Sudan Membara: Percaturan Kepentingan Barat Mengeksploitasi SDA Negeri Muslim


MutiaraUmat.com -- Krisis di Sudan kini menjadi salah satu konflik paling kompleks dan berdampak di dunia. Sejak pecah pada April 2023, perang antara Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) berubah menjadi konflik berkepanjangan yang memicu krisis kemanusiaan akut. Situasi ini mencerminkan rumitnya persinggungan kepentingan lokal dan internasional, terlebih posisi strategis Sudan di Laut Merah, akses terhadap Sungai Nil, serta kekayaan emas yang menarik campur tangan berbagai kekuatan asing.

Gold, Gun and Geopolitics, Negara Persimpangan Kaya

Sebelum masuk ke inti peristiwa, mari kita lihat seberapa 'penting' Sudan untuk dunia Internasional. Sudan bukan sekadar zona konflik biasa. Ia merupakan persimpangan strategis di jantung Afrika dan wilayah Laut Merah, kaya akan sumber daya, geografi, dan pengaruh politik. Sebagai anggota Liga Arab dan Uni Afrika, Sudan menghubungkan Arab-Afrika, menjadikannya sebagai jembatan antar wilayah dan zona penyangga bagi migrasi, perdagangan, dan keamanan. Siapa pun yang memengaruhi Sudan dapat memengaruhi politik Afrika Utara dan perdagangan Laut Merah.

Garis pantai timur Sudan menghadap Laut Merah, salah satu jalur perairan terpenting di dunia. Laut Merah menghubungkan Terusan Suez (Mesir) ke Eropa, Selat Bab el-Mandeb (Yaman/Djibouti) ke Samudra Hindia dan Asia dan 10-12% perdagangan global melewati perairan ini, termasuk minyak, gas, dan kontainer.

Hal ini menjadi penting karena Rusia menginginkan pangkalan AL di Port Sudan untuk memproyeksikan kekuatan ke Samudra Hindia. Grup Wagner dari Rusia beroperasi di Darfur dan Republik Afrika Tengah, menggunakan Sudan sebagai pusat logistik dan ekspor emas. AS dan sekutu Barat ingin mencegah hal itu agar Laut Merah tetap berada di bawah pengaruh Barat. Cina memiliki pangkalan angkatan laut di Djibouti yang berdekatan dan memandang Sudan sebagai pelengkap. Begitu juga negara-negara Teluk (Arab Saudi, UEA) ingin mengamankan pantai Laut Merah di seberangnya untuk ketahanan pangan, perdagangan, dan kendali keamanan.

Singkatnya Sudan adalah hadiah geopolitik di salah satu koridor maritim tersibuk di dunia, bahkan jadi koridor militer strategis Timur Tengah dan global. Sudan kaya akan sumber daya alam, cadangan minyaknya lebih dari 3 miliar barel. Cadangan emasnya mencapai 1.550 ton, meskipun setelah kehilangan Sudan Selatan pada tahun 2011. Kendali atas Sudan berarti kendali atas ekspor emas, transit minyak Sudan Selatan, dan pelabuhan Laut Merah. 

Analisis

Konflik di Sudan memiliki akar sejarah yang panjang dan kompleks, yang bermula jauh sebelum kemerdekaan Sudan pada 1956. Perlu diketahui, pada masa Kekhalifahan Utsmani, Sudan secara efektif termasuk dalam bagian dari wilayah kegubernuran Mesir. Hal ini terjadi setelah pasukan Muhammad Ali Pasha, Gubernur Mesir di bawah Utsmani berhasil menaklukkannya pada 1820-1821.

Pada 1898, Inggris merebut Sudan dari Khilafah Islam dengan tujuan melemahkan Utsmaniyah serta mengamankan kendali atas Mesir dan Sungai Nil sebagai jalur vital ke India dan Afrika Selatan. Setelah berkuasa, Inggris menerapkan politik devide et impera dengan memecah masyarakat berdasarkan etnis dan agama, serta memisahkan Sudan Utara yang lebih maju dari Sudan Selatan yang dikuasai misionaris Kristen.

