Ketika Korban Perundungan Berbalik Membahayakan


Mutiaraumat.com -- “Seorang santri di Aceh Besar nekat membakar asrama pondok pesantren karena sakit hati menjadi korban bullying.” (Sumber: Kumparan, diakses 12 November 2025).

Merebaknya kasus perundungan yang terjadi dalam lembaga pendidikan saat ini harus mendapatkan perhatian serius. Dampak perundungan yang dilakukan juga menyebabkan berbagai kerusakan mental baik bagi pelaku maupun korban.

Rasa sakit hati yang terus menerus ditahan berpotensi berubah sewaktu-waktu menjadi kemarahan yang meledak. Kemarahan ini timbul akibat rasa putus asa yang dialami oleh para korban. 

Bahkan tak jarang hal ini menyebabkan berbagai aksi nekat yang membahayakan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Dalam beberapa kasus, korban perundungan tak jarang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya karena tak sanggup lagi untuk menahan beban mental yang harus ditanggung. 

Belum lama ini, publik juga diguncang oleh peristiwa ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta. Polisi menduga pelaku, seorang siswa, melakukan aksinya setelah lama menjadi korban perundungan di sekolah (CNN Indonesia, diakses 12 November 2025). 

Dua peristiwa ini menunjukkan bahwa korban perundungan sangat rentan untuk membahayakan dirinya sendiri atau bahkan membahayakan orang lain. 

Masalah Sistemik dalam Dunia Pendidikan

Kasus perundungan tidak akan selesai hanya dengan edukasi, akan tetapi membutuhkan penataan sistemik yang mendalam agar akar masalah yang menyebabkan timbulnya aksi perundungan bisa di hilangkan dengan tuntas.

Sejatinya sekolah seharusnya menjadi tempat aman dan nyaman untuk tumbuh dan belajar. Sayangnya saat ini bagi sebagian anak, sekolah telah menjelma menjadi tempat yang mengerikan. Tekanan sosial, kekerasan verbal bahkan kekerasan fisik marak terjadi di sekolah.

Guru seringkali gagal untuk mendeteksi aksi perundungan yang terjadi di lingkungan sekolah karena beratnya beban administrasi yang harus dijalankan. Akhirnya korban perundungan harus berjuang sendiri untuk bertahan tanpa seorangpun yang membantu. 

Media sosial memperparah kondisi saat ini. Berbagai konten-konten yang dikonsumsi anak-anak sarat dengan aksi dan kata kasar. Bahkan perundungan yang terjadi di ruang digital juga marak terjadi. 

Aksi-aksi tersebut kemudian dinormalisasi oleh generasi saat ini. Akhirnya anak tidak mampu lagi membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Kondisi ini merupakan akibat dari kegagalan sistem pendidikan berbingkai kapitalisme dalam melahirkan generasi beradab.

Krisis Adab dan Gagalnya Sistem Pendidikan

Kondisi yang terjadi pada generasi kita saat ini merupakan akibat dari gagalnya sistem pendidikan dalam bingkai kapitalisme dalam melahirkan generasi yang beradab. Sistem pendidikan saat ini hanya menitikberatkan pencapaian nilai akademik dan prestasi yang diukur dari angka semata. 

Hal ini terlihat dari berbagai kurikulum yang diterapkan, aspek pembinaan karakter hanya bersifat formalitas saja dengan porsi yang sangat sedikit. Akibatnya, sekolah tak lagi mampu mencetak generasi yang memiliki karakter mulia karena lebih banyak tersibukkan dengan pelajaran yang tidak berdampak secara langsung dalam kehidupannya.
  
Padahal, pendidikan sejati seharusnya menumbuhkan manusia yang beriman, berakhlak, dan berempati. Islam menekankan pentingnya adab sebelum ilmu. Kurikulum harus berlandaskan akidah Islam, dengan pembinaan yang menyentuh aspek akal, jiwa, dan perilaku. 

Pendidik bukan sekadar pengajar, tetapi juga pembina moral. Pendidikan harus menjadi proses pembentukan manusia seutuhnya, bukan sekadar pelatihan untuk mencari pekerjaan.

Negara dan Tanggung Jawab Moral

Islam memandang, negara memiliki peran strategis dalam menjamin pendidikan dan pembinaan generasi. Negara tidak boleh menyerahkan urusan pendidikan kepada logika pasar atau kepentingan kapital. Ia harus memastikan setiap anak memperoleh pendidikan yang bermutu, beradab, dan bebas dari kekerasan sosial.

Negara juga wajib melindungi warganya dari budaya permisif yang menormalisasi kekerasan, baik di dunia nyata maupun digital. Upaya pencegahan perundungan tidak cukup dengan kampanye atau sanksi administratif, melainkan harus melalui perubahan sistem pendidikan yang berorientasi pada pembinaan akhlak dan keimanan.

Menata Ulang Arah Pendidikan

Tragedi seperti pembakaran asrama dan ledakan sekolah seharusnya menjadi alarm keras bahwa sistem pendidikan kita sedang sakit. Sudah saatnya kita menata ulang orientasi pendidikan nasional agar sistem pendidikan tidak kehilangan esensinya. 

Pendidikan harus menanamkan empati dan tanggung jawab sosial, bukan hanya mengejar nilai dan prestasi. Bangsa yang besar tidak lahir dari ruang kelas yang penuh tekanan, tetapi dari sistem pendidikan yang menumbuhkan kemanusiaan. Cita-cita itu hanya akan terwujud bila Islam kembali dijadikan landasan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk pendidikan.[]

Oleh: Maziyahtul Hikmah S.Si
(Aktivis Muslimah)

0 Komentar