Wibawa Guru yang Kian Tergerus



Mutiara Umat -- Viralnya video Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga, Lebak, Banten, yang menampar seorang siswa karena ketahuan merokok di lingkungan sekolah, kembali membuka perdebatan lama, di mana batas antara penegakan disiplin dan kekerasan dalam pendidikan?

Kejadian ini bermula saat sekolah sedang mengadakan kegiatan bersih-bersih lingkungan. Kepala sekolah, Dini Fitria, mendapati seorang muridnya sedang asyik merokok di area sekolah. Spontan ia menegur dan menampar siswa tersebut. Namun, tindakan itu berbuntut panjang. Orang tua siswa tidak terima dan melaporkan kejadian tersebut ke kepolisian setempat (detik.com, 15/10/2025). 

Meskipun kasus akhirnya berakhir damai, peristiwa ini meninggalkan efek psikologis bagi para pendidik, rasa takut untuk menegakkan disiplin di sekolah. Kini banyak guru merasa serba salah. Ketika mereka mencoba menegakkan aturan, muncul risiko dilaporkan ke aparat hukum. Fenomena ini menandakan semakin kaburnya ruang antara disiplin dan pelanggaran hukum, sekaligus memperlihatkan wibawa guru yang makin tergerus.

Di satu sisi, siswa merasa memiliki kebebasan bertindak tanpa batas. Di sisi lain, guru kehilangan otoritas moral untuk menegur, mendidik, bahkan menasihati. Akibatnya, sekolah bukan lagi menjadi tempat pembentukan karakter, tetapi sekadar ruang administratif yang diatur dengan ketakutan.

Sistem pendidikan yang terlalu menekankan kebebasan individu tanpa keseimbangan nilai moral telah gagal membentuk peserta didik yang bertanggung jawab. Banyak remaja menganggap merokok sebagai simbol kedewasaan, gaya hidup, atau bentuk eksistensi diri. Padahal, di baliknya tersembunyi krisis identitas dan lemahnya kontrol sosial.

Mudahnya akses rokok di kalangan remaja juga menunjukkan lemahnya pengawasan negara terhadap perilaku generasi muda. Sementara itu, guru justru menjadi pihak yang paling tertekan ketika mencoba menegakkan disiplin.

Tentu, segala bentuk kekerasan dalam pendidikan tidak dapat dibenarkan. Namun, menegur dan menasihati siswa yang berbuat salah adalah bagian dari amar makruf nahi mungkar — kewajiban moral untuk saling mengingatkan dalam kebaikan. Hanya saja, hal ini harus dilakukan dengan cara yang bijak, penuh kasih, dan disertai tabayun (klarifikasi).


Sistem pendidikan yang sekuler dan liberal terbukti gagal membentuk generasi yang berakhlak mulia. Karena itu, nilai-nilai fundamental seperti sopan santun, rasa hormat kepada guru, dan tanggung jawab sosial perlu dikembalikan ke jantung pendidikan nasional.

Padahal, dalam Islam, guru menempati posisi yang mulia. Ia bukan sekadar penyampai ilmu, tetapi juga pembentuk kepribadian dan teladan moral bagi murid-muridnya. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” Maka tugas pendidik bukan hanya mengajar, tetapi juga membina akhlak dan karakter.

Islam juga mengingatkan, segala sesuatu yang membahayakan diri dan orang lain, termasuk merokok, sebaiknya dihindari. Rokok bukan hanya merusak kesehatan, tetapi juga memboroskan harta dan waktu.

Pendidikan Islam mengajarkan peserta didik untuk berpikir dan bersikap sesuai syariat. Tujuan utamanya bukan sekadar mencetak lulusan berprestasi, melainkan membentuk generasi yang sadar bahwa hidup adalah amanah dan setiap perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.

Kasus di SMAN 1 Cimarga seharusnya menjadi cermin, bukan sekadar sensasi viral. Kita perlu membangun kembali sistem pendidikan yang melindungi guru, menghargai disiplin, dan menanamkan nilai-nilai moral yang kokoh.

Remaja Muslim harus disadarkan, kedewasaan bukan diukur dari keberanian melanggar aturan, melainkan dari kemampuannya menjaga diri, menghormati orang tua dan guru, serta berkomitmen pada nilai-nilai kebaikan. Karena sejatinya, guru bukan musuh. Guru adalah cahaya yang menuntun generasi muda agar tidak tersesat di jalan gelap moral dan kebebasan yang tanpa arah.[]

Oleh: Rizka Amalia S.Kom., Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok

0 Komentar