Ramah Perempuan, tapi Membiarkan Syariat Terpinggirkan
MutiaraUmat.com -- Ada yang terasa janggal dari hiruk-pikuk negeri yang gemar berbicara tentang “keramahan”. Ramah lingkungan, ramah investasi, ramah perempuan, dan anak. Kata “ramah” seolah jadi mantra baru pembangunan, seakan dengan itu semua persoalan bisa selesai. Tapi di balik narasi yang manis itu, ada kenyataan pahit: perempuan dan anak justru makin sering menjadi korban kekerasan, pelecehan, hingga eksploitasi. Lalu, ramah macam apa yang masih meninggalkan luka di dada mereka?
Beberapa tahun terakhir, Kalimantan Selatan gencar mendorong program Desa/Kelurahan Ramah Perempuan dan Anak (DRPPA). Program ini, sebagaimana diberitakan Banjarhits.co (2/10/2025), diharapkan mampu menekan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak yang kini mencapai 437 kasus di Kalsel. Kabupaten seperti Banjarbaru, Tanah Laut, dan Tapin bahkan sudah mulai membentuk DRPPA di sejumlah kelurahan.
Tujuannya tentu baik: membangun desa yang aman, adil, dan berpihak pada perempuan serta anak. Tapi pertanyaannya, ramah menurut siapa? Karena jika tolok ukurnya adalah paradigma sekular — yang menyingkirkan agama dari ranah publik — maka keramahan itu akan kehilangan arah.
Ketika Ramah Kehilangan Ruh
Masalah perempuan dan anak sejatinya bukan semata soal kebijakan yang kurang inklusif atau fasilitas yang terbatas. Akar masalahnya jauh lebih dalam: rusaknya tatanan moral dan sosial akibat sekularisme, serta kegagalan sistem kapitalisme yang menjadikan perempuan dan anak sebagai objek ekonomi.
Kita hidup di sistem yang menjadikan perempuan sebagai tenaga murah, wajah iklan, bahkan umpan sosial media. Anak pun tak luput dari eksploitasi industri hiburan. Sementara nilai-nilai agama yang seharusnya menjadi benteng justru diabaikan, dianggap tidak relevan, bahkan dicurigai sebagai penghambat kemajuan.
Lucunya, solusi yang ditawarkan selalu teknis dan administratif: bentuk forum, susun modul, tambah anggaran, buat pelatihan. Padahal jika akar masalahnya adalah hilangnya arah hidup dari wahyu, semua itu hanya tambalan di kain yang sobek.
Sekularisme menjanjikan kebebasan, tapi justru melahirkan kebingungan. Ia mengajarkan kita bahwa manusia bisa menentukan moralnya sendiri tanpa petunjuk Tuhan. Tapi hasilnya, batas benar dan salah menjadi kabur. Di bawah sistem ini, perempuan didorong bekerja tanpa perlindungan, anak dibesarkan dalam budaya liberal, dan keluarga kehilangan fungsi utama sebagai penjaga fitrah.
Islam: Bukan Retorika, tapi Sistem yang Menjaga
Islam telah menetapkan posisi mulia bagi perempuan dan anak. Dalam Islam, perempuan bukan alat produksi, bukan pula komoditas politik. Ia adalah kehormatan yang wajib dijaga negara dan masyarakat. Anak bukan sekadar “investasi masa depan,” tapi amanah yang kelak akan ditanya oleh Allah.
Sebagaimana diberitakan Suaramilenial.id (2/10/2025), pembentukan DRPPA di Kalsel terus dipercepat. Namun penting untuk dicatat, selama asasnya masih sekular, ia akan tetap gagal melahirkan lingkungan yang sungguh-sungguh ramah.
Dalam sistem Islam, perlindungan terhadap perempuan dan anak bukan program politis, tapi amanah akidah. Negara wajib memastikan hukum ditegakkan atas dasar wahyu, bukan selera manusia. Hukum Islam menutup celah bagi kekerasan, mendorong laki-laki menunaikan tanggung jawab sebagai pelindung, dan menjaga perempuan dari beban yang bukan fitrahnya. Anak tumbuh dalam pendidikan yang membentuk akhlak, bukan sekadar kecerdasan duniawi.
Ramah perempuan dan anak sejati hanya bisa lahir dari sistem yang menjadikan syariat sebagai arah hidup. Sebab hanya hukum Allah yang mampu menyeimbangkan hak dan kewajiban, menjaga kehormatan tanpa meniadakan peran. Program yang lahir dari akar sekular akan selalu kehilangan ruh, karena ia lupa: tidak ada keadilan tanpa iman, dan tidak ada kasih tanpa ketaatan.
Karena itu, perjuangan hari ini bukan sekadar menambah program atau memperluas indikator, tapi mengembalikan arah kehidupan pada aturan Allah. Umat Islam harus berani menanggalkan sistem sekular yang telah terbukti gagal menjaga kehormatan perempuan dan masa depan anak-anak.
Perubahan sejati hanya akan datang saat kita kembali memperjuangkan tegaknya sistem Islam — sistem yang tidak menukar moral dengan kebebasan, dan tidak menukar kehormatan dengan keuntungan. Di sanalah perempuan akan benar-benar mulia, anak-anak akan aman, dan masyarakat akan kembali beradab di bawah naungan Islam.
Wallahu a'lam. []
Oleh: Tuty Prihatini, S. Hut.
(Aktivis Muslimah Banua)
0 Komentar