Pentingnya Kuantitas dan Kualitas Kehadiran dalam Rumah Tangga
Mutiaraumat.com -- Dalam rumah tangga, cinta tidak cukup hanya ada di niat. Ia harus dihadirkan secara nyata. Karena itu, kuantitas dan kualitas kehadiran menjadi dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
Hadir sesekali tanpa kedalaman rasa membuat hubungan terasa kering. Sebaliknya, perhatian yang tulus namun terlalu jarang pun bisa menimbulkan kesepian yang diam-diam melukai.
Seorang istri tidak hanya membutuhkan kabar lewat pesan singkat atau kalimat singkat sebelum tidur. Ia membutuhkan kehadiran yang utuh, seperti tatapan mata yang menenangkan, belaian tangan yang menguatkan, ekspresi wajah yang menunjukkan bahwa ia didengar dan dihargai. Sentuhan-sentuhan sederhana ini memiliki pengaruh besar dalam menjaga kestabilan emosi dan ketenangan batin seorang istri.
Imam Al-Ghazali rahimahullah dalam Ihya’ Ulumuddin menegaskan bahwa pernikahan adalah ikatan jiwa, bukan sekadar kontrak lahiriah. Karena itu, kewajiban suami tidak berhenti pada nafkah materi, tetapi juga nafkah batin.
Beliau menjelaskan bahwa bergaul dengan istri secara baik (mu’asyarah bil ma’ruf) mencakup kelembutan sikap, perhatian, dan kesediaan hadir secara emosional.
Rasulullah Saw adalah teladan paling nyata dalam hal ini. Beliau adalah pemimpin umat, namun tetap meluangkan waktu untuk istri-istrinya. Beliau mendengarkan, bercanda, dan menenangkan mereka. Kehadiran beliau bukan sekadar fisik, tetapi juga kehadiran hati. Inilah kualitas kebersamaan yang membangun rasa aman dan cinta yang sehat.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah menjelaskan bahwa sakinah (ketenangan dalam rumah tangga) lahir dari kedekatan hati. Kedekatan hati tidak tumbuh dari jarak dan kesibukan, tetapi dari interaksi yang hangat dan berulang.
Oleh karena itu, waktu yang singkat namun penuh perhatian sering kali lebih bermakna daripada waktu panjang yang dihabiskan tanpa komunikasi dan empati.
Kuantitas tetap penting. Kehadiran yang terlalu jarang akan membuat istri merasa berjalan sendiri, apalagi ketika ia memikul banyak peran, yaitu sebagai pendamping, pengelola rumah, dan penguat keluarga.
Namun, kuantitas tanpa kualitas juga melelahkan. Duduk bersama tanpa dialog, pulang tanpa perhatian, atau berbagi ruang tanpa keterhubungan hanya akan melahirkan kesepian di dalam pernikahan.
Para ulama sepakat bahwa perempuan adalah makhluk perasa. Ketika ia merasa diperhatikan, disentuh dengan kasih sayang yang halal, dan ditemani dengan kesungguhan, jiwanya menjadi lebih tenang. Sebaliknya, ketika kehadiran digantikan oleh alasan kesibukan dan jarak emosional, luka batin sering kali muncul tanpa suara.
Karena itu, rumah tangga yang sehat bukan hanya tentang ada, tetapi tentang hadir sepenuhnya. Hadir untuk mendengar, hadir untuk menenangkan, hadir untuk saling menguatkan. Semua itu bukan sekadar romantisme, melainkan bagian dari tanggung jawab iman.
Pada akhirnya, rumah tangga dalam Islam bukan sekadar tempat berlabuhnya rasa cinta, tetapi ladang amal untuk mencari ridha Allah. Setiap perhatian, kesabaran, sentuhan kasih, dan kehadiran yang tulus adalah ibadah. Maka jagalah rumah tangga bukan hanya agar bahagia di mata manusia, tetapi agar bernilai di hadapan Allah.
Sebab tujuan tertinggi pernikahan bukan sekadar bertahan bersama, melainkan berjalan bersama menuju ridha-Nya.[]
Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)
0 Komentar