Krisis Resiliensi Digital: Kegagalan Struktural Regulasi Sekuler dan Urgensi Solusi Paradigmatik


MutiaraUmat.com -- Kekisruhan moral remaja di ranah media sosial—mulai dari cyber bullying, gangguan citra diri, hingga kecanduan gawai—telah memicu respon seragam dari berbagai negara: regulasi. Upaya domestik seperti wacana PP Tunas yang membatasi akses digital, adalah cerminan kebijakan global. Kebijakan ini, yang mencoba menciptakan zona aman de jure dengan membebankan sanksi dan batasan usia pada korporasi platform, meniru langkah-langkah top-down negara maju. Kita melihatnya pada Amerika Serikat dengan COPPA (Children's Online Privacy Protection Act) yang direvisi tahun 2013 (FTC.gov, direvisi 2013), hingga upaya Australia menetapkan batas usia 16 tahun untuk platform tertentu (Antara News, 21/12/ 2025).

Namun, ketergantungan pada hukum sekadar menciptakan ilusi keamanan. Faktanya, meskipun pembatasan usia berlaku ketat, laporan Pew Research Center menunjukkan bahwa kasus cyberbullying justru meningkat 37% antara tahun 2019 hingga 2023 (Pew Research Center, 15/11/2023), menegaskan bahwa regulasi akses tidak menjamin perubahan perilaku pengguna. Kegagalan ini diperparah oleh kemampuan remaja mengakali sistem verifikasi; studi menunjukkan bahwa hingga 83% remaja di bawah umur dapat mengakali pembatasan usia (shadow use), membuat upaya PSE menjadi sia-sia (Pusat Studi Digital Universitas Indonesia, Laporan 2023).

Kegagalan mendasar ini bersumber pada akar krisis spiritual dan karakter generasi muda, yaitu kelemahan iman dan minimnya pendidikan moral-religius yang mendalam. Tanpa kompas internal (inner compass) yang kuat, filter eksternal—seperti regulasi atau bahkan pengawasan orang tua—akan selalu gagal.

Kerusakan Multidimensi Akibat Sekularisme

Kelemahan iman ini bukanlah kecacatan individu semata, melainkan merupakan konsekuensi struktural yang lahir dari diterapkannya sistem-sistem negara atau pemerintahan yang sekuler. Sistem ini, yang secara fundamental menjauhkan agama dari ruang publik, pendidikan, dan kebijakan, secara sistematis menghasilkan kerusakan multidimensi yang membuat masyarakat rentan terhadap ancaman teknologi.

Pertama, di bidang pendidikan, sistem sekuler telah mereduksi nilai pendidikan menjadi komoditas pasar. Ilmu dipandang hanya sebatas alat untuk mencapai output ekonomi, sebagaimana dikritik oleh studi di Eropa yang menyoroti bagaimana penekanan pada nilai ekonomi membuat mata pelajaran etika dan agama sering dipandang sekunder atau opsional (Journal of Moral Education, Vol. 48 No. 2, 2019). Akibatnya, lulusan sekolah memiliki kecakapan teknis tinggi tetapi miskin fondasi spiritual.

Kedua, di bidang moral dan sosial, sistem sekuler melahirkan relativisme moral. Ketika agama dilepaskan dari hukum, batasan benar dan salah menjadi cair, yang secara langsung menghancurkan batasan pergaulan dan etika digital remaja. Ketiga, terjadi disintegrasi sosial dalam keluarga, yang kini dipaksa bekerja keras dalam sistem ekonomi kapitalistik sekuler, membuat waktu pengawasan dan pendidikan spiritual di rumah tereduksi. Hal ini dikuatkan oleh temuan The Barna Group (2022) di Amerika yang menyoroti lonjakan dramatis pada individu tanpa afiliasi spiritual ("Nones"), mengindikasikan erosi benteng internal (iman) dalam menghadapi dilema moral modern. Akibatnya, manusia yang dilemahkan secara spiritual dan sosial justru menjadi sasaran empuk teknologi canggih, yang kini berfungsi sebagai perangkap baru bagi kehidupan moral.

Solusi Hakiki: Perbaikan Kaffah dan Penerapan Syariat Islam

Krisis ini menuntut jawaban yang fundamental dan struktural, melampaui sekadar patchwork regulasi. Solusi hakiki bermula dari taubat secara Kaffah (menyeluruh) dari sistem yang merusak, diikuti dengan menerapkan Syariat Islam secara Kaffah dalam seluruh aspek kehidupan, dari negara hingga kehidupan sehari-hari, untuk membangun kompas moral yang tak tergoyahkan.

Penerapan menyeluruh ini bukanlah utopia; sejarah peradaban Islam telah membuktikan kemampuannya. Pada masa keemasan Khilafah Abbasiyah dan Umayyah di Andalusia, moralitas individu dan prestasi peradaban berjalan serasi:

Pertama. Integritas sistem: Keadilan dan moralitas pasar dijaga ketat melalui lembaga Hisbah (pengawasan moral dan transaksi), menjamin tidak adanya penipuan dan menumbuhkan kepercayaan tinggi yang menjadi fondasi ekspansi ekonomi.
Kedua. Fondasi intelektual: Fokus pada ilmu pengetahuan sebagai kewajiban agama melahirkan Baitul Hikmah di Baghdad, pusat riset terbesar di dunia yang melahirkan prestasi abadi seperti Algoritma karya Al-Khawarizmi (Philip K. Hitti, History of the Arabs).
Ketiga. Keadilan sosial: Institusi Zakat yang diwajibkan oleh negara dan larangan riba secara efektif mengurangi kesenjangan ekonomi. Keberhasilan ini mencapai puncaknya hingga pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, sulit ditemukan lagi orang miskin yang berhak menerima zakat—sebuah prestasi redistribusi yang diakui dalam studi ekonomi Islam, termasuk oleh tokoh seperti Prof. Dr. M. Umer Chapra (publikasi IDB, tahun 2000an). Keadilan peradilan pun terwujud, dibuktikan dengan fakta sejarah di mana Khalifah sekalipun dapat digugat di pengadilan.

Kesuksesan peradaban ini menegaskan bahwa syariat Islam adalah sistem komprehensif yang menjamin moralitas, keadilan, dan kemakmuran, yang menjadi satu-satunya jawaban untuk mengakhiri krisis digital dan moral yang saat ini lahir dari kegagalan struktural sistem sekuler. Hanya dengan kembali ke fondasi spiritual yang benar, generasi muda dapat dibekali imunitas spiritual sejati untuk menggunakan, alih-alih dirusak oleh, kecanggihan teknologi. []


Oleh: Siti Nurhalizah
Aktivis Muslimah

0 Komentar