Bencana Sumatera, Bukti Nyata Bahaya Perusakan Alam dalam Sistem Kapitalisme


MutiaraUmat.com -- Rentetan bencana alam kembali melanda Pulau Sumatra. Longsor dan banjir bandang menghantam wilayah Sumatra Barat, Sumatra Utara, Aceh, hingga sejumlah daerah lain dalam beberapa pekan terakhir. Puluhan rumah terendam, akses jalan lumpuh, dan ribuan warga terpaksa mengungsi. Kondisi ini menunjukkan bahwa ancaman ekologis di Sumatra semakin nyata.

Hujan deras yang turun hampir setiap hari memang menjadi pemicu awal. Namun para pengamat lingkungan menilai, curah hujan bukan satu-satunya faktor. Parahnya banjir bandang kali ini juga dipengaruhi oleh menurunnya daya tampung wilayah akibat kerusakan hutan dan alih fungsi lahan besar-besaran. Daerah tangkapan air melemah, sungai kehilangan penopang alaminya, dan tanah tidak lagi mampu menyerap air sebagaimana mestinya.

Di Balik Bencana, Ada Jejak Panjang Kebijakan Eksploitatif

Kerusakan lingkungan di Sumatra bukan peristiwa tiba-tiba. Ia merupakan dampak dari rantai panjang kebijakan yang membuka ruang besar bagi korporasi untuk mengeksploitasi hutan dan lahan. Izin konsesi yang meluas, ekspansi kebun sawit, tambang terbuka, hingga proyek-proyek investasi dari berbagai pihak—semuanya terjadi dengan dukungan regulasi negara.

Sejumlah aturan seperti UU Minerba dan UU Cipta Kerja kerap menjadi sorotan karena dianggap mempermudah proses perizinan, tetapi mengabaikan daya dukung lingkungan. Di sisi lain, praktik kongkalikong antara penguasa dan pengusaha dituding memperburuk situasi. Atas nama pembangunan, hutan ditebang, bukit dikeruk, dan ekosistem berubah drastis.

Dampaknya terlihat jelas ketika musim hujan tiba. Tanpa penyangga alam, air turun deras dari kawasan hulu dan meluap ke permukiman warga. Banyak warga menilai, bencana yang mereka alami hari ini bukan semata musibah alam, tetapi akibat dari kebijakan yang tidak berpihak pada keselamatan rakyat.

Ketika Peringatan Al-Qur’an Terabaikan

Kerusakan lingkungan sesungguhnya telah lama diperingatkan dalam Al-Qur’an. Allah Swt. menegaskan bahwa kerusakan di darat dan laut adalah akibat ulah tangan manusia. Peringatan ini, menurut sejumlah pengamat syariah, menjadi relevan ketika melihat pola pengelolaan lingkungan yang tak lagi sejalan dengan prinsip Islam.
Dalam Islam, menjaga bumi bukan sekadar tanggung jawab moral, tetapi kewajiban yang harus dijalankan oleh individu dan negara. Ketika kebijakan dikelola tanpa merujuk pada hukum Allah, maka kerusakan menjadi tak terhindarkan. Hal ini tercermin dari kondisi ekologi Sumatra saat ini.

Sistem Islam Tawarkan Tata Kelola yang Berorientasi Keselamatan

Dalam perspektif Islam, hutan, air, dan sumber daya alam merupakan milik umum yang tidak boleh diserahkan kepada swasta untuk kepentingan profit. Negara bertanggung jawab mengelola langsung seluruh aset lingkungan dengan prinsip kehati-hatian dan keseimbangan ekosistem.

Sistem Islam memandatkan negara untuk:
Pertama. menetapkan kebijakan lingkungan berdasarkan hukum Allah.
Kedua. merancang tata ruang secara menyeluruh sesuai fungsi alami wilayah.
Ketiga. memastikan pemukiman, industri, tambang, dan kawasan lindung berada pada zona yang tepat.
Keempat. menggelontorkan anggaran khusus untuk mitigasi bencana seperti banjir dan longsor.
Kelima. memastikan keselamatan rakyat sebagai prioritas utama, bukan keuntungan kelompok tertentu.

Melalui mekanisme ini, eksploitasi berlebihan yang saat ini memicu bencana dapat diminimalisir. Negara dalam sistem Islam tidak memberi celah bagi praktik penyalahgunaan kewenangan atau kerja sama yang merugikan rakyat.

Di tengah meningkatnya bencana ekologis di Sumatra, seruan agar negara kembali pada prinsip tata kelola lingkungan yang sesuai syariat semakin menguat. Bagi sebagian kalangan, hanya dengan penerapan hukum Allah secara menyeluruh, kerusakan alam dapat dihentikan dan keselamatan rakyat benar-benar dijamin. []


Oleh: Indha Tri Permatasari, S.Keb., Bd.
(Aktivis Muslimah)

0 Komentar