Fatherless, Buramnya Peran Ayah dalam Kehidupan Kapitalistik
MutiaraUmat.com -- Anak-anak membutuhkan keteladanan positif dalam berinteraksi dengan orang lain. Dan kehadiran seorang ayah memiliki peran signifikan dalam perkembangan anak. Anak-anak yang tumbuh tanpa figur ayah atau yang biasa disebut fatherless memungkinkan menghadapi tantangan besar dalam perkembangannya.
Di media sosial, isu fatherless sempat menjadi trending topic. Indonesia sendiri dinobatkan sebagai fatherless country ketiga di dunia. Mengutip data UNICEF pada 2021, sebanyak 20,9% anak Indonesia mengalami fatherless yang di antaranya berusia kurang dari 18 tahun, artinya seperlima anak-anak Indonesia kehilangan figur ayah yang memengaruhi pembentukan karakter, daya tahan, daya tarung, dan hal-hal yang berkaitan dengan kepemimpinan.
Google Doodle bertemakan Hari Ayah pada hari ini, 12 November 2025. Bukan hanya sekadar seremonial saja, tetapi menegaskan pentingnya kehadiran sosok ayah bagi tumbuh kembang anak. Dekan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Rahmat Hidayat, mengungkapkan 15,9 juta anak di Indonesia berpotensi tumbuh tanpa peran ayah. Dari jumlah tersebut, 4,4 juta anak tidak tinggal bersama ayah, sementara 11,5 juta anak lainnya tinggal bersama ayah yang bekerja lebih dari 60 jam per minggu atau lebih dari 12 jam per hari, artinya ayah ada secara fisik namun rentan absen secara emosional.
Ayah berperan sebagai pengarah berpikir, penalaran, hingga nilai-nilai yang membantu anak memahami dunia sosial. Apabila tak ada sosok ayah, jelas akan menghilangkan satu model peran yang memperkaya proses belajar anak hingga nantinya tumbuh kembang anak tidak lengkap.
Rahmat menekankan perlunya intervensi sistemis dari pemerintah dalam mengatasi fenomena fatherless, dan juga perlu adanya pemerataan lapangan kerja di daerah luar Jawa karena keadaan ekonomi dan kesempatan kerja yang timpang pada akhirnya memaksa para ayah memiliki mobilitas tinggi yang bisa mengurangi interaksi emosional dengan anak (Jogja.JPNN.com, 12-11-2025).
Banyak anak Indonesia yang hingga hari ini tidak merasakan kehadiran seorang ayah dalam kehidupannya. Memang tonggak utama pengasuhan di negara ini masih menganggap bahwa ayah hanya bertanggung jawab dalam pemberian nafkah saja, sehingga anak tidak merasakan keberadaan dan keterlibatan figur ayah dalam kesehariannya.
Kondisi ini sangat berpengaruh pada kehidupan psikis dan psikologis anak. Anak-anak yang terbiasa tidak memiliki figur seorang ayah dalam kehidupannya bisa berujung merasakan father hunger, yaitu “kelaparan” akan sosok ayah. Pada kondisi ini, anak akan mengalihkan kebutuhan figur seorang ayah pada hal lain sebagai bentuk pelampiasan. Di mana pada kenyataannya, pengalihan ini justru menyebabkan berbagai masalah baru yang membahayakan anak-anak tersebut.
Tingginya angka perceraian di Indonesia juga turut menyumbang makin meluasnya fatherless yang dialami anak-anak. Yang sebagian besar pemicu perceraian adalah faktor ekonomi. Perpisahan inilah yang membuat anak-anak semakin rentan mengalami fatherless.
Melihat fenomena ini, pemerintah melalui Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN berusaha meredam dengan meluncurkan Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI). Tujuannya adalah memperkuat peranan ayah dalam pengasuhan, pendidikan, dan perlindungan anak. Harapannya, para ayah menyadari peran pentingnya dalam tumbuh kembang anak serta menciptakan keluarga yang harmonis sehingga tercipta generasi berkualitas.
