Marak Perceraian, Merapuhkan Generasi
MutiaraUmat.com -- Angka perceraian di Indonesia kian mencemaskan. Setiap tahun, ribuan rumah tangga berakhir di meja hijau. Berdasarkan data Kementerian Agama RI, sepanjang tahun 2023 tercatat lebih dari 447 ribu perkara perceraian di seluruh Indonesia, dengan dominasi pada usia pernikahan di bawah lima tahun (kemenag.go.id, 24/02/2024). Sementara itu, Kompas.id (28/10/2025), melaporkan bahwa angka pernikahan justru menurun di berbagai daerah, menandakan gejala sosial yang serius di tengah masyarakat modern.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di kota besar. Di tingkat daerah pun kondisinya mengkhawatirkan. Pengadilan Agama Bojonegoro, misalnya, mencatat 2.240 perkara perceraian hanya dalam sepuluh bulan pertama tahun ini (pa-bojonegoro.go.id, 23/10/2025).
Yang menyedihkan, tren perceraian kini tak hanya menimpa pasangan muda. Banyak pasangan yang telah menua bersama, memutuskan berpisah di usia senja. Fenomena ini disebut grey divorce. Di sisi lain, survei menunjukkan bahwa sebagian besar didominasi oleh cerai gugat, tren yang juga meningkat secara nasional sebagaimana dicatat oleh VOI.id (5/11/2025), akibat makin banyaknya perempuan yang merasa mampu hidup mandiri.
Akar Masalah: Lemahnya Pondasi dan Paradigma Sekuler
Beragam faktor menjadi pemicu perceraian, mulai dari pertengkaran, tekanan ekonomi, KDRT, perselingkuhan, hingga kecanduan judi online sebagaimana diungkap dalam laporan CNBC Indonesia (30/10/2025). Namun di balik semua itu, ada masalah yang lebih mendasar, yaitu lemahnya pemahaman masyarakat terhadap makna dan tujuan pernikahan. Rumah tangga kini lebih banyak dibangun atas dasar “kenyamanan” dan “kecocokan duniawi”, bukan atas dasar ketakwaan dan tanggung jawab ibadah.
Sistem sekuler kapitalis telah membentuk cara pandang masyarakat yang materialistis. Pendidikan yang tidak berorientasi pada pembinaan ruhiyah menjadikan generasi tumbuh tanpa bekal kepribadian Islam. Akibatnya, pernikahan sering dijalani tanpa visi ibadah dan tanggung jawab. Ketika masalah muncul, perceraian dianggap solusi instan, tanpa kesadaran akan dampak sosial dan psikologis yang panjang.
Generasi Rapuh dari Keluarga yang Runtuh
Perceraian bukan sekadar tanda cinta yang pudar, tapi simbol rapuhnya peradaban. Anak-anak yang tumbuh tanpa kehangatan ayah dan kasih ibu sering kehilangan arah. Mereka mudah terpengaruh oleh lingkungan, kehilangan rasa aman, dan sulit memahami makna tanggung jawab. Sebagaimana dilaporkan Antaranews (8/05/2025), perceraian terbukti berdampak langsung pada kesehatan mental anak, termasuk meningkatnya kecemasan dan penurunan rasa percaya diri.
Inilah buah dari sistem yang menihilkan peran syariat dalam mengatur kehidupan. Keluarga kehilangan fungsi pendidikan, masyarakat kehilangan kontrol sosial, dan negara abai dalam menjaga ketahanan keluarga. Generasi pun tumbuh rapuh, dan mudah goyah oleh arus hedonisme dan egoisme.
Solusi Islam: Membangun Keluarga dan Generasi Tangguh
Islam memandang keluarga sebagai unit dasar peradaban. Karena itu, ketahanan keluarga tidak akan tegak tanpa sistem yang berlandaskan wahyu. Dalam sistem Islam, pendidikan diarahkan untuk membentuk kepribadian Islami, yaitu menyatukan pola pikir dan pola sikap berdasarkan akidah. Sejak remaja, laki-laki dan perempuan dibina agar memahami makna pernikahan sebagai ibadah, bukan pelarian dari kesepian atau tekanan sosial.
Sistem pergaulan Islam pun menjaga relasi antara anggota keluarga dan masyarakat tetap dalam koridor takwa. Nilai-nilai seperti tanggung jawab, amanah, dan saling menasihati hidup dalam keseharian. Tidak ada budaya individualisme atau kebebasan yang merusak batas.
Lebih jauh, kesejahteraan keluarga tidak dibiarkan bergantung pada kekuatan individu semata. Sistem politik ekonomi Islam menjamin kebutuhan dasar setiap warga, mulai dari sandang, pangan, papan, hingga akses pendidikan dan kesehatan, sehingga problem ekonomi tidak menjadi alasan runtuhnya rumah tangga.
Ketika seluruh sistem ini berjalan selaras, pernikahan akan kembali menjadi benteng peradaban, bukan jebakan emosional yang rapuh.
Perceraian adalah jalan terakhir, bukan pilihan hidup. Tetapi ketika fenomena ini menjadi massal, itu pertanda ada sistem yang rusak dalam masyarakat. Menambal retakan di satu rumah tangga tak akan cukup, jika akar retaknya ada pada bangunan sosial yang keliru.
Sudah saatnya kita kembali kepada sistem yang menautkan setiap hubungan, termasuk pernikahan kepada Sang Pencipta. Karena hanya dengan cara itu keluarga akan kokoh, generasi akan tangguh, dan peradaban akan kembali bermartabat. []
Astriani Nur Fatikasari, S.Pd.
(Aktivis Muslimah)
0 Komentar