Badai PHK Melanda, Kapan Rakyat Sejahtera?
MutiaraUmat.com -- May Day, lebih dari sekadar seremonial. Hari itu menjadi simbol perjuangan kaum pekerja untuk mendapatkan hak-haknya, termasuk melawan praktik-praktik ketidakadilan di tempat kerja. Kado pahit dalam peringatan May Day tahun ini dan salah satu isu yang terus menjadi perhatian adalah tingginya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) khususnya di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Indonesia kembali mencetak “rekor” yang menyedihkan. Pabrik raksasa tekstil Sritex Group , PT Sanken, PT Yamaha Musik dan beberapa PT ternama terpaksa harus gulung tikar dan mengorbankan puluhan ribu buruh.
Menurut laporan terbaru dari International Monetary Fund (IMF), negeri ini menempati posisi tertinggi dalam tingkat pengangguran se-ASEAN pada tahun 2024 (kompas.com, 30/04/2025). Laporan dari Kementerian Ketenagakerjaan, angka pekerja yang terkena PHK mencapai 24.036 orang pada Januari hingga April 2025. Angka ini sudah sepertiga lebih dari tahun 2024. Artinya jumlah PHK lebih besar dibanding periode yang sama tahun lalu (year-on year) yakni 77.965 orang (Kompas.com, 6/5/2025).
Penyebab PHK Massal
Gelombang PHK mencerminkan situasi sistem ekonomi global yang penuh dengan ketidakpastian. Sistem ekonomi yang berlaku di Indonesia dan hampir di seluruh dunia telah mengatur sistem ketenagakerjaan dengan paradigma ideologi kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme, pekerja dianggap sebagai faktor produksi yang harus diminimalkan pengeluarannya demi efesiensi biaya produksi perusahaan dengan tujuan agar mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Agar tujuan itu dapat diraih, maka pemilik perusahaan atau pemilik modal akan melakukan sebuah tindakan untuk mewujudkannya. Di antaranya pada perekrutan pekerja demi memaksimalkan target produksi.
Modal juga merupakan faktor utama dari sistem kapitalisme. Semua produksi tidak akan bisa berjalan tanpa adanya modal. Wajar saja jika perusahaan atau pemilik modal memiliki kuasa terkait kepemilikan pribadi atas alat produksi, pasar bebas, dan minimnya peran negara dalam kegiatan ekonomi. Perusahaan juga memiliki kebebasan untuk mengelola tenaga kerja, menetapkan perekrutan tenaga kerja, menentukan PHK berdasarkan perhitungan bisnis dan benefit yang dapat diambil, bukan lagi berdasarkan kesejahteraan tenaga kerja.
Negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator bagi investor dan pemilik modal, sehingga menciptakan iklim bisnis yang tidak sehat dan berujung pada PHK massal. Regulasi seperti UU Cipta Kerja justru memperparah kondisi buruh dengan melegalkan mekanisme outsourching, PHK dan menekan hak hak buruh. Eksploitasi juga meluas termasuk pada pekerja informal dan magang, tanpa jaminan kesejahteraan yang memadai.
Negara mandul berperan sebagai pengurus urusan rakyat untuk terlibat langsung dalam menciptakan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan tenaga kerja. Negara pun membiarkan industri berkembang sesuai mekanisme pasar melalui skema investasi, privatisasi, dan liberalisasi ekonomi menjadi paket komplit badai PHK ini terus berulang yang tentu saja berdampak pada penurunan pendapatan, ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Maka tak heran jika jumlah pengangguran terus melambung dan kesenjangan sosial makin menganga.
Berbagai problem masyarakat begitu pelik, akankah kesejahteraan itu dapat dirasakan dalam sistem ini?
Sejahtera Hanya Akan Terwujud dalam Sistem Islam
Islam memiliki konsep yang berbeda dengan kapitalisme. Dalam Islam kesejahteraan diukur apabila terpenuhinya kebutuhan pokok bagi setiap individu masyarakat, termasuk dalam mengelola sistem ketenagakerjaan. Pekerja dalam Islam bukanlah faktor produksi sebagaimana di sistem kapitalisme yang harus ditekan biayanya, melainkan setiap orang bekerja dengan gaji (upah) tertentu tanpa dibedakan apakah pegawai negara maupun pekerja lain. Misalnya buruh tani, pelayan, buruh pabrik, akuntan dan pegawai negara ini sama sama disebut ajir (pekerja) dan diberlakukan hukum hukum ijarah yang sama.
Adapun mengenai mekanisme upah/gaji, Syekh Taqiyyudin An-Nabhani rahimahullah menjelaskan dalam kitab Muqoddimah Ad Dustur pasal 155 “upah/gaji ditentukan sesuai dengan manfaat kerja, dan bisa juga sesuai dengan manfaat pekerja”. Bukan biaya hidup. Pengusaha tidak bertanggung jawab atas semua pemenuhan kebutuhan hidup pekerja, melainkan ini adalah tanggung jawab negara. Tidak ada kenaikan gaji bagi para pekerja, tetapi mereka diberi semua upah yang menjadi hak mereka. Sehingga tidak perlu ada standar upah minimum regional yang menyebabkan eksploitasi para pekerja oleh majikan / perusahaan.
Kalaupun terjadi perselisihan, keduanya harus merujuk kepada upah yang semisal atau yang sepadan. Upah yang semisal atau yang sepadan itu ditetapkan oleh ahli finansial (khobiru maliy) yang ditunjuk oleh negara dengan memperhatikan pekerjaannya, pekerjanya, waktu dan tempat. Jika masih belum terjadi kesepakatan, maka negara akan menghadirkan para pakar yang mempunyai wewenang untuk memaksa kedua belah pihak untuk mengikuti keputusan pakar tersebut.
Negara wajib menjamin pemenuhan dasar seluruh rakyat, termasuk pekerja, yaitu sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Negara mewujudkan jaminan tersebut dengan menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyat sehingga semua laki laki dewasa memiliki pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan pokok untuk keluarganya. Hanya Islam yang memiliki mekanisme yang begitu rinci dan jelas. Sistem inilah yang seharusnya diterapkan di tengah tengah masyarakat dan digunakan untuk mengatur seluruh interaksi ekonomi yang ada di dalam maupun di luar negeri.
Di tengah keputusasaan manusia menyelesaikan problem-problem ekonomi yang diakibatkan oleh penerapan sistem kapitalis, sudah seharusnya kaum muslim sadar dan mendalami sistem ekonomi Islam, menerapkannya dan mencabut sistem ekonomi kapitalis dari benak kaum Muslim serta dari kehidupan masyarakat dan negara. Wallahu a'lam bishshawab. []
Ahsani Annajma
(Aktivis Muslimah dan Pegiat Literasi)
0 Komentar