Telur yang Mengajari Kita Tentang Kejamnya Kapitalisme
MutiaraUmat.com -- Hari ini, anak-anak minta dibawakan oleh-oleh nasi goreng Jawa. Aku dan suami pun mampir ke penjual langganan di pinggir jalan. Begitu melihat kami datang, bapaknya tersenyum sambil berkata,
“Alhamdulillah rezeki.”
Senyum sederhana itu bikin hati hangat, tapi juga getir.
“Pak, pesan nasi goreng pakai telur 6. Lima nggak pedas, satu pedas buat istri saya,” kata suami.
Bapak penjual mengangguk, lalu sambil bercanda berkata,
“Iya, Pak. Tapi untuk telurnya saya utang dulu ya?”
Suami heran, “Maksudnya gimana, Pak?”
Dengan wajah santai bercampur tawa kecil, bapak itu menjawab,
“Bapak bayar dulu, baru saya ke warung Madura beli telur sekilo.”
Kami tertawa kecil bersama, tapi di balik tawa itu terselip rasa perih. Ya Allah, beginilah perjuangan rakyat kecil di negeri yang katanya kaya raya. Untuk sekadar berjualan nasi goreng pun, si bapak harus “ngutang telur” dulu.
Astagfirullah, di sinilah potret rakyat jelata, hidup pas-pasan, hasil kerja hanya cukup untuk makan hari itu saja. Tak ada tabungan, tak ada jaminan, hanya usaha keras menyambung hidup hari demi hari.
Kejamnya Kapitalisme
Inilah wajah asli sistem kapitalisme, rakyat dibiarkan berjuang sendirian. Negara absen, kecuali saat menagih pajak atau retribusi. Modal dikuasai para konglomerat, sementara pedagang kecil hanya jadi penonton. Ironisnya, negeri ini kaya sumber daya alam, tapi kekayaan itu justru dinikmati segelintir elit dan asing.
Kapitalisme menanamkan doktrin
“siapa kuat dia yang bertahan.”
Maka rakyat kecil harus jungkir balik, berhutang sana-sini, hanya demi tetap bisa berjualan. Sedangkan pejabat dan pengusaha besar bisa hidup mewah dengan fasilitas negara.
Padahal Rasulullah Saw pernah bersabda,
“Imam (khalifah) itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggung jawab atas gembalaannya.” (HR. Bukhari-Muslim)
Artinya, penguasa dalam Islam itu wajib mengurus rakyat. Bukan sekadar mengatur hukum lalu lepas tangan, tapi memastikan rakyat benar-benar hidup layak.
Bagaimana di Zaman Khilafah?
Bandingkan dengan sejarah gemilang umat Islam di bawah naungan khilafah. Di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, hampir tidak ada lagi rakyat miskin yang mau menerima zakat.
Bayangkan,Baitul Mal (kas negara) sampai kebingungan ke mana harus menyalurkan dana, karena semua rakyat sudah tercukupi kebutuhannya.
Di masa Harun al-Rasyid, kondisi lebih dahsyat lagi. Beliau pernah berkata,
“Aku melihat ke Baitul Mal, tidak kutemukan lagi orang yang mau menerima zakat. Sampai aku bingung hendak kemanakan harta itu.”
Mengapa bisa begitu? Karena negara mengelola urusan rakyat dengan syariat Islam, bukan dengan logika kapitalisme.
Cara Daulah Islam Mengelola Urusan Rakyat
Pertama, negara menjamin kebutuhan pokok rakyat, seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, keamanan.
Kedua, Sumber daya alam dikelola negara, bukan dijual ke asing. Hasilnya untuk kepentingan rakyat, bukan segelintir orang.
Ketiga, tidak ada pajak mencekik. Justru negara memberi bantuan agar rakyat bisa mandiri. Sehingga rakyat kecil nggak harus mikir “utang telur dulu” demi bisa bertahan.
Solusi Islam Kembali ke Syariat
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan bahwa Islam adalah agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan, seperti ekonomi, politik, sosial, pendidikan, hingga pengelolaan sumber daya. Akar masalah umat hari ini, kata beliau, adalah ketika Islam ditinggalkan dan diganti dengan sistem sekuler.
Maka solusinya jelas, yaitu kembali menegakkan syariat dalam bingkai Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah.
Kalau Islam diterapkan, maka pedagang kecil akan didukung negara, bukan ditinggalkan.
Tidak ada lagi jurang menganga antara pejabat super kaya dan rakyat jelata.Kekayaan negeri akan dirasakan bersama, bukan hanya segelintir elit.
Dari peristiwa sederhana di warung nasi goreng itu, aku belajar lagi bahwa kapitalisme memang pandai membuat orang tertawa di luar, tapi menyimpan luka di dalam. Pedagang bisa bercanda, “utang telur dulu ya,” tapi hati siapa yang nggak miris melihat kenyataan?
Sistem ini hanya menyisakan kesenjangan dan penderitaan. Rakyat berjuang sendiri, sementara negara berleha-leha.
Maka doa yang terucap, “Ya Allah, hadirkanlah kembali pemimpin sejati yang mengurus rakyat dengan syariat-Mu. Jangan biarkan kami terus berjuang sendirian di bawah sistem yang zalim ini.”
Begitulah sob, satu kilo telur bisa jadi cermin betapa rapuhnya nasib rakyat di bawah kapitalisme, dan betapa indahnya kehidupan ketika Islam benar-benar ditegakkan.
Oleh: Nabila Zidane
Jurnalis
0 Komentar