Krisis Sudan dan Urgensi Kepemimpinan Islam Global Khilafah
MutiaraUmat.com -- Konflik di Sudan masih berlangsung sengit antara Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF), dengan pertempuran intensif yang dilaporkan terjadi di wilayah Kordofan, serta kekhawatiran yang mendalam mengenai krisis kemanusiaan di El-Fasher, Darfur Utara.
Militer Sudan (SAF) dilaporkan telah maju untuk menekan RSF di tiga wilayah Kordofan, yang merupakan daerah kaya minyak. Meskipun RSF sebelumnya menyetujui gencatan senjata kemanusiaan di El-Fasher, laporan-laporan terus bermunculan mengenai pembunuhan massal, kekerasan seksual, dan penyerangan terhadap fasilitas kesehatan serta pekerja bantuan di wilayah tersebut. PBB telah memerintahkan penyelidikan resmi terhadap dugaan kekejaman di sana.
Dua jenderal yang dulu sekutu ketika menggulingkan Presiden Omar Al-Bashir pada 2019 saat ini masih berselisih dalam proses transisi menuju pemerintahan sipil. Perselisihan memuncak pada April 2023 menjadi perang saudara berdarah. Kini keduanya saling membunuh: Jenderal Abdel Fattah al-Burhan (SAF) dan Letjen Mohamed Hamdan Dagalo alias Hemedti (RSF) bukan sekadar perebutan kursi kekuasaan.
Krisis Pengungsian Terbesar di Dunia
Sudan mengalami krisis pengungsian terbesar di dunia. Lebih dari 13 juta orang telah mengungsi akibat konflik ke negara-negara tetangga seperti Chad, Mesir, dan Sudan Selatan (Sumber: PBB). Banyak keluarga mengungsi berjalan kaki selama berhari-hari tanpa makanan. Kamp-kamp penuh sesak. Persediaan kebutuhan dasar tidak tersedia. Ini adalah pengusiran paksa massal yang disebabkan oleh faksi-faksi bersenjata dan taktik kelaparan.
Strategi Melaparkan: Kelaparan sebagai Senjata Perang
Lebih dari 25 juta orang di Sudan menghadapi kerawanan pangan akut - setara dengan setengah dari populasi. Lebih dari 600.000 orang berada di ambang kelaparan (IPC Fase 5). Setidaknya 10 daerah, termasuk kamp Zamzam dan Abu Shouk, telah mengonfirmasi mereka sudah pada tingkat kelaparan. Hal ini tidak disebabkan oleh kekeringan - tetapi oleh taktik perang: Baik Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) menghalangi masuknya bantuan, menjarah gudang dan mencegah makanan mencapai daerah musuh.(Sumber: UN OCHA, WFP, Laporan IPC Sudan, Mei 2024).
Menurut Hager Ali, pakar Sudan dari GIGA Institute for Global and Area Studies, kekejaman RSF kali ini mencapai tingkat yang belum pernah terlihat sebelumnya. "Kekerasan mereka kini tanpa kendali. Siapa pun yang tak mendukung, tak mau bergabung, atau sekadar menghalangi langkah mereka, bisa menjadi sasaran. Dugaan pembunuhan massal. Temuan itu sejalan dengan laporan eksekusi terhadap warga yang mencoba melarikan diri.
Seorang remaja laki-laki berusia 17 tahun menggambarkan pembunuhan 12 anak dan 5 orang dewasa dari beberapa keluarga: "Dua pasukan RSF... merampas anak-anak dari orang tua mereka dan, ketika orang tua mereka mulai berteriak, dua pasukan RSF lainnya menembak orang tua tersebut hingga tewas. Kemudian mereka menumpuk anak-anak dan menembak mereka. Mereka membuang jasad mereka ke sungai..."
Pada pertengahan September, Sudan War Monitor memperingatkan meningkatnya kekerasan di Darfur. Organisasi itu melaporkan serangan drone ke Masjid Al-Safiya saat salat Jumat, menewaskan banyak jemaah. Pembunuhan di Safiya memperkuat dugaan bahwa kampanye RSF bukan sekadar upaya militer, melainkan pembersihan demografis. Keduanya hanyalah pion dalam perang pengaruh antara Amerika dan sekutunya. Rakyat sipil jadi korban, ribuan nyawa melayang, jutaan terusir dari rumah. Namun, di balik semua itu, ada permainan besar kekuatan asing yang jarang dibicarakan. Amerika Serikat dan Inggris punya kepentingan besar di Sudan. Dengan strategi divide et impera - adu domba - mereka memastikan Sudan tetap lemah dan mudah dikendalikan.
