Menegakkan Keadilan dalam Sistem Demokrasi Bagaikan Menegakkan Benang Basah
MutiaraUmat.com -- Menegakkan keadilan dalam sistem demokrasi ibarat menegakkan benang basah. Ia bisa ditarik dan tampak berdiri sesaat, tetapi segera melorot, kendur, lalu putus. Bukan karena manusia tidak ingin adil, melainkan karena sistemnya memang tidak dirancang untuk menegakkan kebenaran, melainkan mengatur kompromi kepentingan.
Demokrasi dibangun di atas asas bahwa kedaulatan berada di tangan manusia. Artinya, hukum lahir dari suara terbanyak, bukan dari kebenaran mutlak. Yang menentukan benar dan salah bukan wahyu, melainkan voting dan lobi politik. Padahal kebenaran tidak pernah ditentukan oleh jumlah. Sesuatu bisa disepakati bersama, tetapi tetap salah di hadapan Allah.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa demokrasi adalah sistem kufur karena menjadikan manusia sebagai pembuat hukum, bukan Allah. Dalam kitab Nizhamul Islam, beliau menegaskan bahwa ketika manusia diberi hak menetapkan halal-haram melalui parlemen, maka hukum akan tunduk pada hawa nafsu, bukan pada keadilan. Inilah sebab utama mengapa hukum dalam demokrasi selalu berubah mengikuti kepentingan pemilik kekuasaan dan modal.
Di dalam sistem ini, hukum bukan lagi penjaga kebenaran, tetapi alat transaksi politik. Pejabat yang merampok uang rakyat bisa lolos dengan dalih prosedur, sementara rakyat kecil yang mencuri karena lapar dipenjara tanpa ampun. Keadilan berubah menjadi komoditas, siapa yang punya uang, pengaruh, dan jaringan, dialah yang aman.
Lebih berbahaya lagi, demokrasi menempatkan hakim dalam tekanan sistemik. Mereka bukan hanya menegakkan hukum, tapi juga terikat pada aturan buatan politisi, kepentingan kekuasaan, bahkan opini publik. Padahal Islam memberikan peringatan keras kepada para hakim.
Rasulullah Saw bersabda,
“Hakim itu ada tiga: satu di surga dan dua di neraka. Yang di surga adalah hakim yang mengetahui kebenaran dan memutuskan dengannya. Adapun yang di neraka, hakim yang mengetahui kebenaran tapi menyimpang, dan hakim yang memutuskan tanpa ilmu.” (HR. Abu Dawud)
Dalam demokrasi, banyak keputusan hakim tidak lahir dari kebenaran hakiki, tetapi dari tekanan sistem, dari pasal-pasal yang sengaja dibuat untuk melindungi elite.
Maka betapa banyak putusan yang sah secara prosedur, tetapi zalim secara substansi.
Allah juga memberi ancaman tegas,
“Barang siapa tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim.” (QS. Al-Ma’idah: 45)
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan bahwa keadilan hanya bisa tegak jika hukum bersumber dari wahyu, bukan dari kesepakatan manusia. Sebab hanya hukum Allah yang bebas dari konflik kepentingan.
Negara yang menerapkan hukum Allah tidak memberi ruang bagi lobi, suap, dan manipulasi hukum, karena penguasa dan hakim sama-sama tunduk pada satu standar yang tidak bisa dibeli.
Dalam sistem Islam, seorang khalifah bisa diadili, pejabat bisa dicopot, dan hakim bisa dihukum jika menyimpang. Tidak ada yang kebal hukum. Inilah keadilan yang berdiri di atas takwa, bukan di atas modal.
Sebaliknya, demokrasi melahirkan hukum yang lentur seperti benang basah. Ia tampak kokoh di atas kertas, tapi rapuh ketika berhadapan dengan uang dan kekuasaan.
Selama kedaulatan berada di tangan manusia, keadilan akan selalu bisa dinegosiasikan.
Karena itu, selama dunia masih bertahan pada demokrasi, keadilan sejati akan terus menjadi impian. Ia hanya bisa hidup dalam sistem yang menjadikan Allah sebagai pembuat hukum, dan manusia sebagai pelaksana yang takut pada hisab, bukan pada kehilangan jabatan dan di sanalah, keadilan tidak lagi basah dan rapuh, melainkan tegak, kokoh, dan membebaskan. Tidakkah kita merindukannya?
Oleh: Nabila Zidane
Jurnalis
0 Komentar