Seni Mengabaikan yang Menguras Jiwa
MutiaraUmat.com -- Ada masanya hidup bukan tentang menambah, tapi mengurangi. Bukan tentang siapa yang harus kita dekati, tapi siapa yang sebaiknya tidak lagi kita tanggapi. Kedengarannya dingin, tapi justru di situlah hangatnya kedewasaan.
Aku sudah lama meninggalkan sistem basa-basi dengan siapa pun yang menguras energiku. Bukan karena sombong, bukan pula karena lelah mencintai manusia, tapi karena aku sedang belajar mencintai diriku dengan cara yang benar.
Kita sering salah paham, dikira sabar itu berarti harus menampung semua orang dan semua hal. Padahal, sabar juga punya bentuk elegan yang bernama diam dan pergi dengan tenang. Karena kadang, cara terbaik menjaga hati adalah dengan tidak membiarkan siapa pun mengacak-acaknya lagi.
Ibnu ‘Athoillah as-Sakandari berkata dalam Al-Hikam, “Istirahatkan dirimu dari mengatur dunia, karena apa yang telah diatur oleh selainmu untukmu, tidak akan pernah kamu capai dengan kekuatanmu.”
Kalimat ini sederhana, tapi dalamnya seperti samudra. Terkadang kita tidak sadar, orang-orang yang menguras energi itu bukan cuma teman atau lingkungan, tapi juga obsesi diri yang ingin mengatur segalanya agar sesuai ekspektasi sendiri. Mau semua orang paham, mau semua menghargai, mau semua berjalan mulus. Padahal dunia bukan taman bunga, sob. Dunia ini ladang ujian.
Makanya, kata Syekh Ibnu ‘Athoillah, berhentilah sibuk mengatur hidup orang, berhentilah mendikte takdir. Sebab, semakin banyak yang ingin kita kontrol, semakin cepat juga hati ini kelelahan.
Perhatikan pelajaran berikut ini:
Pertama, bukan semua yang hilang harus dicari. Ada yang memang ditulis Allah untuk berhenti di halaman tertentu dalam hidup kita.Kalau terus kita paksa hadir di bab yang baru, justru ceritanya akan rusak.
Misalkan, kamu dulu punya pasangan yang kamu cintai luar biasa. Kamu jalani suka-duka, kamu temani dalam susah, tapi di ujung perjalanan, ternyata dia memilih jalan lain, entah berselingkuh, menikah lagi, atau berhenti berjuang. Sakit? Jelas.
Tapi setelah badai itu berlalu, kamu pelan-pelan sadar bahwa ternyata sejak dia pergi, kamu lebih sering tersenyum. Kamu lebih sering berdzikir, lebih sering menatap langit sambil bilang, “Ya Allah, ternyata hidup bersama-Mu lebih tenang.”
Hiduplah dengan prinsip, yang ditetapkan Allah untukku takkan meleset, dan yang bukan untukku takkan menempel.
Kedua, diam itu bukan kalah, tapi menjaga nilai. Kadang orang menuduh kita dingin, padahal kita hanya berhenti menjelaskan sesuatu kepada mereka yang tak lagi ingin memahami.
Syekh Ibnu ‘Athoillah juga menulis, “Jika Allah membukakan bagimu jalan makrifat, maka jangan pedulikan sedikitnya amalmu, karena Dia tidak membukakannya bagimu kecuali Dia ingin memperkenalkan diri-Nya kepadamu.”
Maknanya, ketika hatimu mulai tenang dan selektif, itu tanda Allah sedang memindahkanmu dari keramaian menuju kedalaman. Dia sedang memperkenalkan makna cukup dengan Allah dan itu tidak semua orang paham.
Ketiga, mengabaikan bukan berarti membenci. Ada yang kita abaikan bukan karena benci, tapi karena mencintai diri kita dengan sehat. Kita sadar, tidak semua pertempuran layak diperjuangkan, tidak semua percakapan pantas dijalani, dan tidak semua hubungan bisa diselamatkan. Beberapa harus dibiarkan tenggelam, supaya kita bisa kembali bernafas.
Ketika Rasulullah Saw ditanya tentang siapa manusia terbaik, beliau bersabda, “Orang yang panjang umurnya dan baik amalnya.” (HR. Tirmidzi)
Dan di antara amal yang baik itu adalah menjaga waktu, menjaga hati, serta menjaga fokus pada perkara yang mendekatkan diri kepada Allah Swt bukan menghabiskan energi memikirkan hal-hal yang tidak menambah iman.
Makanya sob, banyak hal dalam hidup ini akhirnya cuma kita tandai dengan kata,
“Yaudah.”
“Fine.”
“Gapapa.”
Bukan karena kita nggak peduli, tapi karena kita tahu bahwa hati yang terlalu sibuk pada hal kecil tidak akan mampu menampung hal besar dari Allah.
Syekh Ibnu ‘Athoillah juga berkata, “Tanda seseorang bergantung pada amalnya adalah ia berkurang harapannya ketika terjatuh dalam kesalahan.”
Artinya, kalau kita terlalu berharap pada manusia, terlalu sibuk pada penilaian dunia, kita akan terus kecewa. Tapi jika kita bersandar pada Allah, bahkan kehilangan pun terasa sebagai bagian dari rencana indah-Nya.
Keempat, fokus pada yang penting saja. Kita tidak harus menjelaskan diri kepada semua orang. Tidak semua harus tahu mengapa kita berubah, mengapa kita diam, mengapa kita menjauh. Kadang perubahan itu hanya bisa dipahami oleh diri sendiri dan Allah Swt.
Bahkan Imam al-Ghazali pernah berkata, “Tidak ada yang lebih melelahkan jiwa selain berusaha menyenangkan semua orang.”
Maka berhentilah menyesuaikan langkah demi diterima oleh mereka yang tidak pernah berniat berjalan bersama kita.
Fokuslah pada langkah yang diridhai Allah, bukan pada tepuk tangan manusia.
Akhirnya, seni hidup yang damai itu sederhana, yaitu belajar tenang tanpa penjelasan, belajar bahagia tanpa validasi, dan belajar berjalan tanpa harus memastikan siapa yang ikut.
Kita tidak butuh banyak orang untuk kuat, cukup Allah yang meneguhkan hati.
Maka jika suatu hari kamu memutuskan untuk berkata, “Aku hanya ingin mengurusi yang penting saja.”
Ketahuilah itu bukan bentuk egoisme, tapi kebijaksanaan spiritual. Karena orang yang benar-benar mengenal Allah, akan tahu mana yang harus ditinggalkan dan mana yang harus dijaga.
Dan pada akhirnya, seperti kata Syekh Ibnu ‘Athoillah, “Janganlah engkau bersedih atas sesuatu yang terlewat darimu, karena andai itu baik untukmu, Allah takkan menjauhkannya darimu.”
Jadi, tenanglah, sob. Kalau suatu hari kamu harus menghapus seseorang dari hidupmu, lakukan dengan lembut, tapi tetap tegas.
Tidak semua kehilangan itu luka. Sebagian adalah ruang yang Allah kosongkan agar kamu bisa lebih dekat dengan-Nya. []
Nabila Zidane
Jurnalis
0 Komentar