Santri Moderat: Ketika Pesantren Tak Lagi Melahirkan Pejuang Islam Kaffah


MutiaraUmat.com -- Santri sering disebut sebagai penjaga tradisi keilmuan Islam, penerus perjuangan para ulama, dan harapan besar umat. Namun kini, di tengah maraknya narasi “santri moderat dan nasionalis,” arah perjuangan mereka perlahan mengalami pergeseran. Santri tidak lagi diarahkan untuk menjadi pejuang ideologis yang menegakkan kalimat Allah, melainkan diarahkan untuk beradaptasi dalam sistem sekuler yang menyingkirkan hukum Islam.

Narasi Moderasi yang Mengaburkan Makna Islam

Plt Kakanwil Kemenag Sumbar, H. Edison, M.Ag., melalui unggahan Instagram-nya memperingati Hari Santri Nasional 22 Oktober 2025 dengan tema: “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia.” Ia mengajak santri meneladani semangat perjuangan, memperkuat komitmen kebangsaan, dan meneguhkan nilai-nilai Islam moderat rahmatan lil ‘alamin.

Sekilas, seruan itu tampak inspiratif. Namun jika dicermati, narasi rahmatan lil ‘alamin versi moderasi justru mengaburkan makna Islam yang sejati. Islam bukan hanya mengajarkan akhlak mulia, tapi juga sistem hidup yang sempurna — mengatur seluruh aspek kehidupan, dari ibadah, muamalah, hingga politik dan pemerintahan.

Melalui konsep “santri moderat,” para santri diarahkan agar selaras dengan sistem kapitalis sekuler yang menolak penerapan syariat Islam secara utuh. Istilah rahmatan lil ‘alamin dijadikan pembenaran untuk menerima pluralisme dan toleransi tanpa batas, bahkan terhadap hal-hal yang jelas bertentangan dengan syariat.

Di Balik Hari Santri: Arah Baru Pesantren yang Sekuler

Hari Santri 2025 juga menandai rencana besar pemerintah: pembentukan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pesantren. Wamenag Romo H.R. Muhammad Syafi’i menyampaikan hal ini dalam kegiatan di Antara Heritage Centre (25/9/2025). Sebelumnya, urusan pesantren berada di bawah Ditjen Pendidikan Islam, tepatnya Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (Ditpdpontren). Dengan adanya Ditjen tersendiri, pesantren diharapkan lebih “efektif mengisi kemerdekaan.” (antaranews).

Sekilas terlihat positif, seolah negara memberi perhatian lebih pada dunia pesantren. Namun jika ditelusuri, langkah ini justru membuka ruang bagi penyeragaman arah dan ideologi pesantren dalam kerangka moderasi serta nasionalisme sekuler.

Lewat lembaga formal seperti Ditjen Pesantren, negara memiliki peluang lebih besar untuk mengatur kurikulum, pembinaan, hingga arah pemikiran pesantren agar sejalan dengan visi pemerintah. Padahal, pesantren semestinya berdiri mandiri dan bebas dari intervensi politik, agar tetap menjadi benteng pembentuk generasi berkepribadian Islam — bukan alat propaganda moderasi.

Kini, siapa pun yang memiliki yayasan bisa dengan mudah mendirikan pesantren. Dulu, syarat itu tidak sesederhana sekarang. Seorang pendiri pesantren haruslah alim dalam agama, menguasai kitab turats (kitab klasik karya ulama salaf), serta memiliki otoritas keilmuan yang diakui. Pesantren dahulu tumbuh dari keilmuan dan keikhlasan, bukan sekadar dari administrasi dan izin lembaga.

Namun seiring dengan semakin menguatnya sistem sekuler, pesantren perlahan berubah menjadi bagian dari birokrasi negara. Ruh perjuangan ideologisnya memudar, dan santri tidak lagi dibina untuk menjadi mujahid dakwah, tetapi diarahkan menjadi “santri moderat” yang mampu berkompromi dengan sistem sekuler.

Semua ini menandakan bahwa arah pendidikan pesantren kini digiring agar sejalan dengan proyek global moderasi beragama. Maka, penting untuk mengingat kembali hakikat santri sejati sebagaimana dicontohkan oleh generasi ulama terdahulu.

Santri Sejati: Berkepribadian Islam, Bukan Nasionalis Moderat

Dalam pandangan Islam, kepribadian seorang Muslim terbentuk dari pola pikir dan pola sikap yang bersumber dari akidah Islam. Inilah yang disebut syakhsiyah Islamiyah — kepribadian yang teguh berpijak pada iman dan syariat.

Santri sejati adalah mereka yang memiliki syakhsiyah Islamiyah; cara berpikir (aqliyyah) dan cara bersikap (nafsiyyah) mereka terikat pada hukum Allah. Mereka memahami bahwa kemuliaan umat hanya bisa diraih dengan penerapan Islam secara kaffah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan (kaffah), dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (TQS. Al-Baqarah: 208)

Ayat ini menegaskan bahwa Islam tidak bisa dipisah-pisahkan. Menjadi santri bukan hanya belajar ilmu agama, tetapi juga menyadari bahwa seluruh aspek kehidupan harus tunduk pada aturan Allah.

Peradaban Dunia” Tanpa Syariat, Sekadar Slogan Kosong

Tema “Menuju Peradaban Dunia” yang digaungkan Kemenag Sumbar tampak megah, tetapi kosong makna jika tidak berpijak pada syariat Allah. Peradaban sejati hanya dapat terwujud melalui penerapan Islam secara kaffah — bukan dari kompromi dengan nilai-nilai Barat yang terbukti gagal membawa kesejahteraan dan keadilan.

Selama sistem kapitalisme masih menjadi landasan negeri ini, selama hukum manusia lebih diutamakan daripada hukum Allah, Hari Santri hanya akan menjadi seremoni tahunan yang kehilangan makna perjuangan. Santri yang semestinya menjadi agen perubahan malah dijadikan tameng untuk memperkuat sistem sekuler yang menindas umat.

Padahal, santri sejati tidak akan berdiam diri melihat kemungkaran. Rasulullah Saw bersabda:

Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya — dan itu selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)

Hadis ini menunjukkan karakter seorang santri sejati: berani berkata benar dan berjuang menegakkan kebenaran dengan ilmu serta iman, bukan sekadar menjadi penonton dalam kerusakan sistem.

Menghidupkan Kembali Ruh Perjuangan Santri

Kini saatnya mengembalikan ruh perjuangan santri seperti generasi awal Islam. Pesantren harus kembali menjadi tempat lahirnya para pejuang ideologis, bukan sekadar pabrik “santri moderat” yang kompromistis terhadap sistem buatan manusia.

Santri harus memahami jati dirinya: bukan pelengkap pembangunan sekuler, melainkan penerus risalah kenabian. Mereka harus berani berpikir dan bersikap ideologis — menolak setiap narasi yang menjauhkan umat dari Islam kaffah.

Sejarah telah membuktikan, perubahan besar selalu dimulai dari barisan orang berilmu yang beriman dan berjuang. Jika pesantren kembali berperan sebagai pusat tatsqif ideologis seperti halaqah Rasulullah Saw di Makkah, maka akan lahir generasi pejuang yang siap menegakkan syariat dan mengembalikan kemuliaan umat di bawah naungan khilafah.

Santri bukan penjaga sistem kufur, tetapi penjaga kemurnian Islam. Mereka bukan sekadar pewaris kitab, melainkan pewaris dakwah Rasulullah Saw.

Wallahu a‘lam. []


Oleh : Melgi Zarwati
Pemerhati Generasi

0 Komentar