Saat Tua, Keluargalah Tempat Pulang Terakhir

MutiaraUmat.com -- Meningkatnya jumlah lansia laki-laki ditelantarkan keluarga adalah mereka yang “hidup suka-suka di masa muda, merana di masa tua” dan akhirnya berakhir di panti jompo. Petugas panti bercerita, mayoritas punya kisah template, dulu sibuk bersenang-senang, lupa pulang, lupa kewajiban, dan anehnya lebih semangat membiayai anak orang daripada anak sendiri. Begitu tubuh renta, dompet menipis, dan langkah mulai dituntun, semua yang pernah mereka banggakan perlahan hilang. Anak sendiri menjauh, anak orang tak kenal, dan dunia sibuk dengan urusannya masing-masing.(news.id, 12/11/2025)

Begitulah, laki-laki hidup "semau gue" walau sudah memiliki anak istri tidak muncul tiba-tiba, tapi berakar dari pemahaman tentang tujuan hidup yang salah. Akar masalahnya jelas, sistem hidup sekuler. Sistem yang memisahkan agama dari kehidupan, membuat laki-laki merasa bebas hidup sesuai mood, sesuai libido, sesuai dompet asal tidak masuk penjara. 

Selama tenaga masih kuat dan uang masih mengalir, mereka merasa hidup punya “free pass” untuk melanggar aturan Allah. Sekularisme mengajarkan bahwa kebahagiaan ada pada pemuasan diri, bukan pada tanggung jawab. Akhirnya banyak lelaki tumbuh dengan mental “aku, aku, dan aku”. Istri hanya pelengkap, anak dianggap beban, dan keluarga cuma tempat numpang tidur.

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan bahwa sistem sekuler-liberal telah merusak struktur kepemimpinan laki-laki. Dalam pandangan beliau, ketika hukum Allah tidak menjadi pusat kehidupan, maka laki-laki tidak lagi merasa dirinya pemimpin amanah (qawwam), tetapi hanya “penguasa bebas” yang boleh menggunakan kekuatan, uang, dan posisi sesukanya. Syariat diabaikan, tanggung jawab dilupakan, dan hawa nafsu diangkat sebagai tujuan hidup. Maka kerusakan keluarga hanya tinggal menunggu waktu.

Padahal Islam sudah mengatur dengan sangat indah. Laki-laki ditetapkan sebagai qawwam, pemimpin yang menegakkan, mengayomi, mengarahkan, dan melindungi. 

Nabi Saw bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban.” (HR. Bukhari).

Artinya, menjadi suami bukan cuma urusan nafkah, tapi urusan amanah akidah. Bukan cuma soal “uang ada”, tapi “arah hidup benar atau tidak”.

Imam Al-Ghazali juga menyebut keluarga sebagai ladang amal laki-laki. Ladang tak akan tumbuh apa-apa jika yang ditanam hanya abai, selingkuh, dan ego. 

Sistem sekuler membuat banyak lelaki merasa mereka tak perlu takut pada aturan Allah, cukup takut kalau ketahuan istri. Maka lahirlah generasi laki-laki yang punya stamina untuk bermaksiat, tapi tidak punya tenaga untuk memeluk anaknya.
Dampaknya? Di usia tua, barulah terasa. 

Anak-anak bukan robot yang bisa direset untuk tiba-tiba sayang. Mereka ingat siapa yang hadir, siapa yang hilang, siapa yang menyakiti hati ibu mereka, dan siapa yang memalingkan wajah ketika mereka butuh sosok ayah. Cucu pun jujur, kalau tidak dekat, mereka tidak akan datang. 

Sistem sekuler mengajarkan hidup individualis, maka saat para lelaki tua merasakan kesepian, mereka sebenarnya sedang menelan buah dari pohon yang mereka tanam sendiri.

Karena itu, kalau mau masa tua tidak berakhir di “Panti Jompo Bahagia tapi garing”, maka laki-laki harus kembali pada poros Islam. Harus paham bahwa hidup bukan tentang memuaskan selera, tapi memikul amanah. Harus berhenti hidup ala sekuler yang bebas dulu, menyesal kemudian.

Rapikan prioritas hidup. Pulang. Hadir. Jaga istri. Sayangi anak. Bangun rumah yang menjadi tempat rindu, bukan tempat trauma. Sebab pada akhirnya, ketika punggung bungkuk dan pandangan kabur, yang datang bukan teman dugem, bukan rekan kerja, bukan selingkuhan yang banyak tuntuta, apalagi anak orang yang dulu dibesarkan. Yang datang hanyalah anak kandung, cucu, dan menantu jika hubungan itu dirawat dalam ketaatan.

Jika tidak? Maka takdirnya kemungkinan hanya satu, dihantar oleh perawat panti, ditemani suara sendok makan yang menggema, sambil mengenang masa muda yang dihabiskan tanpa arah. []


Nabila Zidane
Jurnalis

0 Komentar