Ribuan Teman di Dunia Maya, Jiwa Tetap Sepi: Buah Pahit Kapitalisme Digital
MutiaraUmat.com -- Di era digital, manusia seperti hidup di tengah dua dunia: dunia nyata dan dunia maya. Ironisnya, meski media sosial menjanjikan keterhubungan, faktanya banyak orang justru merasa kesepian. Fenomena ini dikenal sebagai lonely in the crowd—kesepian di tengah keramaian.
Dari seluruh pengguna media sosial, Gen Z disebut generasi paling kesepian. Padahal, mereka adalah kelompok usia yang paling terhubung secara digital. Mereka juga paling rentan insecure, tertekan oleh perbandingan sosial, hingga mengalami masalah kesehatan mental. Fenomena ini jelas lebih dari sekadar persoalan “literasi digital” atau “pengaturan screen time”. Ada akar masalah yang lebih mendasar.
Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga dan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Wihaji pada Selasa 30 September 2025 menyampaikan bahwa lebih dari sepertiga remaja Indonesia menderita kesepian dan kondisi tersebut berkaitan dengan penggunaan gadget. (en-antaranews.com, 30/09/2025)
Sistem Sekuler-liberal melahirkan manusia individualis. Individualisme menjadikan manusia semakin terasing antara satu dengan yang lain. Kebebasan individu diagungkan, sementara ikatan keluarga, jamaah, dan komunitas melemah. Anggota keluarga bisa duduk bersama di ruang keluarga, namun masing-masing sibuk dengan gawainya.
Kapitalisme menjadikan media mengendalikan arus informasi. Algoritma sengaja dibuat adiktif, memicu emosi, dan menumbuhkan konsumsi konten dangkal. Platform sosial media tidak peduli apakah konten membuat orang sakit jiwa, yang penting engagement naik dan iklan mengalir.
Kapitalisme sekuler melahirkan manusia - manusia yang mengalami kekosongan spiritual. Ketika manusia diputus dari agama, ia mencari pengakuan lewat likes dan followers. Padahal pengakuan semu itu tidak pernah mengisi hati. Hasilnya, meski ribuan “teman” dimiliki di dunia maya, faktanya saat layar ditutup jiwa tetap merasa sepi.
Islam tidak menolak teknologi. Namun, Islam memberi kerangka nilai agar media sosial tidak merusak, melainkan menjadi sarana kebaikan, baik dalam tataran individu, kehidupan masyarakat, maupun tingkat negara.
Pertama. Dalam tataran individu. Muslim dibekali akidah yang kokoh. Kemuliaan bukan dari popularitas digital, tapi dari ketakwaan. Ibadah menjaga hati tetap tenang. Akhlak Islam melatih kesederhanaan, menjauhkan dari pamer dan riya.
Kedua. Tataran masyarakat. Islam membangun ukhuwah yang nyata. Masjid, majelis ilmu, dan kegiatan sosial mempererat interaksi langsung. Dalam komunitas Islami, setiap individu mendapat perhatian dan dukungan, sehingga tidak terjebak dalam kesepian massal.
Ketiga. Negara. Dalam sistem Islam, negara mengatur media sesuai syariah. Konten merusak moral dicegah, sementara konten pendidikan, dakwah, dan hiburan sehat didukung.Syariat Islam memastikan negara mengatur media dan melindungi masyarakat dari bahaya kapitalisasi media.
Keempat. Etika media. Media dalam Islam menetapkan batasan yang jelas: tidak boleh menyebar hoax, fitnah, ghibah, pornografi, atau pamer berlebihan. Media sosial diarahkan untuk memotivasi amal shalih, dakwah, dan silaturahim, bukan untuk memenuhi nafsu popularitas.
Fenomena lonely in the crowd adalah potret kegagalan sistem sekuler-liberal. Media sosial yang seharusnya memudahkan hubungan, mendekatkan jarak yang berjauhan, faktanya justru menjadikan generasi muda rapuh, terasing, dan sakit jiwa.
Islam menghadirkan solusi hakiki. Dengan syariat kaffah, media sosial bisa dikelola sesuai nilai Islam, masyarakat terikat dengan ukhuwah, dan individu terlindungi dengan iman yang kokoh. Kesepian di tengah keramaian akan berakhir ketika manusia kembali kepada aturan Sang Pencipta. Sebagaimana firman-Nya hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram. []
Oleh: Erlis Agustiana
Aktivis Muslimah
0 Komentar