Sekularisme: Sumber Masalah Keluarga dan Generasi
MutiaraUmat.com -- Entah apa yang bisa diungkapkan lagi saat melihat banyaknya kasus kekerasan yang terjadi di negara ini. Indonesia telah berada dalam keadaan darurat. Bagaimana tidak, insiden kekerasan dan pembunuhan semakin sering terjadi dan menjadi sebuah fenomena sosial yang sangat mengkhawatirkan. Yang menyedihkan, pelaku kejahatan adalah orang-orang terdekat dan remaja. Menurut data dari SIMFONI PPA (data real time sampai saat ini 30/10/25) terdapat 26.228 kasus KDRT yang diinput. Keluarga yang seharusnya menjadi tempat paling aman untuk berlindung, namun kenyataannya justru menjadi lokasi di mana bahaya mengintai tanpa terdeteksi.
Sebagaimana yang terjadi di Malang, di mana seorang suami tega menghabisi nyawa istrinya sendiri. Jenazah korban ditemukan di ladang tebu dalam keadaan terbakar sebelum dimakamkan (beritasatu, 16/10/2025). Di Pacitan, seorang cucu menyerang neneknya dengan senjata
Keluarga seharusnya menjadi lingkungan pertama dan paling penting bagi setiap individu untuk mempelajari kasih, empati, tanggung jawab, dan nilai-nilai moral. Namun, ketika keluarga berubah menjadi tempat perkelahian dan kekerasan, anak-anak menjadi kehilangan arah. Mereka berkembang dalam atmosfer yang sangat menekan, tanpa sosok teladan, serta tanpa dukungan kasih yang membantu mereka membentuk kepribadian yang baik.
Akibatnya dapat diprediksi: anak muda mengalami fluktuasi emosi, gampang marah, dan sering kehilangan pengendalian diri. Peristiwa seperti bentrok antar pelajar, kekerasan sistematis, dan tindakan kriminal di kalangan remaja mencerminkan kerusakan pada struktur keluarga yang seharusnya menjadi landasan utama pendidikan karakter. Oleh karena itu, situasi darurat kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan remaja sebenarnya saling berkaitan. Keduanya berasal dari satu sumber yang sama: hancurnya nilai-nilai moral dan spiritual di dalam keluarga.
Isu ini tidak dapat dilihat secara sederhana hanya sebagai "kekurangan pendidikan" atau "kurangnya pengawasan". Penyebab yang sebenarnya memiliki kedalaman yang lebih besar, yakni paham sekularisme yang telah lama mengeluarkan agama dari berbagai aspek kehidupan. Sekularisme mengajarkan bahwa agama sebaiknya hanya dikaitkan dengan masjid, gereja, atau tempat ibadah lainnya, sementara hal-hal terkait keluarga, pendidikan, ekonomi, hingga hukum sepenuhnya ditentukan oleh nalar manusia.
Akibatnya, keluarga kehilangan dasar keagamaan. Pasangan suami istri tidak lagi menjadikan Allah sebagai pengarah hidup dan tolok ukur baik-buruk. Fungsi masing-masing menjadi samar, tanggung jawab moral memudar, dan yang tersisa hanyalah hubungan yang rapuh yang didasarkan pada kepentingan dunia. Ketika cinta dan komitmen tidak lagi berlandaskan pada iman, masalah ekonomi yang ringan atau perbedaan pendapat kecil sudah cukup untuk memicu konflik dan kekerasan.
Di sisi lain, pendidikan sekuler-liberal yang mengedepankan kebebasan tanpa batas serta sikap mementingkan diri sendiri semakin memperburuk kondisi. Anak-anak diajarkan untuk mencari "kebebasan pribadi," bukan tanggung jawab terhadap masyarakat dan spiritualitas. Mereka diyakini bahwa kebahagiaan adalah hak individu, tanpa perlu terikat oleh norma-norma agama. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika generasi muda saat ini mudah tersinggung, cepat marah, bahkan berani melakukan kekerasan kepada orang tuanya.
Lebih buruk lagi, materialisme yang muncul akibat sekularisme menjadikan ukuran kebahagiaan hanya berfokus pada hal-hal duniawi. Kehidupan keluarga dibangun berdasarkan kekayaan, karier, dan kesenangan sementara. Saat masalah ekonomi muncul, atau harapan tidak terpenuhi, yang terlihat bukanlah kesabaran dan pengharapan, melainkan frustrasi dan kemarahan. Inilah bom waktu yang berpotensi menjadi kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, hingga anak-anak yang tumbuh tanpa petunjuk moral.
