Tenang Menghadapi Ujian, Membuat Setan Kepanasan


Mutiaraumat.com -- Setan paling senang ketika manusia bereaksi berlebihan. Marah, meledak dan membalas, lalu merasa paling dizalimi. Sebaliknya, setan paling kepanasan ketika manusia tenang, padahal sedang diuji. Bukan karena ia tak merasa sakit, tetapi karena ia memilih bersandar kepada Allah, bukan pada respon manusia.

Ujian hidup seringkali datang bukan dalam bentuk musibah besar, melainkan lewat sikap orang terdekat, seperti ucapan yang menyakitkan, perlakuan yang tak adil, pengkhianatan, atau pengabaian.

Di titik inilah iman diuji. Apakah hati ini dikendalikan oleh emosi, atau dituntun oleh keyakinan bahwa semua yang terjadi berada dalam pengaturan Allah.
Allah berfirman,

“Dan sungguh Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.”
(QS. Al-Baqarah: 155)

Perhatikan, kabar gembira tidak diberikan kepada mereka yang paling ribut mengeluh, tetapi kepada orang-orang yang sabar. Sabar bukan berarti lemah. Sabar adalah kekuatan batin yang matang, yang mampu menahan diri dari reaksi destruktif.

Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa sabar adalah kemampuan menahan dorongan nafsu saat akal dan iman memanggil untuk taat. Maka orang yang sabar bukan orang tanpa rasa, tetapi orang yang menundukkan rasa di bawah perintah Allah.

Manusia ikhlas memandang ujian dengan cara yang berbeda. Ia tidak sibuk bertanya, “Kenapa mereka berbuat seperti itu padaku?” tetapi bertanya, “Apa yang Allah ingin ajarkan kepadaku lewat peristiwa ini?” Fokusnya bukan pada manusia, melainkan pada hikmah Ilahi.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata,

“Jika Allah mencintai seorang hamba, Dia akan sibukkan hatinya dengan-Nya, bukan dengan makhluk.”

Inilah kunci ketenangan. Ketika hati sibuk kepada Allah, maka tingkah polah manusia tidak lagi menjadi pusat emosi. Dipuji tidak terbang, dicela tidak tumbang. Diperlakukan baik bersyukur, diperlakukan buruk tetap menjaga adab.

Manusia yang ikhlas paham bahwa manusia lain hanyalah alat ujian, bukan penentu kebahagiaan. Ia sadar, jika Allah berkehendak mengangkat derajatnya, maka ujian akan datang melalui orang-orang yang tak disangka-sangka.

Rasulullah Saw bersabda,

“Sungguh menakjubkan perkara orang beriman. Semua urusannya baik baginya. Jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur dan itu baik baginya. Jika ia tertimpa kesusahan, ia bersabar dan itu baik baginya.”
(HR. Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa standar hidup seorang mukmin bukan reaksi emosional, tetapi respon iman. Baik atau buruk keadaan, semuanya bermuara pada kebaikan jika disikapi dengan iman.

Setan ingin manusia bereaksi. Ingin manusia membalas dengan amarah, sindiran, drama, dan pembenaran diri. Ketika manusia memilih diam, berdoa, memperbaiki diri, dan menyerahkan urusan kepada Allah, maka di situlah setan kalah telak. Ia kepanasan karena gagal memancing dosa.

Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani mengingatkan,

“Jika kamu ingin tahu kedudukanmu di sisi Allah, lihatlah ke mana hatimu condong saat diuji.”

Apakah condong pada dendam, atau pada doa? Pada amarah, atau pada istighfar?
Tenang dalam ujian bukan berarti ujian itu ringan. Tenang adalah buah dari keyakinan bahwa Allah Maha Adil dan tidak pernah salah menakar ujian hamba-Nya. Dan siapa pun yang mampu menjaga adabnya di tengah luka, menjaga lisannya di tengah kecewa, serta menjaga imannya di tengah kekacauan, maka dialah pemenang sejati.

Karena pada akhirnya, bukan mereka yang paling keras suaranya yang dimuliakan Allah, tetapi mereka yang paling kokoh imannya saat diuji dan di situlah setan benar-benar kepanasan.[]

Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)

0 Komentar