Rakyat Dipalak Berskandal Pajak


MutiaraUmat.com -- Ambyar! Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tetap dinaikkan menjadi 12 persen meski terdapat banyak kontra di masyarakat. PPN dinaikkan dengan dalih menjaga kesehatan APBN di saat prospek penerimaan macet akibat kondisi global yang tidak pasti. PPN juga dinilai akan mengurangi utang negara serta meningkatkan pendapatan negara. Namun dengan kondisi daya beli masyarakat yang telah menurun, apakah adanya kenaikan PPN ini tidak semakin menekan mereka?

Dikutip dari AudioBerita (14/11/2024), pemerintah tetap menaikkan tarif PPN meskipun telah mendapat kritik dari berbagai kalangan. Kebijakan ini dinilai akan semakin menekan daya beli masyarakat dan mengganggu perputaran roda ekonomi di kondisi perekonomian yang telah lesu.

Pemberlakuan PPN ini bersifat agresif, sebab semakin rendah pendapatan seseorang maka porsi pajaknya makin besar dan semakin besar pendapatan maka porsi pajaknya semakin kecil. Dengan membeli barang yang sama orang miskin bayar 12 persen, orang kaya bayar 12 persen. Apalagi di negeri penuh koruptor ini, rakyat dicekik dengan palak yang berskandal pajak, lantas dinikmati oleh penguasa, pejabat, dan jajarannya.


Menyakiti Rakyat

Di sisi lain, kebijakan itu akan menyebabkan inflasi, harga akan naik secara spiral. Inflasi akan mengurangi konsumsi masyarakat, terutama bagi kalangan menengah ke bawah yang terkena dampak kenaikan harga. Penurunan konsumsi dapat menekan pertumbuhan ekonomi. Peningkatan pendapatan negara pun seharusnya tidak menyakiti rakyat.

Inilah buah dari sistem kapitalisme yang mana pajak menjadi sumber utama pendapatan negara. Rakyat menjadi sasaran utama untuk menambal kebocoran pendapatan negara. Sementara kekayaan alam yang luar biasa besar malah diserahkan kepada pihak swasta. Padahal dari kekayaan alam inilah semestinya negara bisa hidup.

Pada hakikatnya, di negeri barat pajak terus menjadi polemik. Bahkan pajak tidak lagi menyasar orang kaya, tapi ke semua lapisan sosial. Pajak dalam istilah barat adalah pungutan yang diwajibkan negara kepada rakyat untuk mengatur urusan mereka. Akan tetapi secara filosofis sebagian orang menuduh bahwa pajak adalah cara pemerintah mencuri uang rakyat secara paksa, karena rakyat bekerja keras sedangkan pemerintah hanya menarik uang mereka.


Pajak Haram

Dalam pandangan Islam, pajak (dharibah) dengan menarik pungutan dari rakyat hukum asalnya adalah haram. Islam lewat syariatnya telah menetapkan kondisi-kondisi tertentu yang membolehkan negara menetapkan pajak atas rakyat.

Nabi SAW pun mengatur urusan-urusan umat dengan pemasukan-pemasukan tertentu. Beliau tidak pernah mewajibkan pajak kepada masyarakat. Saat mengetaui orang-orang yang berada di perbatasan negara mengambil pajak atas barang-barang dagangan orang yang masuk ke dalam negara. Beliau segera melarang hal itu.

‘Uqbah bin ‘Amir menuturkan bahwa ia pernah mendengar Nabi SAW bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang menarik cukai (pajak barang dagangan)” (HR Ahmad). Juga yang dituturkan Ruwaifi’ bin Tsabit: Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Sungguh pemungut cukai (pajak) berada di neraka" (HR Abu ‘Ubaid di dalam kitab Al-Amwaal).


Bersifat Insidental

Pajak merupakan sumber penerimaan terakhir, jika pos-pos yang ditetapkan syariat tidak mencukupi untuk membiayai pos-pos yang wajib dilaksanakan. Pajak juga hanya dikenakan pada kalangan yang kaya dari kaum Muslim, sehingga tidak termasuk orang-orang yang kurang mampu.

Ini artinya pajak itu bersifat insidental, yakni ketika kas negara (Baitul Mal) sedang kosong. Besarnya pun dibatasi berdasarkan kebutuhan kas negara dalam rangka mencukupi kebutuhan-kebutuhan vital negara.

Maka dari itu, kita harus menyerukan kepada penguasa di negara ini untuk meninggalkan sistem kapitalisme dan menerapkan aturan-aturan Allah SWT dan Rasul-Nya dalam pengelolaan APBN. Sehingga mengenakan pajak dengan cara yang membuat rakyat tercekik.

Syariat Islam tidak akan diwujudkan tanpa adanya daulah islamiyah, yang mana negara menjadi ra’in serta bertanggung jawab atas semua urusan rakyat. Dengan ini rakyat tidak akan sengsara dan tertekan karena kebijakan-kebijakan penguasa, karena penguasa islam akan menggunakan syariat Islam di segala hal. Wallahu a’lam bishshawab. []


Rihadatul Aisy S.
Aktivis Muslimah

0 Komentar