Dalam keadaan seperti ini, pemerintah seharusnya berfungsi sebagai pelindung masyarakat. Negara harus menjamin kesejahteraan, keadilan, dan perlindungan moral bagi warganya. Namun, kenyataannya justru berbeda. Pemerintah bersikap reaktif, bukan bersikap pencegahan. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) memang menjatuhi sanksi pada pelaku, tetapi tidak menyentuh masalah utama yang ada.
Hukum hanya efektif setelah tindakan kekerasan berlangsung. Sementara itu, permasalahan mendasarnya adalah sistem sekuler yang menghasilkan generasi tanpa keimanan dan keluarga yang tidak memiliki dasar integritas. Selama sistem ini dipertahankan dan agama tetap dibatasi di ranah pribadi, maka siklus kekerasan akan terus berlangsung.
Negara sekuler yang mengandalkan hukum yang dibuat oleh manusia sebagai acuan tidak akan bisa menciptakan keluarga yang kuat. Ia hanya dapat memberikan hukuman, bukan penyembuhan. Ia hanya menutup luka, tanpa mengatasi penyebab berdarahnya.
Islam hadir sebagai cara hidup yang menyeluruh. Islam tidak hanya mengatur kegiatan ibadah, tetapi juga menciptakan struktur sosial, ekonomi, pendidikan, serta hukum keluarga. Dalam pandangan Islam, keluarga dianggap sebagai lembaga suci yang diatur dengan penuh cinta dan keadilan.
Dalam syariat Islam, suami memiliki peran sebagai pemimpin dan pelindung keluarga (qawwam), yang bertanggung jawab untuk memberikan nafkah dan memperlakukan istri dengan baik. Istri memiliki martabat yang tinggi sebagai pasangan dan pengatur rumah tangga, dengan hak-hak yang diatur oleh syariat. Ketika setiap peran dilaksanakan dengan keyakinan dan ketakwaan, kekerasan dapat dihindari. Hal ini terjadi karena setiap tindakan dilakukan dengan kesadaran akan pengawasan Allah terhadap semua makhluk-Nya.
Di sisi lain, Islam menekankan pentingnya pendidikan yang berlandaskan akidah sejak usia dini. Tujuan pendidikan bukan hanya untuk membuat anak pintar dalam hal akademis, tetapi juga untuk membentuk karakter Muslim yang beriman. Dalam sistem pendidikan Islam, anak-anak diajarkan bahwa kebebasan seharusnya tidak mutlak, tetapi harus sejalan dengan hukum Allah.
Dalam sistem Islam, negara berfungsi sebagai raain (pelindung) bagi warga negaranya. Negara bertanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan keluarga dengan cara meratakan ekonomi, mengelola sumber daya secara adil, dan menegakkan hukum yang berdasarkan syariat. Negara berusaha untuk menghindari keadaan yang membuat keluarga terperangkap dalam kemiskinan ekstrem, karena kemiskinan seringkali menjadi penyebab terjadinya KDRT.
Dalam sistem Islam, penegakan hukum tidak hanya bertujuan untuk memberikan sanksi, tetapi juga untuk mendidik masyarakat agar menjauhi perbuatan dosa. Sanksi bagi pelaku kekerasan ditegakkan dengan tegas, tetapi tetap dalam koridor keadilan syariat. Tujuan utamanya adalah untuk mencegah kejahatan dan melindungi kehormatan keluarga.
Krisis KDRT dan kekerasan di kalangan remaja bukanlah sekadar masalah sosial, tetapi juga menunjukkan kegagalan sistem sekuler dalam membina individu. Selama nilai-nilai agama dianggap sekadar pelengkap moral, bukan sebagai pedoman utama dalam hidup, dan selama hukum Allah tidak diterapkan sebagai aturan utama, bangsa ini akan terus terjebak dalam siklus kekerasan dan keruntuhan keluarga.
Islam bukan hanya solusi spiritual, tetapi juga solusi sistemik. Ia mengatur manusia dari dasar hingga puncak, dari individu hingga negara. Dengan kembali kepada syariat Islam, keluarga akan kembali kuat di atas dasar ketakwaan, generasi akan berkembang dengan akhlak baik, dan masyarakat akan hidup dalam kedamaian sejati. []
Oleh: Kanti Rahayu
(Aliansi Penulis Rindu Islam)
0 Komentar