Ketika Biduk Rumah Tangga Kandas di Tengah Jalan


MutiaraUmat.com -- Meningkatnya kasus perceraian beberapa tahun terakhir ini merupakan fenomena yang memprihatinkan. Ironisnya, kasus perceraian tersebut didominasi oleh gugatan yang diajukan oleh pihak istri(cerai gugat). Data dari Badan Pusat Statistik(BPS) menyebutkan, pada 2024 terdapat 308.956(77,2 %) kasus cerai gugat dari total perceraian nasional. Jumlah yang jauh lebih banyak dibanding 85.652 kasus cerai talak yang diajukan oleh pihak suami, (Kompas.com, 29/10/2025)

Dari sisi usia pernikahan, perceraian paling banyak terjadi pada usia pernikahan di bawah lima tahun: mencapai 604.463 kasus selama periode 2020-2024, sebagaimana data dari Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Bimas Islam) Kementerian Agama.

BPS juga mencatat bahwa perselisihan dan pertengkaran terus-menerus menjadi penyebab utama perceraian, yaitu sebanyak 251.125 (63%) kasus, disusul masalah ekonomi sebesar 100.198 (25%) kasus. Penyebab perceraian selanjutnya adalah ditinggalkan salah satu pihak, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), perselingkuhan hingga masalah sosial seperti judi dan mabuk. 

Terkait dengan dominasi cerai gugat, Kepala Subdirektorat Bina Keluarga Sakinah Kementerian Agama (Kemenag RI) H. Agus Suryo Suripto mengatakan, dari 93% perempuan yang menggugat cerai, 73 % adalah perempuan-perempuan yang mapan secara ekonomi.

Masyarakat di negara-negara yang menganut kesetaraan gender yang tinggi, seperti Islandia, Finlandia, Norwegia, Swedia, Denmark (Negara Nordik) menganggap bahwa perceraian merupakan hal yang positif selama itu mendukung karir perempuan. Para perempuan mapan lebih memilih kehidupan duniawi yang bergelimang materi. Menurut mereka,perempuan dianggap lebih mulia dan tinggi derajatnya jika mapan secara ekonomi.

Mirisnya, Indonesia sebagai negeri muslim juga mengikuti langkah negara- negara tersebut dalam memosisikan kaum muslimah. Alhasil banyak istri yang mengajukan gugatan perceraian ketika mendapatkan fakta bahwa pasangannya tidak setara dalam hal materi dan karir atau pasangannya dianggap menghalangi kemajuan karir mereka. 

Banyaknya perceraian pada usia pernikahan di bawah 5 tahun, merupakan fenomena yang memilukan. Pada usia pernikahan yang bisa dikatakan masih muda, boleh jadi pasangan yang bercerai ini baru memiliki satu atau dua anak yang masih kecil yang tentu membutuhkan sosok ayah maupun ibu untuk mendampingi pertumbuhan anaknya. 

Kondisi ini bisa menimbulkan trauma atau guncangan dalam kejiwaan anak. Tidak heran apabila anak akan cenderung “bermasalah”. Belum lagi ketika tiba waktunya menikah. Bisa jadi memilih tidak menikah, andai menikah pun, mungkin memilih childfree, karena tidak ingin mengulang sejarah orang tuanya, yakni bercerai dari pernikahan yang baru seumur jagung.

Tuntutan kebutuhan ekonomi keluarga dan demi mengikuti perkembangan zaman, memaksa para muslimah untuk lebih banyak bekerja dan berkiprah di ranah publik dibandingkan dengan peran mereka di lingkungan domestik.

Disadari atau tidak, kondisi ini akibat ketidakmampuan negara menjamin kesejahteraan masyarakatnya. Negara tidak membangun ketahanan ekonomi dan sosial masyarakat, khususnya keluarga, sehingga rakyat berjuang sendiri menafkahi keluarga.

Begitu pula jika sistem kapitalisme masih diterapkan, maka ide feminisme akan terus berkembang pesat mewarnai kehidupan muslimah di negeri ini. Tidak mengherankan apabila kasus perceraian akan tetap tinggi.   

Dalam pandangan Islam, keluarga mempunyai kedudukan besar dalam kehidupan manusia. Keluarga merupakan institusi terkecil yang membangun dan menjaga peradaban Islam dari berbagai ancaman, terutama yang berasal dari ideologi sekuler dan kapitalis. Karena itu, kehancuran keluarga akan berpengaruh pada kehancuran masyarakat.

Sistem pendidikan Islam meniscayakan bahwa sejak kecil anak-anak diarahkan memiliki pola pikir dan pola sikap yang berpijak pada akidah Islam sehingga memiliki kepribadian Islam (syakhsiyyah islamiyah) yang kokoh. Dari sinilah tumbuh generasi yang sadar bahwa pernikahan "mitsaqan ghalizan" ( ikatan yang kuat atau perjanjian yang agung) di hadapan Allah. Sebagaimana firman-Nya dalam surat An Nisa yang artinya: "Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan sebagian yang lain. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu."

Terkait dengan pergaulan dan peran dalam rumah tangga, Islam menetapkan suami sebagai pemimpin (qawwam) yang bertanggung jawab, sedangkan istri sebagai ibu dan pengelola rumah tangga (ummun wa robatul bait) yang mulia. Keduanya merupakan mitra dalam ketaatan. Ketika terjadi perselisihan, Islam mendorong penyelesaian dengan jalan damai, melibatkan keluarga besar atau tokoh masyarakat sebagai penengah, bukan langsung berujung pada perceraian. 

Islam menjaga pergaulan masyarakat dari arus liberalisasi yang merusak sendi keluarga. Tidak ada normalisasi pacaran, zina, ataupun pornografi dengan dalih kebebasan individu. Pergaulan diatur agar kehormatan laki-laki dan perempuan terjaga.

Yang tidak kalah penting, negara dalam Islam, bertugas menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu rakyat berupa pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Suami berkewajiban mencari nafkah bukan dalam bentuk paksaan, melainkan dianggap sebagai bentuk ibadah yang berpahala. Negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya, serta membangun keahlian dan ketrampilan kerja terutama untuk para lelaki. Sumber daya alam (SDA) dikelola untuk kemaslahatan umat, bukan untuk memperkaya segelintir orang.

Inilah keadilan dan paripurnanya syariat Islam dalam mengatur kehidupan manusia. Masihkah kita ragu untuk menerapkannya? Wallahu a’lam bishshawab. []


Oleh: Pujiati SR
Aktivis Muslimah

0 Komentar