Penculikan Anak dan Robohnya Perlindungan Negara


MutiaraUmat.com -- Kasus penculikan balita di Makasar membuka kenyataan yang jauh lebih gelap dari sekadar aksi kriminal tunggal. Fakta-fakta yang terungkap menunjukkan betapa kompleksnya jaringan yang bergerak di balik layar. Dugaan bahwa pelaku adalah bagian dari sindikat perdagangan orang yang mampu menggerakkan banyak pihak, memanfaatkan celah sosial, hingga melibatkan unsur masyarakat adat untuk menutupi jejak. Hal ini menggambarkan kerusakan struktural yang selama ini mungkin dihindari untuk diakui. Bahkan yang lebih menyayat, tersingkap bahwa BR, balita yang menjadi korban, sudah dijual hingga tiga kali oleh jaringan pelaku (kompas.com, 14/11/2025).

Tiga kali perpindahan tangan seorang anak kecil, tanpa satu pun sistem negara yang mampu mendeteksi. Balita itu dipindahkan lintas lokasi, ditawarkan, dinegosiasikan, dijual, lalu dijual lagi, dan sekali lagi. Semua itu berlangsung terjadi tanpa ada alarm dari aparat, tanpa pengawasan, tanpa mekanisme yang mampu menghalangi perpindahan manusia secara ilegal.

Sulit menerima bahwa seseorang bisa diperdagangkan berkali-kali di dalam sebuah negara yang mengklaim memiliki satuan khusus, perangkat hukum, dan anggaran besar untuk menjaga keamanan. Namun, fakta ini menunjukkan betapa longgarnya celah sistem, betapa mudahnya jaringan kriminal bergerak, dan betapa lemahnya kehadiran negara pada titik yang paling menentukan. Kasus penculikan BR juga kembali memperlihatkan bahwa ruang publik di Indonesia bukan tempat aman bagi anak-anak. 

Orang tua dipaksa menjadi penjaga keamanan penuh waktu. Setiap kali kasus seperti ini terjadi, negara merespon dengan imbauan yang sudah terlalu sering didengar yakni tingkatkan kewaspadaan, jaga anak-anak, saling pantau. Semua imbauan itu terdengar benar, tetapi menyimpan ironi besar. Jika rakyat saja yang harus menjaga dirinya, lalu apa fungsi aparatur keamanan, lembaga perlindungan anak, dan sistem seperangkat hukum yang lengkap yang sudah dibuat?

Kelemahan ini tidak bisa lagi dianggap sebagai insiden kecil, apalagi dilihat sebagai “kecolongan.” Ini adalah kegagalan sistemik yang berlangsung lama. Sekularisme yang diterapkan hari ini tidak menempatkan penjagaan jiwa sebagai prioritas. Hanya sibuk dengan prosedur, birokrasi, administrasi, tetapi tidak benar-benar bekerja untuk menciptakan rasa aman dan menjaga jiwa rakyatnya. Akibatnya, jaringan kriminal dapat beroperasi dengan memanfaatkan celah sosial, ekonomi, dan keamanan yang sangat besar. Di sinilah golongan rentan menjadi korban dari sistem yang rusak ini. Anak-anak jelas berada di posisi paling lemah. Mereka tidak memiliki kemampuan membela diri, tidak bisa membaca situasi bahaya, dan sepenuhnya bergantung pada lingkungan aman. Ketika lingkungan itu tidak ada, maka mereka menjadi sasaran empuk bagi jaringan kriminal.

Masyarakat miskin juga berada dalam posisi yang sama rentannya. Kondisi ekonomi yang menekan menyebabkan sebagian dari mereka mudah dimanfaatkan oleh jaringan kejahatan. Tidak sedikit kasus menunjukkan bahwa sindikat memanfaatkan mereka sebagai perantara, kurir, penyembunyi informasi, atau sekadar tameng untuk menutupi operasi ilegal. Semua ini terjadi karena kemiskinan membuat mereka tidak memiliki pilihan lain. Sistem ekonomi yang timpang membuat mereka berada di pinggir jurang, mudah diarahkan dan dimanfaatkan. Masyarakat miskin mereka adalah korban dari penindasan panjang yang dilakukan negara dan korporasi yang merampas hutan, tanah, dan ruang hidup mereka.

Akses kesehatan, pendidikan, dan pelayanan dasar sangat terbatas. Dalam kondisi seperti itu, sebagian dari mereka mudah dimanipulasi oleh sindikat yang memanfaatkan ruang kosong akibat ketidakadilan struktural. Keterlibatan mereka dalam menutupi jejak kasus penculikan bukan muncul dari niat jahat, melainkan dari posisi yang makin terdesak oleh keadaan yang tidak bisa mereka pilih. 
Sungguh sangat kontras dengan sistem Islam. Islam menempatkan penjagaan jiwa sebagai prioritas paling tinggi dalam maqasid syariah. Dalam kerangka negara, keamanan bukan sekadar tugas aparat, tetapi amanah syar’i yang wajib dipenuhi secara menyeluruh. Islam menerapkan hukuman yang tegas bagi penculikan dan perdagangan manusia, memberi efek pencegahan yang kuat bagi pelaku, dan memastikan negara hadir bukan hanya menghukum, tetapi juga mencegah kondisi sosial yang melahirkan kejahatan.

Melalui kebijakan ekonomi yang adil, masyarakat miskin tidak dibiarkan menjadi celah kriminal. Melalui perlindungan struktural terhadap komunitas adat, tidak ada kelompok yang terpinggirkan hingga mudah dieksploitasi. Melalui pembinaan ketakwaan, masyarakat digiring untuk memiliki kesadaran moral sebelum tindakan kriminal muncul.

Kasus BR harus menjadi cermin. Seorang balita yang dijual tiga kali menunjukkan bahwa sistem keamanan negeri ini memiliki lubang yang terlalu besar. Selama sistem yang rapuh ini terus dipertahankan, kejahatan akan terus menemukan jalan. Hanya sistem yang memuliakan jiwa manusia sebagaimana Allah SWT memuliakannya yang mampu memberi keamanan hakiki bagi setiap warga, terutama yang paling tidak berdaya.

Dengan menerapkan Islam kaffah, sistem ekonomi, sistem sanksi, semua nya dapat diterpakan secara sempurna dan akan memberikan efek kuratif dan solutif. Tentu kita tidak menginginkan kondisi seperti ini terus terjadi. Kita tidak akan menginginkan ada anak-anak lain yang menjadi korban kejahatan dari sistem sekularisme yang rusak ini. Maka, sudah sangat penting keberadaan penerapan sistem Islam dalam seluruh aspek kehidupan kita. Sebab, hanya Islam satu-satu nya solusi atas seluruh problematika yang ada.

Wallahu a’lam bishshawab. []


Oleh: Hilda Handayani
Aktivis Muslimah

0 Komentar