Menjaga Bonding Ibu dan Anak
MutiaraUmat.com -- Di tengah hiruk-pikuk dunia modern, deadline kerja, meeting Zoom yang gak selesai-selesai, dan notifikasi grup WA yang kadang isinya cuma “Besok arisan dirumah siapa?” banyak ibu akhirnya kehilangan satu hal paling penting dalam hidupnya, yaitu bonding dengan anak.
Padahal ikatan ibu dan anak itu bukan sekadar “momen lucu-lucuan” buat Instagram, tapi fondasi tumbuhnya jiwa yang stabil. Makanya sob, jangan heran kalau muncul berita ibu dan anak sengketa, perebutan hak asuh, sampai anak yang tiba-tiba merasa asing dengan ibunya sendiri. Bukan karena ibunya jahat, tapi karena yang hadir setiap hari justru pembantu, babysitter, nenek atau yang lebih parah diasuh gadget. Sementara ibunya sibuk mengejar validasi dunia yang tak ada ujungnya.
Pengasuhan itu satu, bukan estafet. Islam menegaskan bahwa ibu adalah pusat pengasuhan. The queen of the house, bukan “pemain cadangan” yang muncul saat weekend saja. Ibu layak diberi ruang penuh untuk mendidik anak bukan karena ibu tidak boleh hebat di luar, tapi karena tidak ada yang bisa menggantikan posisi seorang ibu.
Pembantu? Jelas bukan ibunya. Nenek? Sayang, iya, tapi pola asuhnya beda zaman.
Saudara dan tetangga? Bisa bantu, tapi bukan pusat pendidikan.
Makanya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan bahwa rumah tangga itu bagian dari bangunan masyarakat, dan pendidikan anak adalah amanah besar yang tidak boleh dialihkan kepada sistem asing atau pihak yang tidak memahami tujuan hidup Islam. Ibu adalah madrasah pertama yang membangun pola pikir dan kepribadian anak berdasarkan akidah Islam.
Masalahnya, banyak anak hari ini tumbuh dalam pengasuhan “keroyokan” yang tak jelas ideologinya. Pembantu datang dan pergi tiap dua tahun. Baby sitter diganti kalau mulai galak. Nenek ikut campur kalau anak nangis. Ibu? Pulang sudah lelah, ayah sibuk mencari nafkah, jadilah anak kebingungan dengan pola asuh seperti di film Avengers, banyak tokoh, beda karakter, beda misi hidup. Akhirnya, bonding anak rapuh. Anak cukup materi, tapi jiwanya merasa “gak dianggap.”
Kelihatannya rapi karena baju disetrika, tapi hatinya kusut karena gak punya figur yang ia percaya. Makanya, kalau pembantu ngingetin, anak melawan, “Kamu siapa? Kan cuma pembantu!”
Bagi anak, ia bukan figur otoritas dan wajar, karena motivasinya bekerja adalah untuk mendapatkan gaji, bukan membangun kepribadian Islami seperti yang Allah perintahkan.
Soal ibu bekerja? Ini bukan soal boleh atau tidak, tapi soal prioritas dan realita. Kalau ibu terlalu asyik mengejar dunianya sendiri, anak akan tumbuh seperti tanaman yang disiram sesuai mood, kadang penuh cinta, kadang dengan air sisa tenaga dan air mata. Tidak heran kalau jiwanya kering.
Dalam Islam, nafkah wajib ditanggung suami100%. Bukan 50:50, bukan “bagi tugas sesuai kemampuan,” apalagi “uang kita uang kita, uang kamu uang aku.” Umar bin Khaththab tegas mengatakan bahwa suami adalah qawwam, pemimpin yang menanggung kebutuhan istri dan anak kandung.
Jadi ibu bisa fokus menjalankan peran ideologisnya mencetak generasi berkepribadian Islam, bukan sekadar generasi yang luwes memanggil siapa pun “ibu” hanya karena lebih sering bertemu.