Sumber Daya Alam Berlimpah yang Dimiliki Sudan
Sudan dipenuhi oleh sumber daya mineral tersedia dengan jumlah yang sangat berlimpah seperti emas, minyak bumi, gas alam, uranium, kromit, dan bijih besi, serta asbes, kobalt, tembaga, granit, gipsum, kaolin, timah, mangan, mika, gas alam, nikel, perak, uranium, dan seng. Selain itu, Sudan dikarunai tanah pertanian yang subur karena dilalui Sungai Nil yang legendaris.
Sudan merupakan produsen emas yang signifikan di dunia. World Gold Council melaporkan bahwa pada tahun 2023, Sudan menduduki peringkat ke-16 sebagai produsen emas terbesar di dunia. Negara ini berada di peringkat keempat dalam produksi emas di Afrika, setelah Ghana, Mali, dan Afrika Selatan.
Dikutip dari Xinhua, Selasa (4/11), Sudan mencapai rekor produksi emas pada 2024 dengan total 64,4 ton emas dan menghasilkan pendapatan pemerintah sekitar USD 1,6 miliar.dan sumber daya ini menjadi ekspor terbesar negara saat ini - sekitar 70% dari total ekspor. Cadangan emas sebagian besar terletak di Darfur, Perbukitan Laut Merah, Pegunungan Nuba, dan wilayah Nil Biru. Negara ini memiliki potensi penambangan emas yang sangat signifikan. Mitra impor utama adalah Tiongkok (78%), diikuti oleh UEA, Jepang, Arab Saudi, dan Italia. (Sumber: Central Bank of Sudan).
Minyak. Sudan merupakan negara penghasil minyak. Cadangan minyak terbesar berada di Sudan Selatan, namun infrastruktur pipa dan fasilitas ekspor berada di Sudan (utara). Karena itu, pengelolaan dan pembagian pendapatan minyak selalu menjadi isu sentral nasional. Sebelum pemisahan Sudan Selatan pada tahun 2011, Sudan merupakan produsen minyak yang signifikan, dengan industri perminyakan menyumbang hampir 60% pendapatan pemerintah (Elgaili, 2014). Bahkan setelah Sudan Selatan yang kaya minyak lepas, Sudan masih memiliki cadangan emas yang substansial, yang telah menjadi komponen utama ekonomi ekstraktifnya dan menjadi hadiah penting bagi para pemain regional dan internasional yang mendukung berbagai pihak dalam konflik yang sedang berlangsung. Negara ini juga memiliki tanah yang subur untuk pertanian (seperti mangga, lemon, dan jeruk) dan potensi besar dalam energi terbarukan (tenaga surya, angin, dan hidro).
Posisi Geografis Sudan Aset Strategis Terbesarnya
Terletak di timur laut Afrika, Sudan berbatasan dengan tujuh negara, yakni Mesir, Libya, Chad, Republik Afrika Tengah, Sudan Selatan, Etiopia, dan Eritrea. Hal ini menjadikannya penghubung utama antara Afrika Utara, wilayah Sahel, dan Afrika Sub-Sahara, Posisi Sudan pun vital. Sudan juga memiliki garis pantai yang signifikan di sepanjang Laut Merah, tepat di seberang Jazirah Arab dan dekat Selat Bab al-Mandeb, salah satu titik kunci maritim paling penting di dunia.
Selat Bab al-Mandeb menghubungkan Laut Merah dengan Teluk Aden dan Laut Arab, menjadikannya koridor vital bagi perdagangan internasional dan perdagangan minyak. Hampir 10% minyak dunia yang diangkut melalui laut melewati jalur sempit ini.
Tak heran, sejak zaman kolonial, Barat terus berlomba menancapkan pengaruhnya. Kini, giliran Amerika yang menyingkirkan Inggris secara perlahan. Atas nama "stabilitas kawasan", AS justru mendukung milisi RSF dan menyusun blok politik bersama Saudi, UEA, dan Mesir. Sementara rakyat Sudan terus menanggung derita akibat ambisi global yang tak berperikemanusiaan.
Tragedi Sudan bukan satu-satunya. Kita sudah menyaksikan hal serupa di Gaza, Suriah, Rohingnya, Yaman. Amerika telah terbukti menjadi dalang di balik sejumlah konflik paling keji di dunia. Dari Ukraina hingga Palestina, dan kini Sudan, pola yang sama terus berulang: penggunaan senjata, dana, dan proksi untuk melanggengkan kepentingan geopolitiknya. Keterlibatan Amerika bukanlah hal baru, melainkan bagian dari pola panjang campur tangan di berbagai konflik internasional, mulai dari Palestina hingga Timur Tengah dan Afrika.
