Negeri yang Kehilangan Arah Mengelola Anugerah
MutiaraUmat.com -- Indonesia kembali berduka. Bencana banjir bandang dan longsor yang meluluhlantakkan Sumatera Barat bukan sekadar musibah alam yang datang begitu saja. Ia adalah potret telanjang tentang bagaimana negeri ini memperlakukan anugerah Allah bernama hutan: dieksploitasi, digunduli, dan dijadikan komoditas oleh mereka yang tamak kuasa.
Di layar kaca tampak gelondongan kayu raksasa berserakan di lautan dan tersangkut di pemukiman. Pemerintah buru-buru membantah bahwa itu bukan bukti illegal logging. Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) Dwi Januanto Nugroho pun memberi penjelasan. Ia mengatakan, kayu gelondongan yang hanyut terbawa ini berasal dari kayu lapuk dan kayu tumbang akibat cuaca ekstrem. (Kontan.co.id, 29/11/2025)
Namun, fakta lapangan dan data kehutanan berkata lain. Dikutip dari pojoksatu.id (29/11/2025), dalam dua dekade terakhir, negeri ini kehilangan 10,5 juta hektare hutan primer tropis. Menjadikannya negara dengan kehilangan hutan primer terbesar kedua setelah Brasil. Di mana pembangunan IKN telah menyumbang pelepasan kawasan hutan produksi mencapai 36.832 hektare.
Sumatera dan Kalimantan menjadi dua wilayah yang paling parah kondisinya. Hutan digerus demi tambang, sawit, dan izin-izin yang entah jatuh ke tangan siapa.
Kehilangan hutan primer membawa dampak panjang. Satwa liar kehilangan habitat, mendorong konflik satwa-manusia, perubahan iklim lokal, menyebabkan cuaca ekstrem makin sering terjadi. Penurunan kemampuan tanah menyerap air, meningkatkan risiko banjir dan longsor, penurunan karbon sink, memperparah pemanasan global. Serta hilangnya spesies langka yang hanya hidup di kawasan tertentu.
Ketika Keserakahan Bertopeng Kebijakan
Apa yang lebih menyakitkan dari bencana?
Adalah ketika pemerintah justru sibuk saling lempar, saling elak, seolah alam sedang marah tanpa sebab. Padahal yang membuat alam mengamuk adalah keserakahan manusia yang dilegalkan oleh kebijakan negara.
Izin pembalakan, izin konsesi, izin tambang, izin perkebunan raksasa. Semuanya menyatu dalam sistem yang menempatkan kepentingan oligarki jauh di atas keselamatan rakyat.
Sementara rakyat kecil yang tak pernah mengetuk meja kekuasaan, justru dipaksa menanggung akibatnya. Rumah hanyut, ladang hilang, masa depan lenyap. Bencana seperti ini bukan lagi musibah. Ia adalah kegagalan negara dalam menjaga amanah.
Inilah wajah sistem hari ini. Alam dikelola bukan untuk kemaslahatan umat, melainkan untuk memperkaya segelintir elit. Mereka yang duduk di kursi kuasa punya keberanian besar untuk menebang hutan, tetapi tak punya keberanian untuk mengakui kesalahan.
Padahal bukti terhampar di depan mata. Lautan kayu terseret arus, peta deforestasi yang memerah, dan desa-desa yang porak-poranda.
Lalu, Bagaimana Islam Mengelola SDA?
Berbeda dengan sistem hari ini, Islam memiliki aturan tegas soal pengelolaan sumber daya alam (SDA). Hutan, air, tambang, dan kekayaan bumi bukan milik penguasa, bukan milik korporasi tetapi milik umat.
Rasulullah SAW bersabda:
"Manusia berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api." (HR. Abu Dawud)
Dalam Islam, negara wajib menjamin bahwa SDA tidak jatuh ke tangan individu atau korporasi. Hutan tidak boleh diperjualbelikan untuk memperkaya pihak tertentu. SDA dikelola negara untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan politik. Hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pelayanan, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan.
Negara Islam bukan hanya melarang eksploitasi berlebihan, tetapi juga menghukum keras mereka yang merusak alam hingga membahayakan umat. Islam menempatkan alam sebagai amanah Ilahi, bukan komoditas ekonomi.
Bencana Sumbar hanyalah satu bab dari kisah panjang kegagalan negara dalam memahami amanah. Banjir, longsor, kebakaran hutan, kabut asap. Semua adalah konsekuensi dari sistem yang memilih keuntungan di atas keselamatan.
Ironisnya, setiap bencana selalu menimpa mereka yang tidak pernah menikmati hasil “izin-izin” itu. Hari ini, alam berteriak.
Dan teriakannya adalah protes terhadap ketidakadilan.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Irna Purnamasari
Aktivis Muslimah
0 Komentar