Perusakan Alam Buah Sistem Kapitalisme, Berakibat Bencana di Sumatra
MutiaraUmat.com -- Tito Karnavian, Menteri Dalam Negeri menyampaikan terkait belum ditetapkannya status bencana nasional terhadap bencana banjir dan longsor di Sumatra Utara (Sumut), Aceh, dan Sumatra Barat (Sumbar).
Ia mejelaskan, meski status bencana nasional belum ditetapkan, akan tetap penangnan bencana di wilayah tersebut dilakukan sudah setara bencana nasional.
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan kesiapan anggaran untuk penanganan bencana di Sumatera, meskipun terjadi penurunan alokasi dari sekitar Rp 2 triliun menjadi Rp 491 miliar.
Isu penurunan anggaran ini sebelumnya sempat memicu perhatian publik, terutama di tengah besarnya kebutuhan untuk menangani dampak banjir dan longsor yang terjadi secara masif di berbagai provinsi.
Purbaya Yudhi Sadewa Menteri Keuangan (Menkeu) menegaskan, realisasi anggaran sepenuhnya menyesuaikan dengan permintaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Hal tersebut disampaikan dalam acara Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Kadin di Park Hyatt Jakarta, Senin (1/12/2025).
Penyebabnya tidak hanya karena faktor curah hujan yang sampai pada puncaknya, banjir bandang terlihat sangat parah karena diiringi oleh menurunnya daya tampung wilayah.
Tidak Layak Dipertahankan
Pandangan tentang kepemimpinan sekuler kapitalistik yang ada saat ini tidak layak dipertahankan. Sistem seperti ini telah nyata melahirkan penguasa yang zalim dan membuat kebijakan-kebijakan yang hanya menguntungkan untuk mereka.
Dengan dalil “pembangunan” yang arahnya disetir oleh kepentingan global dan proyek dikuasi oleh oligarki yang rakus dan tamak. Pembangunan yang ada identic dengan kerusakan dan keburukan lainnya termasuk dengan munculnya bencana yang tidak selesai.
Bencana yang terjadi saat ini bukan karena faktor alam atau sekadar ujian semata, tapi dampak kejahatan lingkungan yang telah berlangsung lama dan dilegalkan dengan kebijakan penguasa (pemberian hak konsesi lahan, obral izin perusahaan sawit, izin tambang terbuka, tambang utk ormas, UU minerba, uu ciptakerja, dan lain sebaginya.
Semuanya terjadi karena sistem sudah cacat,yang tegak diatas pemisahan agama dari kehidupan dan penggunaan paham kebebasan tanpa melihat halal dan haram.
Penguasa dan pengusaha kerap bekerjasama untuk menjarah hak milik rakyat dengan dalil pembangunan yang merusak sistem sehingga melahirkan penguasa zalim.
Musibah banjir dan longsor di Sumatra memperlihatkan bahaya nyata akibat kerusakan lingkungan, terlebih dengan pembukaan hutan besar-besaran tanpa memperhitungkan dampaknya.
Sedangkan posisi rakyat dalam sistem ini hanya sebgai objek penderitaan.Mereka dibutuhkan hanya sebgai alat legalitas bagi para oligarki yang duduk dikursi kekuasaan dengan jalan pemilihan suara pada pesta lima tahun.
Sehingga dianggap rakyat sebgai pemilik kedaulatan dan kekuasaan hakiki.Demokrasi sebgai slogan tipuan yang masih ampuh digunakan sampai sekarang.Hal ini terjadi akibat negara meninggalkan hukum Allah SWT dalam pengelolaan lingkungan. Masyarakat menderita, sedangkan penguasa sejahtera meningmati hasil hutan.
Kepemimpinan Islam Adalah Jalan Utama
Dalam sistem kepemimpinan Islam sangat memperhatikan lingkungan.Islam menyakini bahwa manusia diciptakan dengan tujuan yang mulia yaitu untuk penghambaan dan tugas sebagai khilafah menjaga bumi dan seluruh alam sebgai pengabdian kepada Sang Pencipta.
Dalam Al Qur'an telah mengingatkan bahwa kerusakan di bumi akibat ulah manusia. Dari sini, sebagai wujud keimanan, umat Islam harus menjaga kelestarian lingkungan.
وَلَا تُفْسِدُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَٰحِهَا وَٱدْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ ٱللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ ٱلْمُحْسِنِينَ
Artinya: "Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik."( Qs.Al A’raf Ayat 56).
Negara dalam sistem Islam harus menggunakan hukum Allah dalam mengurusi semua urusannya,dan tanggung jawab menjaga kelestarian alam dengan menata hutan dalam pengelolaan yang benar.
Seharusnya negara melakukan pengaturan dan penataan wilayah sehingga menutup celah kemudaratan dengan memperketat pengawasan dan penegakan hukum untuk membuat pelakunya jera.
Negara juga siap mengeluarkan biaya untuk antisipasi pencegahan banjir dan longsor, melalui pendapat para ahli lingkungan.
Hanya dengan hukum Allah, negara dapat meminimalisir terjadinya banjir dan longsor yang menyengsarakan rakyat.
Khalifah sebagai pemegang mandat dari Allah akan fokus setiap kebijakannya mengutamakan keselamatan umat manusia dan lingkungan dari dharar.
Khalifah akan merancang blue print tata ruang secara menyeluruh, melakukan pemetaan wilayah sesuai fungsi alaminya, tempat tinggal dengan semua daya dukungnya, industri, tambang, dan himmah. Wallahu'alam bishshawab.[]
Oleh: Fitri Susilowati
(Aktivis Muslimah)
0 Komentar