihat dengan masifnya pembangunan yang dilakukan nyatanya berupa pertumbuhan ekonomi yang sejatinya angka-angka fantasi. Apalagi jika pada akhirnya justru bencana banjir yang datang, tidakkah kebijakan pembangunan tersebut bisa kita katakan offside? Untuk itu, hendaklah hal ini bisa menjadi pelajaran bagi daerah-daerah lainnya.

Selain itu sangat jelas terlihat, atas nama investasi dan pertumbuhan ekonomi negara melegalisasi penguasaan aset-aset strategis seperti hutan dll yang merupakan milik publik oleh individu dan korporasi padahal kebijakan tersebut telah nyata merampas ruang hidup orang banyak dengan bencana-bencana yang terjadi termasuk banjir dan tanah longsor. 

Firman Allah, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Ruum [30]: 41).

Berbeda dengan sistem Islam sebagai pedoman dalam kehidupan, termasuk dalam pengambilan berbagai kebijakan politik oleh penguasa. Dalam Islam konsep pembangunan akan  berorientasi pada keselamatan rakyat dan lingkungan. Seperti hutan yang merupakan kepemilikan umum maka tidak akan pernah hak dan pengelolaan diserahkan kepada individu atau korporasi. Islam juga akan melarang terjadinya pembangunan brutal yang merugikan rakyat. 

Islam juga menjadikan negara sebagai raa'in atau pengurus urusan rakyat. Negara akan bertanggung jawab menjalankan aturan tersebut sesuai Al Qur'an dan As Sunnah. Rasulullah saw. bersabda, “Imam/khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).

Adapun kasus banjir yang disebabkan okelah keterbatasan daya tampung tanah terhadap curahan air maka Khilafah akan menerapkan kebijakan sebagai berikut : 
1. Membangun bendungan-bendungan yang mampu menampung curahan air hujan dan lain sebagainya
2. Khilafah akan memetakan daerah-daerah yang rendah dan rawan banjir akibat kapasitas resapan air yang minim. Dan selanjutnya akan melarang masyarakat untuk membuat pemukiman di wilayah-wilayah tersebut. Atau jika ada pendanaan yang cukup, khilafah akan membangun kanal-kanal yang baru agar air  meresap yang mengalir ke daerah tersebut bisa dialihkan alirannya atau bisa diserap oleh tanah secara maksimal.

Jika tidak mungkin maka Khilafah akan merelokasi penduduk yang ada di wilayah tersebut ke wilayah lain dengan memberikan kompensasi atau ganti rugi. 

3. Khilafah akan membangun kanal-kanal, sungai buatan, drainase dan berbagai sarana lain untuk mengurangi dan mencegah penumpukan volume air atau mengalihkannya ke wilayah yang lebih aman.

Secara berkala khilafah akan membersihkan sungai-sungai atau daerah aliran air agar tidak terjadi pendangkalan.

4. Khilafah akan membangun sumur-sumur resapan di kawasan tersebut yang berfungsi selain untuk resapan bisa juga untuk tandon air yang diperlukan ketika musim kemarau. 
 
Demikianlah solusi Islam yang memberi kebaikan untuk masyarakat. Wallahualam bissawab.

Oleh. Eva Fauziyah
Aktivis Muslimah

0 Komentar