Krisis Sudan: Perebutan Pengaruh Amerika dan Inggris di Negeri Muslim


MutiaraUmat.com -- Pasukan Dukungan Cepat atau RSF, Kamis (6/11) kemarin, menyatakan menerima usulan gencatan senjata dan jeda kemanusiaan yang dimediasi kelompok "Quad"pimpinan Amerika Serikat. Kelompok paramiliter yang dituduh membantai warga sipil di Darfur itu sudah lebih dari dua tahun berperang melawan militer Sudan. Gencatan senjata disepakati lebih dari sepekan setelah RSF merebut kota El-Fasher, yang sebelumnya dikepung selama 18 bulan. Kota yang usai pengungsian massal berpenduduk sekitar 400 ribu jiwa itu merupakan benteng terakhir militer Sudan di Darfur. (07/11/25, news.detik.com)

Konflik ini dipicu oleh perebutan kekuasaan antara Jenderal Abdel Fattah al-Burhan (SAF) dan Letjen Mohamed Hamdan Dagalo atau Hemedti (RSF), yang sebelumnya merupakan sekutu dalam kudeta pemerintahan transisi pada 2021. Sejak April 2023, perseteruan mereka berubah menjadi perang besar yang menghancurkan banyak wilayah. Di balik konflik ini, terdapat campur tangan Barat, terutama AS dan Inggris, yang diduga mengadu-domba rakyat Sudan demi mempertahankan pengaruh dan menguasai kekayaan alam negeri tersebut melalui proxy. 

Secara historis, Sudan adalah bagian dari wilayah dakwah Islam sejak masa Khalifah Umar bin Khaththab ra. dan berkembang pesat pada era Khilafah Utsmaniyah sebelum akhirnya jatuh ke tangan penjajah Barat. Sudan juga dikenal kaya sumber daya alam: memiliki lebih dari 3 miliar barel cadangan minyak, 1.550 ton emas, getah Arab (gum arabic), dan uranium di Pegunungan Nuba. Letaknya yang strategis di timur laut Afrika menjadikannya pusat jalur perdagangan antara Afrika Utara dan Sub-Sahara, serta memiliki pantai panjang di Laut Merah yang dekat dengan Selat Bab al-Mandeb, jalur vital perdagangan minyak dunia. Sudan direbut Inggris dari Khilafah Islam pada 1898 untuk melemahkan Kekhilafahan Utsmaniyah dan menguasai Mesir serta Sungai Nil, jalur strategis menuju koloni Inggris di India dan Afrika Selatan. Setelah berkuasa, Inggris menerapkan politik Devide et Impera dengan memecah rakyat Sudan berdasarkan etnis dan agama. Sudan Utara yang berbudaya Arab lebih diutamakan dibanding Sudan Selatan yang beretnis Afrika. Wilayah selatan bahkan dijadikan ladang misi Kristen melalui Kebijakan Selatan, hingga akhirnya menjadi negara mayoritas Kristen saat memisahkan diri pada 2011.

Pengaruh Inggris mulai melemah setelah tekanan Amerika Serikat melalui PBB agar negara-negara Eropa melepaskan jajahannya. Setelah Sudan merdeka pada 1956, AS perlahan menggantikan posisi Inggris dengan memperkuat pengaruh politik dan militernya. Konflik Sudan saat ini merupakan bagian dari strategi AS untuk, menghapus pengaruh Inggris lewat dukungan AS pada RSF, membentuk koalisi Arab agar Inggris dan PBB tak ikut campur, memecah Sudan dan menguasai wilayah kaya sumber daya, dan menghalangi kebangkitan Islam dengan isu terorisme dan konflik internal. Dengan demikian, konflik Sudan sejatinya adalah perebutan pengaruh antara dua kekuatan penjajah yaitu Inggris dan Amerika Serikat yang sama-sama ingin menguasai negeri Muslim yang kaya raya itu.

Tragisnya, banyak pemimpin Muslim justru bersekongkol dengan negara-negara Barat, mendukung tindakan zalim terhadap sesama Muslim, termasuk di Sudan dan Gaza. Pasukan sokongan negara kafir Amerika Serikat menari-nari di atas darah kaum Muslim. Bahkan mereka juga merusak kehormatan banyak kaum Muslimah di sana. Padahal Rasulullah saw. menegaskan bahwa seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, tidak boleh menzalimi atau membiarkannya disakiti.

Semua penderitaan ini terjadi karena umat kehilangan pelindung sejati yaitu Khilafah Islamiyah yang berfungsi sebagai perisai bagi umat, sebagaimana sabda Nabi Saw. tentang imam (khalifah) sebagai pelindung yang membela dan melindungi rakyatnya.

Sudah saatnya umat Islam bersatu dalam ukhuwah islamiyah dan menegakkan kembali pemerintahan Islam global (khilafah) untuk melindungi kehormatan, menyatukan kekuatan, serta mengakhiri penderitaan umat di seluruh dunia.

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Nabia Husnul
Aktivis Muslimah

0 Komentar