Penculikan Anak Kian Meresahkan


MutiaraUmat.com -- Publik tengah digegerkan dengan penculikan seorang balita bernama Bilqis (4). Bilqis menjadi korban penculikan di Taman Pakui Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (2/11/2025).

Setelah orangtua Bilqis melaporkan kepada kepolisian, tidak sampai 24 jam polisi segera bertindak menyusuri penculikan tersebut. Sampai pelaku yakni Sri Yuliana (30) atau Ana ditangkap pada 5 November. Akan tetapi, ia menyatakan korban telah dijual pada pihak lain pada 3 November 2025 karena membutuhkan uang.

Setelah Polisi kembali menyusuri penculikan ini, ternyata korban telah di jual kebeberapa orang,sampai akhirnya pada 8 November 2025 Bilqis ditemukan dan dijemput di masyarakat adat di hutan yang berada di Merangin Jambi.

Penculikan anak merupakan kejadian yang sekian kali. Menurut data dari Pusiknas Bareskrim Polri,menunjukkan bahwa pada periode Januari 12 November 2025,sudah terdapat 50 korban berusia di bawah 20 tahun telah dilaporkan menjadi korban penculikan.

Jaringan penculikan bukan hanya sekadar meminta tebusan kepada keluarga korban, untuk melancarkan aksinya, para oknum telah memanfaatkan golongan rentan yaitu anak-anak, masyarakat adat dan keluarga miskin, untuk mendapatkan keuntungan dari penculikan dan perdagangan anak. 

Seperti yang terjadi pada kasus Bilqis, berpindah tangannya korban beberapa kali dan juga menipu masyarakat adat Suku Anak Dalam, sebagai sasaran penjualannya terhadap korban, telah membuktikan kejahatan para pelaku dilakukan secara terorganisir dan merupakan bagian sindikat tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

Sungguh miris kehidupan di sistem kapitalisme ini. Di mana segala sesuatu bisa dijadikan sebagai komoditas ekonomi, termasuk penculikan dan perdagangan anak. Hal ini juga dikarenakan ada yang mengorganisir dengan sangat baik, sehingga para aparat sangat sulit untuk mengungkap dan menyelamatkan anak-anak yang menjadi korban jaringan penculikan ini.

Di sini juga terlihat negara tidak berdaya terhadap perlindungan anak dan tidak tegasnya hukum untuk menjerat para pelaku penculikan. Sehingga penculikan dan perdagangan anak sulit dihentikan.

Masyarakat sebagai kontrol sosial juga telah gagal dalam melindungi anak-anak. ketidakpekaan menjadi salah satu hal paling krusial seakan telah mati, ini terlihat ketika anak dibawa wanita asing yang ternyata adalah pelaku penculikan. Dan masyarakat melihatnya bahwa wanita tersebut adalah ibunya atau keluarganya, sehingga anak akan sulit untuk meminta pertolongan.

Dengan modus seperti ini, menekankan bahwa sistem perlindungan terhadap anak di negeri ini sangat lemah. Sehingga perlunya kepedulian diperkuat bukan hanya negara, tapi masyarakat juga indivu.

Dalam Islam, jaminan keamanan jiwa dan kenyamanan bagi warga negaranya, terutama anak-anak dan perempuan sangat diperhatikan. Sanksi tegas yang diberikan akan membuat para pelaku jera dan akan mencegah kejadian yang serupa. Sehingga sanksi dalam Islam itu berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus).

Syekh Muhammad Husain Abdullah di dalam kitabnya Dirasat fil Fikri al-Islami, menyatakan ada delapan aspek dalam kehidupan masyarakat yang dipelihara dalam penerapan syariat Islam, yaitu: Memelihara keturunan (al-muhafazhatu ‘ala an-nasl), memelihara akal (al-muhafazhatu ‘ala al-‘aql), memelihara kehormatan (al-muhafazhatu ‘ala al-karamah), memelihara jiwa manusia (al-muhafazhatu ‘ala an-nafs), memelihara harta (al-muhafazhatu ‘ala al-mal), memelihara agama (al-muhafazhatu ‘ala ad-din), memelihara keamanan (al-muhafazhatu ‘ala al-amn), memelihara negara (al-muhafazhatu ‘ala ad-daulah).

Di dalam Islam, memelihara jiwa manusia, berarti jiwa masyarakat terjamin dengan syariat Islam. Negara akan memberikan sanksi yang menjerakan. Termasuk hukuman bagi pelaku penculikan yaitu takzir, hukuman yang ditetapkan oleh Khalifah. Dan hukuman bagi pembunuhan ataupun perusakan tubuh adalah kisas, yaitu hukuman balasan yang seimbang bagi pelakunya.

Islam juga memelihara keamanan dan menetapkan hukuman berat bagi mereka yang mengganggu keamanan masyarakat. Hal ini tampak misalnya pada pemberian sanksi potong tangan dan kaki secara silang, serta hukuman mati dan salib bagi para pembegal jalanan.

Allah Ta'ala berfirman:

إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَن يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم مِّنْ خِلَافٍ أَوْ يُنفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ذَٰلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.” (QS. Al-Maidah [5]: 33).

Selain melindung warganya, khalifah juga akan menyediakan lapangan kerja bagi laki-laki, untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Sehingga tidak akan ada alasan melakukan kejahatan karena desakan ekonomi.

Demikianlah dalam sistem pemerintahan Islam, khilafah akan menjamin dengan sungguh-sungguh keamanan jiwa, kenyamanan dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan syariah Islam.

Wallâhu a’lam bishshawâb. []


Oleh: Dwi Aryani
Aktivis Muslimah

0 Komentar