Namun upaya ini terkendala karena kurangnya sosialisasi kepada masyarakat. Budaya patriarki juga menjadi salah satu tantangan pemerintah dalam menerapkan program yang hanya bersifat imbauan ini. Tidak ada regulasi yang jelas agar bisa ditaati masyarakat. Pada akhirnya, program ini terkesan jalan di tempat, hanya menjadi wacana di tingkat desa tanpa bisa mengetuk ke pintu-pintu warga.
Persoalan sebenarnya ada pada pemerintahan ini yang masih menerapkan sistem kapitalis sekuler di setiap lini kehidupan. Mengapa? Karena dari sistem inilah mulai masuk berbagai problematika rumit di setiap lini tanpa solusi jelas, yang semakin hari bak benang kusut yang tak bisa diurai. Mulai dari sistem ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, hingga sistem sosial yang berkaitan dengan keluarga.
Sistem ini juga menciptakan negara yang berlepas tangan serta abai terhadap kesejahteraan dan kepentingan rakyatnya. Salah satunya bisa terlihat ketika menggantungkan sistem ekonomi pada kapitalisme malah mengakibatkan minimnya lapangan kerja bagi para ayah. Para ayah pun harus berjibaku untuk memenuhi kebutuhan hidup yang makin tinggi hingga rela merantau ke tempat yang jauh bahkan hingga menjadi pekerja migran.
Sistem kapitalisme sekuler juga menjadikan sebagian orang tua cenderung mengedepankan capaian materi dibandingkan meluangkan waktu untuk mendidik dan mengasuh anak-anak mereka. Ditambah lagi dengan era teknologi digital yang memiliki pengaruh besar terhadap pola pengasuhan. Sebab penggunaan gawai justru semakin menjauhkan anak-anak dari ayahnya meski secara fisik mereka berdekatan.
Berbeda dengan sistem Islam. Islam menempatkan keluarga sebagai amanah agung. Seorang ayah tidak hanya berperan sebagai pencari nafkah saja, akan tetapi seorang ayah juga memiliki kewajiban utama untuk mendidik, membimbing, dan menghadirkan kasih sayang untuk keluarga. Hal ini didukung oleh negara sebagai pelindung dan penjamin kesejahteraan warga negaranya. Negara hadir dalam mengukuhkan dan menopang keberlangsungan satuan unit terkecil, yaitu keluarga. Karena dari satuan kecil inilah lahir generasi penerus yang akan melanjutkan peradaban Islam.
Dengan sistem ekonomi Islam, pengelolaan sumber daya alam dilakukan sepenuhnya oleh negara. Negara juga akan membangun berbagai sektor riil yang mampu menyerap tenaga kerja sehingga tercipta lapangan kerja yang akan mempermudah para ayah dalam mencari nafkah sehingga mereka bisa menghidupi keluarganya secara layak. Kebutuhan primer seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, pangan, sandang, dan papan juga difasilitasi negara.
Negara juga menciptakan atmosfer kehidupan Islami di setiap lini kehidupan. Dengan menguatkan ketakwaan individu sebagai landasan dalam membangun keluarga yang kokoh, dan menghalau pemikiran serta sistem buruk yang selama ini menjadikan umat Islam asing dan tidak paham terhadap ajaran agamanya. Karena dengan terjaganya ketakwaan individu, maka akan tercipta para ayah teladan yang mampu membimbing dan mendidik keluarganya.
Angka perceraian pun dipastikan semakin menurun karena orang tua paham akan kewajiban dan peranannya masing-masing. Pun apabila seorang ayah meninggal dunia, maka keluarganya akan memahami bagaimana meriayah anak yatim sehingga tidak sampai kehilangan figur seorang ayah.
Dan semua ini hanya bisa terlaksana ketika Islam dijadikan sebagai sistem untuk mengatur kehidupan. Islam memiliki panduan lengkap yang khas dalam memecahkan berbagai persoalan hingga ke akar masalah. Dengan menghadirkan Khilafah sebagai format negara Islam, niscaya mampu menampilkan potret kehidupan bernegara yang sesungguhnya serta menciptakan masyarakat dan individu yang bertakwa. Maka dari sinilah Islam sebagai rahmat akan dirasakan oleh tiap individu di seluruh kehidupannya.
Wallahu’alam.
Oleh: Ika Nur Wahyuni
Aktivis Muslimah
0 Komentar