Generasi Dihantui Pengangguran Massal Ruji'in

TintaSiyasi.id -- Indonesia Emas yang dicanangkan oleh negara kita memberikan pertanyaan besar. Substansi Gen Z untuk meraih pekerjaan sangat besar, bahkan hampir 10 juta Gen Z menjadi pengangguran di negeri ini. Negara menginginkan keterampilan tinggi dari Gen Z, sementara negara tidak menciptakan akomodasi suplai pekerjaan. Sehingga, larinya ke pekerjaan informal.

Berdasarkan data, 60% Gen Z yang memiliki pendidikan rendah mengambil suplai pekerjaan informal, sedangkan 40% lainnya berada pada skill yang tinggi dengan suplai pekerjaan formal. Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan: apakah negara ini bisa menuju Indonesia Emas? Karena persoalan suplai akan berdampak langsung pada kemiskinan. Seharusnya, realisasi antara lapangan pekerjaan dan pengentasan kemiskinan dapat diatasi. Namun, hingga kini hal itu masih menjadi PR besar.

Dilansir CNBC Indonesia (1/5/2025), gelar sarjana dulu dipuja, dianggap sebagai pintu menuju masa depan cerah. Namun kenyataan berkata lain. Makin banyak lulusan universitas di Indonesia justru masuk dalam lingkaran pengangguran, menunggu tanpa kepastian di tengah pasar kerja yang kian selektif dan jenuh.

Generasi Z menjadi penyumbang terbesar angka pengangguran di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh kondisi negara, sistem pendidikan, dan lapangan pekerjaan yang tidak memadai. Ketika jumlah angkatan kerja lebih besar dibandingkan dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia, maka opsi yang dipilih adalah pendidikan tinggi pada sektor formal. Akibatnya, timbul ketidakberdayaan di sektor pendidikan rendah yang sebenarnya juga memiliki potensi kontribusi, tetapi dianggap tidak penting.

Negara Indonesia yang memiliki sumber daya alam (SDA) sangat melimpah justru mengesampingkan penyediaan lapangan kerja bagi rakyatnya. Negara lebih memilih membuat regulasi yang menguntungkan korporasi, sehingga pengayoman terhadap masyarakat sangat minim. Maka wajar jika mayoritas Gen Z memilih untuk “kabur aja dulu”. Mereka justru berinovasi sendiri, bahkan meningkatkan keterampilan tanpa campur tangan negara. Padahal, realitanya skill tinggi kerap hanya bisa dicapai oleh mereka yang mampu menempuh pendidikan tinggi, dan peran negara di sini seharusnya sangat krusial.

Ironisnya, Indonesia sendiri tergolong negara dengan tingkat keterampilan rendah. Ketika negara tidak mampu memproduksi secara mandiri dengan variasi yang cukup, maka yang terjadi adalah ketergantungan pada impor dari negara tetangga. Begitu pula dengan pengelolaan SDA yang melimpah tetapi dikacaukan oleh kebijakan yang lemah.

Kebijakan negara yang lepas tangan dari peran dasarnya merupakan akibat dari sistem kapitalistik. Sistem ini memberi keleluasaan kepada para korporasi untuk menguasai SDA negara. Para penguasa sering mengambil kebijakan tanpa dasar Islam. Contohnya adalah kebijakan pembatasan kelahiran yang dilakukan oleh Gubernur Jawa Barat pada akhir April lalu, dengan rencana mensyaratkan vasektomi atau KB pria permanen kepada warga miskin penerima bansos. Ini menunjukkan bahwa para pemimpin memiliki pemahaman dan literasi yang sangat minim.

Masalah hari ini bukan soal jumlah anak, melainkan minimnya akomodasi untuk menciptakan lapangan kerja dengan akses pendidikan tinggi yang adil. Untuk bisa menempuh pendidikan tinggi saja, mahasiswa kini dihadapkan pada kenaikan UKT yang tak masuk akal. Hal ini makin menekan Gen Z, terutama dari kalangan ekonomi lemah, sehingga peluang mengakses pendidikan berkualitas menjadi sangat kecil.

Negara seharusnya memberikan lapangan kerja yang sejalan dengan pendidikan tinggi dan keterampilan tinggi, agar generasi muda memiliki standar kompetensi di sektor formal, dan terhindar dari kondisi ekonomi yang lemah.

Fakta lainnya, tingginya angka pengangguran Gen Z juga berbanding lurus dengan peningkatan angka kriminalitas. Inilah dampak dari kebijakan kapitalistik yang hanya fokus pada peningkatan investasi dan ekspor. Mereka menuntut Gen Z memiliki keterampilan tinggi untuk berkontribusi, sedangkan para penguasa yang membuat kebijakan justru tak memiliki kapasitas dan kompetensi yang setara. Akibatnya, kebijakan menjadi tidak akurat dan fatal. Bahkan, negara hanya menjadi regulator bagi kepentingan kapitalis-korporasi yang menyerap tenaga kerja asing.

Berbanding terbalik dengan Islam yang jika dijadikan asas kehidupan, telah terbukti mampu menciptakan peradaban mulia selama 13 abad dan menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat. Islam memiliki sejumlah kebijakan untuk mencegah dan mengatasi pengangguran. Di antaranya adalah memberikan pendidikan gratis agar generasi dapat meraih keterampilan tinggi, serta menciptakan lapangan kerja sesuai kapasitas dan kebutuhan rakyat.

Negara Islam menyerap berbagai sektor tenaga kerja, sehingga lapangan pekerjaan selalu terbuka dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, bukan hanya kepentingan elite. Negara Islam juga memiliki regulasi pengelolaan SDA yang hasilnya akan dikembalikan sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat. Islam memuliakan wanita dan mewajibkan laki-laki untuk bekerja.

Sungguh, hanya kepemimpinan Islam yang dapat mewujudkan keadilan sosial dan hukum secara nyata di tengah masyarakat.

Wallahu a‘lam bish-shawab.

Oleh: Ruji'in 
(Pegiat Opini Lainea Konawe Selatan)

0 Komentar