Air Milik Umat, Bukan Komoditas
MutiaraUmat.com -- Pernahkah kita merasa aneh, hidup di negeri yang begitu kaya sumber air, tapi tetap harus membeli air untuk minum? Kadang, saat menatap galon di pojok dapur, saya tertegun. Air yang mengalir dari tanah milik Allah kini dijual dalam kemasan plastik. Entah sejak kapan manusia merasa berhak memperjualbelikan sesuatu yang Allah berikan secara cuma-cuma.
Beberapa waktu lalu, publik dihebohkan oleh dugaan manipulasi dalam produk air minum kemasan terkenal. Founder Indonesia Halal Watch (IHW), Ikhsan Abdullah, menyebut bahwa bila benar produsen mengganti sumber air dari yang diklaim dalam iklan, maka hal itu melanggar UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. (MediaIndonesia.com, 25/10/2025).
Ikhsan menegaskan bahwa pelanggaran semacam itu bukan sekadar soal etika bisnis, melainkan pelanggaran hukum yang dapat merugikan konsumen dan mencederai nilai kejujuran. Kasus ini seolah membuka mata kita, bahwa yang rusak bukan hanya kejujuran produsen, tetapi juga sistem yang mengizinkan air sumber kehidupan dijadikan alat mencari untung.
Ketika Air Menjadi Barang Dagangan
Di banyak daerah, perusahaan air minum mengambil air tanah dengan sumur bor dalam, menguras akuifer, lalu menjualnya dengan harga tinggi. Padahal masyarakat sekitar mulai kesulitan mendapatkan air bersih. Mata air yang dulu deras kini tinggal kenangan. Tanah mengering, sumur menurun debitnya, dan masyarakat kecil harus membeli air dalam jeriken di tanahnya sendiri.
Menurut laporan Badan Geologi Kementerian ESDM, eksploitasi air tanah yang tidak terkendali dapat menyebabkan penurunan muka air tanah, intrusi air laut, hingga amblesnya permukaan tanah (Badan Geologi ESDM, 2024).
Hal ini juga ditegaskan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang menyebut bahwa privatisasi air di Indonesia mengancam hak dasar warga negara atas air bersih serta berpotensi menimbulkan ketimpangan sosial (Komnas HAM, 2021).
Kenyataan ini menampar nurani kita. Kita hidup di negeri yang diberkahi sungai dan pegunungan, tapi tak bebas meneguk air darinya tanpa izin perusahaan. Kapitalisme telah berhasil mengubah rahmat menjadi komoditas, dan hak hidup menjadi peluang bisnis.
Pandangan Islam Tentang Air
Islam memiliki pandangan yang sangat tegas dan penuh hikmah tentang air. Rasulullah ï·º bersabda:
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Hadis ini mengajarkan bahwa air adalah milik umum (al-milkiyyah al-‘ammah) yang tidak boleh dimonopoli oleh siapa pun. Negara bertanggung jawab menjaganya agar dapat diakses oleh seluruh rakyat tanpa kecuali. Allah SWT pun berfirman:
“Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup.” (TQS. Al-Anbiya: 30)
Ayat ini mengingatkan kita bahwa air adalah sumber kehidupan, bukan sekadar sumber ekonomi. Maka memperjualbelikan air demi keuntungan pribadi sejatinya sama dengan memperjualbelikan kehidupan itu sendiri. Inilah perbedaan mendasar antara Islam dan kapitalisme. Islam memandang air sebagai amanah yang harus dijaga dan dikelola demi kemaslahatan bersama, sedangkan kapitalisme melihat air sebagai komoditas ekonomi yang dapat dieksploitasi demi laba.
Negara Harusnya Melindungi, Bukan Menjual Amanah
Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 dengan jelas menyebutkan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Namun dalam praktiknya, makna “dikuasai negara” kerap diselewengkan menjadi “boleh dikelola swasta.” Akhirnya, negara justru menjadi fasilitator bagi perusahaan besar untuk menguasai sumber daya rakyat (Tempo.co, 12/07/2023). Padahal, rakyatlah yang menanggung akibatnya: lingkungan rusak, harga air naik, dan hak hidup tergadai.
Dalam sistem Islam, hal seperti ini tak mungkin dibiarkan. Negara Islam mengatur bahwa sumber daya vital seperti air tidak boleh jatuh ke tangan individu atau korporasi. Air bersih disalurkan secara merata tanpa biaya tinggi, bahkan disediakan gratis di tempat umum. Khalifah Umar bin Khaththab RA pun menegaskan bahwa siapa pun yang menemukan sumber air tidak boleh menghalangi orang lain untuk memanfaatkannya (Ibn Sa‘d, Al-Tabaqat al-Kubra, Jilid 3). Prinsip ini sederhana tapi mencerminkan keadilan yang lahir dari iman.
Kembali Kepada Islam: Solusi yang Sesungguhnya
Kapitalisme telah menampakkan wajah aslinya: sistem yang menuhankan keuntungan dan menyingkirkan nilai kemanusiaan. Jika air saja bisa dijual, maka tak ada lagi yang tersisa dari keadilan sosial. Islam datang bukan hanya sebagai agama spiritual, tetapi juga sistem kehidupan yang menyeluruh (kaffah) yang mengatur ibadah, ekonomi, politik, dan pengelolaan sumber daya alam. Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.” (TQS. Al-A’raf: 56)
Ayat ini mengingatkan bahwa menjaga air bukan hanya soal ekologi, tapi juga soal ketaatan kepada Allah. Sistem kapitalisme telah banyak membuat kerusakan di bumi, sementara Islam datang untuk memperbaikinya. Kini saatnya kita berhenti berharap pada sistem yang rusak dan kembali kepada sistem yang Allah turunkan. Hanya dengan Islam, air akan kembali menjadi rahmat bagi semua, bukan barang dagangan. Dan hanya dengan Islam pula, manusia akan kembali hidup dalam keadilan dan keberkahan. Wallahu a‘lam bishshawab. []
Oleh: Sera Alfi Hayunda
Aktivis Muslimah
0 Komentar