Angka Bunuh Diri Anak Sekolah Meningkat: Kegagalan Sistem Pendidikan Sekuler


MutiaraUmat.com -- Jika berbicara tentang arti kehidupan maka akan kita temukan bahwa kematian adalah sebuah pengingat bagi manusia agar bisa menjalani kehidupan dengan baik dan benar, serta merenungi dan mempersiapkan setiap detik hidupnya untuk menemui-Nya. Karena kematian adalah langkah awal untuk bertemu Sang Pencipta. Tapi bagaimana jika kematian malah dijadikan sebagai solusi dari sebuah masalah hidup? 

Pasalnya dalam kurun waktu sepekan ditemukan kasus bunuh diri yang dilakukan oleh pelajar di dua wilayah berbeda yaitu di Jawa Barat dan Sumatera Barat. Namun yang paling menyayat hati ialah tindakan bunuh diri ini dilakukan secara beruntun oleh dua anak sekaligus pada setiap wilayah, hanya berselang sepekan pada tiap kasusnya. 

Menyikapi kasus ini KPAI sangat menyesalkan terjadinya kasus bunuh diri di lingkup pelajar. Karena itu, KPAI mendorong penerapan sistem deteksi dini bunuh diri yang efektif di sekolah dan komunitas. Yang bertujuan mencegah terjadinya kasus ini terulang (Sekitarkaltim, 31/10/2025).

Dengan meningkatnya kasus bunuh diri di kalangan pelajar ini seharus menjadi alarm serius bagi dunia pendidikan dan keluarga dalam memperhatikan kesehatan mental anak. Bahkan kemunculan kasus-kasus seperti ini sangat perlu kita cermati bahwa fakta mengatakan semua ini terjadi karena rapuhnya kepribadian remaja yang menjadi faktor utama terjadinya kasus bunuh diri. 

Wakil Mentri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono mengungkapkan kondisi kesehatan jiwa anak-anak Indonesia menghadapi "lampu merah". Yang mana beliau mengatakan lebih dari dua juta anak Negri kita tercinta ini mengalami berbagai bentuk gangguan mental, data ini diambil dari 20 juta jiwa yang sudah diperiksa dalam program pemeriksaan kesehatan gratis (Republika.co.id, 30/10/2025).

Dari riset ini dapat kita maknai bahwa kerapuhan kepribadian yang telah menggerogoti jiwa para remaja ini adalah cerminan lemahnya dasar akidah pada anak. Hal ini sangat selaras dengan pendidikan sekuler yang hanya sekadar mengejar prestasi fisik dan mengabaikan pelajaran agama. Apalagi dalam sistem kapitalisme yang berasas sekuler yang mana memisahkan agama dari kehidupan, yang mana agama tidak diberikan andil dalam mendidik generasi. Kalaupun pelajaran agama dalam lingkup sekolah hanya diajarkan secara teori bukan dalam hal pembentukan akhlak dan kepribadian, sehingga tidak meninggalkan pengaruh yang menjasad pada anak. Ditambah lagi pelajaran agama disekolah hanya diberikan 2-3 jam dalam seminggu dan selebihnya dipenuhi dengan sains dan sosial. Sehingga melahirkan generasi yang hanya pintar menghitung integral namun tidak pandai mengontrol emosi, ahli dalam kimia tapi pandai juga dalam membully. 

Begitu juga dengan pengelompokan batas usia ala pendidikan Barat yang diadopsi oleh pemahaman saat ini, di mana kedewasaan anak dilihat dari segi umur yaitu 18 tahun. Padahal setiap anak berbeda-beda pertumbuhan dan perkembangan akalnya, sehingga disaat anak sudah baligh namun belum mencapai target usia remaja maka anak tersebut tetap diperlakukan seperti anak-anak dan tidak diberikan pendidikan yang berpengaruh untuk menyempurnakan akalnya agar anak bisa berfikir lebih logis dan cemerlang, serta dapat mengambil keputusan yang benar. 