Tiga Fase Pengasuhan ala Ali bin Abi Thalib ra.
Ulama sering mengutip hikmah mendalam dari Ali bin Abi Thalib ra tentang panduan mendidik anak sesuai fase usia:
Pertama, fase Raja (0–7 tahun).
Di fase ini, anak diperlakukan seperti raja. Bukan berarti memanjakan tanpa aturan, tapi memberikan kasih sayang total, perhatian penuh, membangun rasa aman, dan menunjukkan bahwa rumah adalah zona cinta tanpa syarat.
Anak yang tidak terpenuhi kasih sayangnya di fase ini, nanti tumbuh keras, mudah marah, dan sulit percaya pada figur otoritas. Karena dari kecil cintanya ditunda, digantikan oleh suara-suara asing yang tak punya ikatan dengannya.
Kedua, fase tawanan (7–14 tahun).
Di fase ini anak diajarkan disiplin, adab, ketaatan kepada Allah, dan tanggung jawab. Disebut “tawanan” bukan karena kita menjadikan anak seperti narapidana, tapi karena ia harus diarahkan dengan aturan, dilatih mengikuti komando, dibiasakan pada keteraturan hidup.
Kalau dari kecil diasuh banyak kepala yang beda standar, seperti pembantu, nenek, babysitter, tetangga, bahkan YouTube, bagaimana ia mau konsisten menjalankan satu aturan hidup?
Ketiga, fase sahabat (14–21 tahun).
Inilah masa emas bonding.
Anak mulai diajak diskusi, dimintai pendapat, diajak menentukan keputusan, dan dijadikan partner perjalanan hidup. Ibu dan anak menjadi sahabat yang saling percaya bukan musuh yang saling curiga.
Dan sob, bonding ini mustahil tercapai jika di fase pertama dan kedua yang hadir bukan sang ibu, tapi “tim pengganti” yang berganti shift.
Ibu Adalah Madrasah Pertama
Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa anak lahir seperti kertas putih, dan keluargalah yang menorehkan tinta pertama. Jika tinta pertamanya samar-samar, apalagi ditulis oleh banyak tangan yang tidak paham tujuan, semakin kacau jadinya.
Ibnu Qayyim menegaskan bahwa hati anak itu lembut, cepat menangkap, dan sangat dipengaruhi oleh orang yang paling sering menemaninya. Maka tidak heran, kalau anak lebih menurut pembantu yang tiap hari menemaninya ketimbang ibunya sendiri.
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani
menjelaskan bahwa pengasuhan anak dalam Islam bukan hanya soal kasih sayang, tapi membentuk syakhshiyah Islamiah (kepribadian Islam) built-in yang berpikir dengan akidah dan bertingkah laku sesuai hukum syara. Ini hanya bisa dilakukan jika yang mengasuh anak adalah seseorang yang memahami tujuan hidup Islam, bukan sekadar penjaga atau penghibur. Karena tujuan pengasuhan bukan “agar anak tidak nakal,” tapi agar ia menjadi hamba Allah dan pemimpin peradaban.
Akhirnya bonding ibu-anak itu bukan perkara teknis, tapi ideologis. Ibu yang hadir, mencintai, mengarahkan, mendidik, dan menemani itulah yang membentuk anak menjadi pribadi kuat.
Sedangkan ibu yang terlalu sibuk mengejar dunianya sendiri, lalu pengasuhan diwakilkan sana-sini, akan kehilangan kesempatan membangun ikatan terdalam yang tak bisa dibeli dengan uang sebanyak apa pun.
Bonding itu tidak bisa diwariskan, tidak bisa digantikan, dan tidak bisa di-outsourcing. Ia hanya tumbuh dari hati seorang ibu yang sengaja hadir untuk anak demi ridha Allah Ta'ala. []
Nabila Zidane
Jurnalis
0 Komentar