Berbagai Bencana Mendera, Penanganan Negara Lamban dan Insidental
MutiaraUmat.com -- Di penghujung tahun kita mendapatkan berita duka dari beberapa daerah di Indonesia, diantaranya tanah longsor di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. BNPB mengkonfirmasi data dari posko darurat di Majenang melaporkan setidaknya sampai dengan Jumat (14/11) malam ada sebanyak 20 orang korban hilang dan masih dalam pencarian. (mediaIndonesia, 15/11/12025)
Tiga daerah di Provinsi Sulawesi Tengah dikepung banjir hingga angin puting beliung selama dua hari terakhir akibat cuaca ekstrem. Sementara itu, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Agam, Sumatera Barat (Sumbar), mencatat lima kecamatan di daerah itu dilanda bencana banjir bandang, longsor, pohon tumbang, dan jalan amblas, akibat curah hujan cukup tinggi disertai angin kencang. (CNNindonesia, 23 November 2025)
Dan yang baru saja terjadi di Sumatera Utara, bencana banjir dan tanah longsor yang menimbulkan dampak sangat signifikan, tercatat sekitar 147 korban meninggal dunia, 32 luka berat, 722 luka ringan, dan 174 masih dalam pencarian, serta sebanyak 28.427 warga yang mengungsi.
Fakta di atas bukanlah hal baru, karena bencana tersebut selalu datang dan terus berulang, namun banyaknya korban yang berjatuhan, kerugian yang tidak sedikit bahkan masih ada yang belum dievakuasi, menjadi pertanyaan besar bagi kita mengapa pemerintah masih gagap dalam setiap penanganan bencana yang terjadi.
Bencana bukan hanya terjadi karena faktor alam, namun akibat tata kelola ruang hidup yang salah. Dalam sistem kapitalistik keuntungan menjadi prioritas utama, sehingga mitigasi bencana diabaikan karena dianggap sebagai biaya yang tidak perlu. Pemerintah lebih fokus pada keuntungan jangka pendek dari pada investasi jangka panjang dalam mitigasi bencana.
Indonesia merupakan negara yang rawan terhadap bencana, seharusnya negara lebih serius dalam menyiapkan kebijakan preventif dan kuratif dalam mitigasi bencana. Bencana memang tidak selalu bisa diprediksi, tapi ketika terjadi dampaknya harus dieliminasi. Pemerintah sering kali bersikap reaktif yaitu baru bertindak setelah bencana sudah terjadi, sementara abai dalam pencegahannya.
Namun sayangnya, dalam paradigma kapitalistik, bencana dianggap sebagai kesempatan untuk mendapatkan keuntungan dan meningkatkan kekuasaan bukan sebagai tragedi kemanusiaan yang memerlukan bantuan dan dukungan. Negara hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator bukan pengurus rakyat, akibatnya kepentingan ekonomi lebih diutamakan daripada kepentingan sosial dan lingkungan.
Islam memandang bahwa bencana adalah ketetapan Allah sehingga manusia harus sabar, namun bencana juga menjadi kesempatan untuk melakukan introspeksi diri. Allah menjelaskan dalam surat Ar-rum ayat 41 bahwa kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh manusia. Ayat ini menjelaskan bahwa kerusakan ini terjadi agar manusia merasakan sebagian dari perbuatannya, sehingga mereka kembali ke jalan yang benar.
Di dalam Islam, khilafah sebagai pengurus rakyat yang bertanggung jawab dalam melindungi jiwa. Negara wajib mengelola alam secara adil sesuai syariat Islam. Dalam mencegah kerusakan lingkungan maka negara akan memberikan sanksi tegas bagi pelaku perusak lingkungan. Daulah juga akan memastikan pemulihan pasca bencana baik secara fisik maupun psikis bagi para korban.
Sungguh Islam adalah solusi bagi semua persoalan kehidupan. Hanya Islam satu-satunya yang mampu menyelamatkan seluruh manusia dari bencana, baik di dunia hingga di akhirat kelak.
Wallahu a’lam bishshawab. []
Oleh: Hartuti Ningrum
Aktivis Muslimah
0 Komentar