Sejak kemerdekaan Sudan pada 1956, negara ini tidak pernah lepas dari cengkeraman kekuatan asing. Awalnya Inggris, lalu bergeser ke Amerika seiring kebangkitannya sebagai kekuatan super dunia. Karena posisi strategis dan sumber daya melimpah, Sudan menjadi rebutan berbagai negara, termasuk Rusia, China, dan Prancis. Namun, Amerika tetap menjadi “pengendali utama" melalui proksi-proksinya.
Keterlibatan Amerika dalam mendukung dua tokoh kunci yang kini bertikai: Abdel Fattah al-Burhan dari Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan Mohammad Hamdan Dagalo (Hemedti) dari Pasukan Pendukung Cepat (RSF). Keduanya sama-sama menumpahkan darah rakyat Sudan hanya demi melayani kepentingan Amerika dalam memecah belah Sudan, sebagaimana sebelumnya Sudan Selatan dipisahkan.
Sejarah Masuknya Islam di Sudan
Sebagai negeri dengan sejarah panjang Islam, Sudan memiliki posisi penting di Afrika. Islam masuk ke wilayah ini sejak masa Khalifah Umar bin al-Khaththab ra melalui penaklukan Mesir oleh Panglima Amr bin al-Ash ra, lalu dilanjutkan oleh Uqbah bin Nafi ra yang membawa dakwah hingga Nubia—kini bagian Sudan utara. Namun, setelah kekuasaan Khilafah Utsmaniyah melemah, negeri-negeri Afrika, termasuk Sudan, jatuh ke tangan penjajah Barat seperti Inggris dan Prancis yang berebut sumber daya alam.
Sudan memiliki lebih dari 3 miliar barel cadangan minyak, 1.550 ton emas, getah arab yang bernilai industri tinggi, serta cadangan uranium di Pegunungan Nuba.
Sejak direbut Inggris dari tangan Khilafah Islam pada tahun 1898, Sudan menjadi arena perebutan pengaruh dua kekuatan besar, Inggris dan Amerika Serikat. Inggris menaklukkan Sudan untuk melemahkan Khilafah Utsmaniyah dan mengamankan kendalinya atas Mesir dan Sungai Nil sebagai jalur perdagangan penting ke India dan Afrika Selatan. Untuk mempertahankan kekuasaannya, Inggris menerapkan politik divide et impera dengan memisahkan wilayah utara yang lebih "Arab" dan maju dari wilayah selatan yang lebih "Afrika" melalui "Kebijakan Selatan", sekaligus membuka jalan bagi misionaris Kristen. Setelah kekuatan Inggris melemah, Amerika mengambil alihnya. Dua kekuatan asing ini terus bersaing di balik layar di negeri itu.
Berbagai siasat jahat penuh intrik politik dan kepentingan ekonomi dilakukan dengan sejumlah tujuan:
• Pertama, Amerika Serikat menyokong RSF untuk membersihkan sisa-sisa pengaruh Inggris di Sudan, terutama di wilayah Darfur.
• Kedua, AS membentuk aliansi politik dengan Arab Saudi, UEA, dan Mesir untuk mencegah intervensi pihak lain seperti PBB atau Inggris, sebagaimana ditegaskan oleh Penasihat Senior Presiden AS, Massad Boulos, pada 25 Oktober 2025.
• Ketiga, AS memelihara konflik di Sudan agar negara itu tetap lemah dan mudah dikendalikan, sekaligus berupaya memisahkan Darfur yang kaya emas, tembaga, batu kapur, dan tanah liat.
• Keempat, baik AS maupun Inggris memiliki tujuan politik yang sama, yaitu mencegah kebangkitan Islam di Sudan. Dengan memainkan isu terorisme dan radikalisme, mereka terus memecah-belah rakyat, suku, dan militer Sudan untuk memastikan negeri Muslim itu tidak bangkit melawan dominasi Barat.
Urgensi Kepemimpinan Islam Global Khilafah
Tanah yang dahulu menjadi saksi kejayaan Islam kini dilumuri darah kaum Mukmin.Pasukan sokongan negara kafir Amerika Serikat menari-nari di atas penderitaan umat, menumpahkan darah yang suci dan merusak kehormatan banyak Muslimah. Padahal tak ada nyawa yang lebih berharga di sisi Allah SWT selain nyawa seorang Mukmin. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ مُؤْمِنٍ بِغَيْرِ حَقٍّ
“Hancurnya dunia ini lebih ringan bagi Allah daripada pembunuhan seorang Mukmin tanpa haq.” (HR Ibnu Majah)
Ironinya, para pemimpin Muslim hari ini justru bersekongkol dengan negara-negara Barat penjajah menyembelih kaum Muslim. Mereka malah menyokong tindakan jahat Amerika Serikat di Sudan, sebagaimana yang mereka lakukan terhadap Gaza. Mereka mengutamakan kepentingan politik dan kekuasaan pribadi di atas penderitaan umat. Tragisnya, sebagian umat masih memuliakan para penguasa itu dan enggan menyebut mereka sebagai pengkhianat, padahal tindakan mereka telah menyalahi sunnah Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam:
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ
“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak menzalimi dan tidak membiarkan saudaranya itu (disakiti).” (HR al-Bukhari).
