Tambang Ilegal, Kerugian Negara, dan Kegagalan Kapitalisme dalam Mengelola Kekayaan Alam

MutiaraUmat.com -- Presiden Prabowo Subianto melakukan pidato dalam acara penyerahan Barang Rampasan Negara (BRN) berupa smelter dari enam perusahaan swasta ilegal kepada PT Timah Tbk. Dalam pidatonya, Prabowo menyinggung bahwa kerugian negara akibat kasus tersebut mencapai Rp300 triliun (tempo.co, 07-10-2025).

Pidato ini seakan kembali membuka luka lama tentang buruknya tata kelola sumber daya alam di negeri ini. Dimana angka kerugian yang dicapai bukanlah angka yang kecil namun angka yang fantastis dan menjadi cermin betapa bobroknya sistem pengelolaan tambang selama ini.

Menurut data resmi, jumlah tambang bermasalah dan ilegal mencapai ribuan titik di seluruh Indonesia. Berdasarkan paparan Kementerian ESDM (Maret 2024), terdapat 2.741 tambang ilegal di seluruh Indonesia (esdm.go.id). Kemudian dari data KPK dan Kepolisian (Satgas Tambang Ilegal) tahun 2024 ada sekitar 6.000 titik kegiatan tambang tanpa izin di Indonesia (kompas.com). Berdasarkan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) melaporkan (2025) Sedikitnya 8.600 lubang tambang ilegal dan terbengkalai tersebar di seluruh Indonesia. Banyak di antaranya menyebabkan kerusakan lingkungan dan korban jiwa (jatam.org).

Namun di saat yang sama, pemerintah justru membuka peluang pengelolaan tambang — bahkan sumur minyak — kepada koperasi dan UMKM dengan alasan memperluas lapangan kerja serta mendorong ekonomi daerah.

Padahal pengelolaan tambang memerlukan modal besar, teknologi tinggi, dan manajemen risiko yang kompleks. Koperasi dan UMKM, yang umumnya lemah secara modal dan kapasitas, sangat mungkin menggandeng pihak ketiga — yakni perusahaan besar — untuk menjalankan operasional tambang. Pola ini hanya akan menjadi “pintu belakang” bagi korporasi untuk tetap menguasai tambang, dengan kedok pemberdayaan ekonomi rakyat.

Lebih parah lagi, tanpa pengawasan ketat dan standar kelayakan yang memadai, potensi kerusakan lingkungan akan meningkat tajam, sebagaimana sudah terlihat dalam banyak kasus tambang rakyat yang tidak terkontrol.

Akar Masalah: Kapitalisasi dan Liberalisasi Sumber Daya Alam

Sejatinya, kekayaan alam seperti tambang, minyak, dan gas adalah milik umum (al-milkiyah al-‘ammah) yang tidak boleh dimiliki oleh individu atau korporasi.

Tambang dan energi adalah sumber daya vital yang menjadi kebutuhan dasar publik. Oleh karena itu tambang tidak boleh diprivatisasi atau swastanisasi, karena berarti merampas hak rakyat yang seharusnya dikelola negara untuk kemaslahatan umum.

Ketika tambang diserahkan kepada korporasi atau dikelola dengan paradigma ekonomi kapitalistik, yang terjadi bukan kesejahteraan rakyat, melainkan eksploitasi dan kerusakan lingkungan.

Negara yang Lepas Tangan

Fakta kerugian negara hingga ratusan triliun rupiah akibat tambang ilegal bukan sekadar akibat lemahnya penegakan hukum, tetapi merupakan buah dari penerapan sistem kapitalisme sekuler. Sistem ini menempatkan negara hanya sebagai regulator yang memberi izin, sementara keuntungan besar dinikmati oleh segelintir elit ekonomi.

Dalam sistem ini, negara kehilangan perannya sebagai pengurus (ra’in) dan pelindung kepentingan rakyat. Negara hanya hadir saat memungut pajak, bukan saat mengelola kekayaan alam untuk kesejahteraan publik.

Islam: Jalan Lurus dalam Tata Kelola Tambang

Dalam pandangan Islam, tambang merupakan milik umum, yakni amanah publik yang harus dikelola negara. Negara tidak boleh menyerahkan pengelolaannya kepada swasta, karena hasil tambang adalah hak rakyat seluruhnya. Keuntungan dari pengelolaan tambang harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pelayanan publik, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial.

Negara juga wajib mengawasi seluruh dampak lingkungan dari aktivitas pertambangan, sebab kerusakan bumi termasuk dosa besar di sisi Allah. Islam menempatkan negara sebagai pengelola, bukan sekadar regulator.

Dengan demikian, kesejahteraan dan kelestarian lingkungan bisa berjalan seimbang dalam bingkai hukum syariat.

Saatnya Kembali ke Paradigma Syariat

Kerugian negara sebesar Rp300 triliun hanyalah puncak gunung es dari rusaknya tata kelola tambang yang berpijak pada sistem kapitalisme. Jika akar masalahnya tetap dibiarkan, maka skandal demi skandal akan terus berulang.

Sudah saatnya negeri ini berani keluar dari paradigma kapitalistik dan kembali pada sistem ekonomi Islam, yang menempatkan negara sebagai pengelola dan penanggung jawab sumber daya alam demi kesejahteraan seluruh rakyat.

Islam tidak menolak kemajuan, tetapi menolak ketamakan. Dalam sistem Islam, tambang bukan ladang bisnis segelintir orang, melainkan sumber kemakmuran bersama di bawah tanggung jawab negara yang amanah.

Oleh : apt. Yuchyil Firdausi., S.Farm
Aktivis Muslimah

0 Komentar