Sehingga banyak anak yang tidak dapat mengatasi masalah-masalah yang menimpanya, mereka tidak bisa menemukan solusi yang benar karena tidak pernah diberikan bekal pemahaman yang benar untuk menyikapi segala hal yang datang padanya. Contohnya kasus bunuh diri ini adalah bukti bahwa pendidikan agama pada sistem kapitalisme hanya berhenti di kertas, tidak dengan kepribadiannya. Kasus ini juga seharusnya menjadi cambukan bagi pemerintah dalam mengayomi masyarakatnya, bukan hanya setelah ada kasus pemerintah baru bergerak. Karena bunuh diri adalah puncak dari gangguam kesehatan mental, dan gangguan mental ini adalah buah dari berbagai persoalan yang terjadi. Mulai dari ekonomi, orang tua, lingkungan dan sebagainya yang merupakan aspek non klinis. Semua persoalan yang ada tidak pernah memperoleh solusi yang benar, tidak ada penyelesaian yang hakiki itu semua karena penerapan sistem kapitalisme yang tidak pernah mementingkan kesejahteraan masyarakatnya. 

Dalam sistem kapitalisme ini juga sangat abai dalam masalah media sosial, tidak adanya penyaringan dalam bermedia sosial serta tidak adanya kontrol dari konten-konten yang akan ditanyangkan. Padahal paparan media sosial juga sangat berpengaruh bagi generasi, apalagi sekarang sudah bukan hal tabu lagi mengenai komunitas yang membahas tentang tatacara membunuh dan bunuh diri, banyaknya komunitas sharing bunuh diri ini membuat mereka yang merasa depresi makin bersemangat dan dipermudah untuk melakukan pengakhiran hidup yang mereka anggap sebagai solusi bagi masalah mereka.

Di mana peran negara yang seharusnya bisa dengan mudah mengontrol ini semua? Ah, sudah tidak heran jika kapitalisme yang bertahta, karena bukan masyarakat yang utama namun kepentingan pribadinya yang pertama. Dalam sistem kapitalisme ini juga memiliki tujuan dalam pendidikan hanya untuk mencetak tenaga kerja, jadi tidak peduli dengan mental dan kepribadian masyarakatnya. Pendidikan seperti ini tidak bisa dijadikan harapan untuk perbaikan moral dan juga mental generasi, jika sistem pendidikan nya masih menggunakan sistem kapitalisme sekularisme. 

Sangat berbeda jauh dengan sistem Islam, di mana dasar dari pendidikan sekolah berbagai jenjang dan pendidikan keluarga pun berlandaskan akidah Islam. Semua ilmu baik sains, teknologi, seni dan sosial diajarkan dengan menguatkan iman. Sehingga anak memiliki pemahaman yang mengantarkan mereka dalam menghadapi masalah yang ada, serta membekali mereka dengan solusinya. Tapi, Islam bukan hanya memberikan teori saja, namun selalu memastikan merka menerapkan apa yang dipelajari dalam Islam. 

Tujuan utama sistem pendidikan Islam ialah membentuk pola fikir dan pola sikap yang Islami, sehingga siswa terbentuk kepribadian Islam. Bukan hanya itu, Islam juga mempunyai metode yang khas dalam mendidik anak yang telah balig, dimana mereka diarahkan untuk aqil sehingga pendidikan anak sebelum baligh adalah pendidikan yang bertujuan untuk mematangkan kepribadian Islamnya. 

Dengan menerapkan sistem Islam secara keseluruhan maka sama dengan mencegah terjadinya gangguan mental, sekaligus menyolusi persoalan ini secara tuntas, karena Islam mewujudkan kebaikan pada semua aspek termasuk aspek non klinis. Seperti jaminan kebutuhan pokok sampai masalah keluarga harmonis diatur dalam sistem Islam, serta mengarahkan hidup masyarakat yang benar sesuai tujuan penciptaan. 

Karena tujuan kurikulum pendidikan dalam khilafah yaitu memadukan penguatan kepribadian Islam (karekter) dengan penguasaan kompetensi ilmu. Sehingga murid mampu menyikapi berbagai persoalan kehidupan dengan cara yang syar'i. Artinya mereka tidak hanya pintar akademik tapi juga punya visi hidup, yaitu mencari ridha Allah.

Wallahu a'lam bishshawab. []


Mintan Tyani
(Relawan Opini Andoolo Sulawesi Tenggara)

0 Komentar