Ibu Hebat Tak Jual Kesedihan, tapi Didik Peradaban
MutiaraUmat.com -- Jadilah ibu yang bangga dengan prestasi anak, bukan yang hobi jual kesedihan, nasib, dan kekurangan anak demi mendapat perhatian dan belas kasihan. Karena sesungguhnya, harga diri seorang ibu tidak diukur dari berapa banyak simpati yang ia kumpulkan, tapi seberapa kuat ia menjaga kehormatan keluarganya di hadapan Allah Swt.
Sekarang ini, banyak yang salah kaprah soal “kejujuran” di media sosial. Curhat apa pun diunggah, termasuk tentang anak. Ada yang menulis, “Capek punya anak begini.” Ada yang berkata, “Sudah sabar, tapi anak tetap bandel.” Bahkan ada yang terang-terangan mengeluh soal kekurangan fisik atau prestasi anak. Seolah-olah dunia harus tahu betapa berat perjuangannya menjadi ibu.
Padahal, kalau dipikir-pikir, yang keluar bukan kejujuran, tapi keluh kesah yang justru membuka aib keluarga sendiri.
Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa menutupi aib seorang Muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim)
Jadi, kalau ingin hidupnya ditutup dengan kebaikan oleh Allah, maka tutuplah aib orang lain, termasuk anak sendiri. Anak adalah amanah dan amanah itu tidak untuk dijadikan bahan cerita menyedihkan agar orang lain memberi simpati.
Seorang ibu sejati tahu, bahwa tugasnya bukan mencari perhatian manusia, tapi mencari ridha Allah Ta'ala. Maka ia menjaga tutur kata, menahan jemari agar tidak asal unggah, dan mengubah setiap keluh menjadi doa.
Tugas seorang ibu hanya dua, tapi nilainya bisa mengguncang Arasy jika dijalani dengan tulus.
Pertama, menjadi istri salihah demi meraih ridha suami dan ridha Allah.
Ridha Allah tergantung pada ridha suami. Ini bukan soal tunduk tanpa logika, tapi tunduk karena cinta pada perintah Allah Ta’ala.
Rasulullah Saw bersabda, “Jika seorang wanita menunaikan salat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadan, menjaga kehormatannya, dan taat kepada suaminya, maka akan dikatakan kepadanya, ‘Masuklah ke surga dari pintu mana saja yang kamu kehendaki.’” (HR. Ahmad)
Ibu yang salihah tahu kapan bicara dan kapan diam, kapan menegur dengan lembut dan kapan cukup mendoakan. Ia bukan wanita sempurna, tapi ia berusaha menjadi sumber ketenangan bagi suaminya, bukan sumber masalah dan kalau pun ada kekurangan dalam rumah tangga, ia tahu bahwa semua itu bagian dari ujian hidup.
Syekh Ibnu Atha’illah As-Sakandari berkata, “Janganlah engkau bersedih karena kekurangan yang engkau rasakan dalam keadaanmu, sebab bisa jadi Allah sedang membukakan untukmu pintu ketaatan yang tidak akan terbuka dalam kelapangan.”
Kalimat itu menampar lembut hati seorang ibu yang sering merasa “tidak cukup”.
Kadang seorang istri merasa lelah, kecewa, bahkan iri melihat keluarga lain yang tampak lebih harmonis atau anaknya lebih berprestasi. Tapi Syekh Ibnu Atha’illah mengingatkan, mungkin di balik kekurangan itu, Allah sedang memintamu untuk lebih dekat kepada-Nya.
Maka, jangan sibuk membandingkan rumah tangga dengan orang lain. Fokuslah memperbaiki diri, karena Allah tidak menilai seberapa sempurna hidupmu, tapi seberapa sabar engkau menjalaninya.
Kedua, mendidik dan menjaga pemikiran anak agar menjadikan Islam sebagai standar perbuatan.
Ibu bukan sekadar pengasuh, tapi madrasah pertama bagi peradaban. Dari rahim dan pelukannya lahir para pemimpin, ulama, dan pejuang. Maka jangan remehkan tugas ini.
Tugas mendidik anak bukan hanya memastikan nilai rapornya bagus, tapi memastikan iman di hatinya kuat. Karena apa gunanya anak pintar, kalau tidak kenal Tuhannya? Apa gunanya anak sukses, kalau tak tahu untuk apa hidupnya?
Allah Swt berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (TQS. Adz-Dzariyat: 56)
Artinya, orientasi pendidikan anak dalam Islam bukan sekadar untuk “hidup enak”, tapi untuk hidup benar. Anak perlu dididik agar menjadikan Islam sebagai standar perbuatan, tahu mana yang halal, mana yang haram. Mana yang boleh, mana yang harus dijauhi.
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani pernah mengatakan bahwa ibu adalah fondasi umat. Jika ibu kehilangan arah, maka peradaban pun runtuh. Karena dari tangan seorang ibu, terbentuklah generasi yang menentukan arah masa depan umat.
Tapi bagaimana bisa membentuk generasi tangguh kalau ibunya sibuk membandingkan, mengeluh, dan mempublikasikan kekurangan anaknya sendiri? Bagaimana anak bisa belajar percaya diri kalau ibunya sendiri sibuk mencari belas kasihan orang lain?
Ibu sejati tak menjadikan kekurangan anak sebagai konten, tapi sebagai ladang doa. Ia bukan perekam kesedihan, tapi penanam kekuatan. Ia tahu, setiap anak punya jalan takdirnya sendiri dan tugasnya adalah memastikan anak itu berjalan di atas jalan Allah, bukan jalan hawa nafsu dunia.
Maka wahai para ibu, banggalah dengan perjuangan, bukan dengan kesedihan. Banggalah dengan anak yang taat, bukan yang viral. Banggalah dengan dirimu sendiri yang memilih diam untuk menjaga kehormatan keluarga. Karena tidak ada yang lebih mulia daripada menjadi ibu yang sabar, istri yang salihah, dan pendidik generasi Islam.
Syekh Ibnu Atha’illah juga berkata, “Tanda orang yang bergantung kepada amalnya adalah berkurangnya harapan ketika berbuat dosa.”
Maksudnya, jangan biarkan rasa gagal mendidik anak membuatmu kehilangan harapan. Setiap ibu punya celah, tapi rahmat Allah selalu terbuka. Bukan kesempurnaan yang dicari, tapi keikhlasan.
Ingat, tugas kita bukan untuk memamerkan duka, tapi untuk menanam ketakwaan. Bukan mencari simpati manusia, tapi mencari cinta Allah. Bukan mencetak anak sempurna, tapi mencetak anak yang memahami untuk apa ia hidup.
Karena ibu sejati bukan yang paling dikasihani, tapi yang paling mampu menanamkan keyakinan di hati anaknya
hingga kelak, ketika ia tiada, anak itu tetap berjalan di atas jalan Islam tanpa perlu dituntun lagi. []
Nabila Zidane
Jurnalis
0 Komentar