Ketahuilah, sesungguhnya, akar dari seluruh penderitaan ini adalah hilangnya kepemimpinan Islam yang menyatukan umat dan melindungi kehormatannya. Sejak runtuhnya Khilafah Utsmaniyah pada tahun 1924, kaum Muslim tercerai-berai menjadi lebih dari lima puluh negara kecil yang lemah dan tunduk pada pengaruh asing. Setiap wilayah berjalan sendiri-sendiri, tanpa pemimpin yang satu, tanpa komando yang jelas, dan tanpa kekuatan yang menakutkan musuh. Inilah yang membuat umat Islam mudah dipecah-belah, dijajah, dan dijadikan objek eksploitasi oleh kekuatan Barat.
Padahal, Islam telah menegaskan bahwa kekuatan umat terletak pada persatuannya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْاۖ
“Berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai." (QS. Âli‘Imrân [3]: 103).
Ayat ini bukan sekadar seruan ukhuwah, tetapi perintah tegas agar kaum Muslim hidup dalam satu kepemimpinan yang menyatukan seluruh wilayah Islam. Tanpa persatuan politik di bawah kepemimpinan seorang khalifah, umat tidak akan memiliki kekuatan untuk menolak penjajahan dan melindungi kehormatannya. Selain itu, sejarah telah menunjukkan bahwa ketika Khilafah tegak, umat Islam menjadi kekuatan dunia yang disegani. Di bawah kepemimpinan para khalifah, kaum Muslim melindungi yang lemah, menegakkan keadilan, dan menyebarkan rahmat ke seluruh penjuru dunia. Khilafah adalah junnah (perisai) yang melindungi dan menjaga umat.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:
إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
“Sesungguhnya Imam (Khalifah) adalah perisai; orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Saatnya Muslim bersatu dalam ukhuwah islamiyyah di bawah institusi pemerintahan Islam global Khilafah. Posisi penting Sudan, tidak hanya kontemporer tetapi juga historis, terutama selama era ketika wilayah ini menjadi bagian Khilafah Islamiah. Sudan memainkan peran penting dalam menghubungkan dan memperkuat dunia muslim yang lebih luas. Posisi penting ini akan tetap ada pada masa yang akan datang ketika Khilafah kembali. Bahkan, di bawah Khilafah Utsmaniyah, Sudan berperan sebagai perbatasan utama dunia Islam. Pelabuhan-pelabuhannya di Laut Merah sangat penting bagi perdagangan dan perjalanan keagamaan antara Afrika dan Jazirah Arab, memfasilitasi rute ziarah dan pertukaran ekonomi antarumat. Posisi Sudan sebagai pos terdepan Khilafah di selatan, sambungnya, memungkinkannya untuk menjadi titik awal bagi dakwah Islam ke Afrika sub-Sahara yang memperkuat persatuan ideologis dan spiritual dunia muslim.
Seluruh potensi strategis dan berbasis sumber daya Sudan yang sangat besar hanya dapat dimanfaatkan dengan benar dan adil di bawah Negara Islam, Khilafah. Saatnya umat Islam di seluruh dunia bersama-sama membangun kekuatan sebagaimana perintah Rasulullah saw, dengan mengangkat seorang khalifah yang akan melindungi umat dari ancaman dan penjajahan. Hanya melalui penerapan sistem Islam yang berdasarkan Al-Qur'an dan Sunah, kekayaan, geografi, dan pengaruh Sudan dapat dikelola dengan cara yang melayani kepentingan rakyatnya dan umat yang lebih luas
Khilafah akan memastikan perlindungan kedaulatan Sudan, menyatukan rakyatnya di bawah satu keyakinan, mengarahkan posisi strategis serta kekayaan alamnya untuk mengangkat seluruh dunia muslim, juga bebas dari pengaruh kolonial dan kekacauan internal. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyegerakan pertolongan-Nya dan menegakkan kembali Khilafah Islamiyah agar agama ini mulia dan umat ini terjaga kehormatannya. Wallâhu a'lam bishshawâb. []
Oleh: Imanda Amalia, S.KM, M.PH.
(Founder @Rumahsyariahinstitute)
0 Komentar