Pasca-kemerdekaan 1956, pengaruh Inggris mulai digantikan oleh Amerika Serikat yang menggunakan kekuatan diplomatik dan militer untuk memperluas dominasinya. AS diduga mengendalikan konflik Sudan saat ini dengan mendukung berbagai pihak seperti RSF dan tokoh-tokoh lokal demi kepentingannya. Rapid Support Force (RSF) adalah perubahan dari Milisi Janjaweed yang awalnya adalah tentara bayaran untuk menumpas pemberontakan di Sudan Selatan.

Pihak Washington menguasai dan menggunakan militer dengan kejam terhadap pihak yang dianggap menghalangi ambisi mereka. Dulu AS menguasai Sudan Selatan melalui agennya, John Garang. Kini AS berupaya menempatkan Darfur di bawah kendali agennya, Hemedti. Secara praktis, seluruh Darfur telah dikuasai RSF, kecuali kantong-kantong di El Fasher yang masih bertahan. Sebenarnya Jenderal Abdel Fattah al-Burhan dari militer Sudan (SAF= Militer nasional resmi yang sudah ada sejak kemerdekaan, meliputi darat, laut, udara, dan intelijen yang disebut Sudanese Armed Force) juga komprador Amerika Serikat di Sudan dari kubu yang berbeda. 

Konflik Sudan masa kini dianggap sebagai strategi AS untuk menghapus sisa pengaruh Inggris, membatasi campur tangan pihak lain dalam konflik melalui aliansi dengan Saudi, UEA, dan Mesir, memecah-belah Sudan dan menguasai wilayah kaya sumber daya seperti Darfur dan mencegah kebangkitan Islam yang bisa mengancam dominasi Barat.

Dengan demikian, konflik Sudan bukan semata pertikaian internal, melainkan hasil intervensi dan persaingan kekuatan asing—terutama AS dan Inggris—yang memiliki kepentingan geopolitik dan ekonomi di wilayah tersebut.

Apa yang Harus Dilakukan Umat Islam?

Seperti halnya Gaza, rakyat Sudan kini menderita hebat dan memohon pertolongan dari sesama saudara seiman. Namun, harapan mereka pupus karena para penguasa Muslim dunia lebih mementingkan kekuasaan daripada nasib umatnya. 

Sebagian pemimpin Arab bahkan bersekongkol dengan negara-negara Barat yang justru memperparah penderitaan rakyat Sudan. Dunia pun tertipu oleh propaganda yang menyebut krisis Sudan sebagai konflik etnis, padahal sesungguhnya ini adalah skenario licik negara adidaya untuk merebut pengaruh politik dan menjarah sumber daya alam Sudan. Akibat warisan nasionalisme penjajah, solidaritas sesama Muslim pun nyaris lenyap.

Penderitaan umat Islam tidak hanya terjadi di Sudan, tetapi juga di berbagai negeri Muslim lainnya, terutama di Afrika. Inilah gambaran umat di bawah cengkeraman sistem sekuler dan kapitalisme global—menjadi korban kerakusan negara adidaya, dipecah belah atas nama nasionalisme, dan dijauhkan dari jati diri Islam. Mereka bahkan dibuat percaya bahwa Islam adalah sumber masalah, padahal justru Islamlah kunci kemuliaan dan persatuan mereka.

Sebelum sistem ini berkuasa, umat Islam pernah berjaya di bawah kepemimpinan Khilafah yang menerapkan hukum Allah secara menyeluruh. Namun, sejak runtuhnya Khilafah pada 1924, kekuatan umat melemah dan kekayaan mereka justru menjadi sumber malapetaka karena tidak diatur dengan hukum Islam.

Kebangkitan umat tidak akan terwujud tanpa kembali pada Islam dan bersatu di bawah kepemimpinan politik Islam—Khilafah. Hanya dengan itu umat mampu menolong sesama Muslim di Gaza, Sudan, Rohingya, Uighur, dan lainnya, serta melawan kezaliman global.

Namun, Khilafah tidak akan tegak dengan sendirinya; ia harus diperjuangkan melalui dakwah yang meneladani Rasulullah SAW—dengan membangun kesadaran umat secara damai tentang kesempurnaan ajaran Islam dan penerapannya dalam kehidupan. Perjuangan ini pun harus dilakukan secara berjemaah, dengan ikatan pemikiran Islam semata dan tujuan untuk mempersatukan umat, bukan demi kekuasaan atau kompromi dengan kebatilan.[]


Oleh: Ingke
Aktivis Muslimah

0 Komentar