Survival: Tetap Berdiri Tegak Walau Sendirian
MutiaraUmat.com -- Di tengah dunia yang gemerlap oleh circle pertemanan palsu, ada satu tipe manusia yang tidak ikut heboh: si survival. Dia tidak ribut cari validasi, tidak berlomba punya geng supaya terlihat kuat, tidak pula merasa harus ramai-ramai demi merasa “waras”. Sementara sebagian orang butuh segerombolan teman demi menenangkan hati, survival justru menemukan ketenangan ketika sendiri karena pegangan jiwanya bukan manusia, tapi Allah. Mau menumbangkan survival? Ngimpi.
Lucunya, banyak orang hari ini memamerkan pertemanan seolah itu indikator kekuatan mental. Postingan “my bestiessss” berseri-seri, padahal hubungan itu rapuh, semu, dan seringnya cuma proyek penghiburan sementara.
Syekh Ibn Qayyim mengatakan, “Siapa yang menjadikan makhluk sebagai sandaran, dia akan patah saat makhluk itu menjauh. Tapi siapa yang bersandar pada Allah, tidak akan pernah goyah.”
Bertahun-tahun manusia dibentuk oleh budaya hura-hura dan keramaian. Nongkrong dianggap terapi, padahal lebih sering cuma ajang tukar omong kosong demi menutupi jiwa yang kosong. Hatinya retak, tapi sibuk tertawa. Jiwanya lelah, tapi terus narsis bareng teman biar kelihatan bahagia. Di balik layar, banyak yang kesepian meski foto mereka menunjukkan kebersamaan.
Survival berbeda. Dia tahu bahwa kesehatan mental sejati tidak lahir dari kerumunan, tapi dari kekuatan hubungan dengan Allah.
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa manusia hanya akan mencapai ketenangan ketika pola pikir dan pola sikapnya terikat dengan akidah Islam. Karena hanya akidah yang memberi makna hidup dan mengatur emosi secara utuh. Makanya, survival yang seperti ini tidak rapuh. Ia mungkin sendirian, tapi tidak pernah kesepian. Ia tenang karena hatinya terikat pada Zat yang tidak pernah meninggalkannya.
Dia bisa berdiri tegak meski dunia sekitar berisik. Tidak terpengaruh circle, tidak minder saat sendiri, tidak ikut-ikutan gaya hidup ramai tanpa arah. Mau ada teman atau tidak, dia tetap jadi dirinya. Mau ada uang atau tidak, kepribadiannya tidak berubah. Mau dicibir atau dipuji, dia tetap berjalan lurus. Karena orientasinya bukan manusia, tapi ridha Allah.
Imam Hasan al-Basri juga pernah berkata, “Jangan kau gantungkan hatimu pada manusia. Mereka tidur, lalai, dan berubah. Gantungkanlah pada Allah yang tidak pernah berubah.”
Ini pondasi survival, dia tidak mengharap dihargai, tidak mengemis untuk dimengerti. Apa pun yang ia lakukan, ia lakukan karena Allah, bukan untuk tepuk tangan dunia.
Dalam kesendiriannya, ia justru lebih produktif. Tidak sibuk memelihara drama, tidak pusing dengan pertemanan palsu, tidak sibuk membuktikan diri kepada siapa pun. Keheningan menjadi ruang bertumbuh. Kesendirian menjadi kelas belajar. Tekanan menjadi sarana naik level dan nyinyiran lawan tidak lebih dari angin lewat yang tidak pantas dihiraukan.
Survival berdiri tegak bukan karena merasa paling kuat, tapi karena tahu sumber kekuatan sejatinya. Ia tidak bergantung pada suasana, tidak pula bergantung pada jumlah teman. Ia belajar makna tawakkal dan ridha. Ia menguatkan diri dengan dzikir, bukan dengan keramaian semu. Ia menjaga mentalnya dengan iman, bukan dengan validasi sosial.
Maka jangan heran, survival seperti ini sering dianggap aneh. Tidak banyak nongkrong, tidak ikut trend, tidak pamer circle, tidak sibuk cari perhatian. Padahal, dalam diamnya, ia sedang membangun ketangguhan.
Dalam kesendiriannya, ia sedang memperbaiki jiwa. Dalam ketenangannya, ia sedang naik kelas sebagai manusia. Sebab kekuatan bukan pada jumlah teman, melainkan pada siapa yang menjadi tempat bergantungnya hati.
Yang bersandar pada manusia akan rapuh saat manusia pergi. Tapi yang bersandar pada Allah. dialah yang tetap tegak, meski harus berjalan sendirian. []
Nabila Zidane
Jurnalis
0 Komentar