Rahasia di Balik Bosan: Menemukan Tujuan Hidup Sejati

MutiaraUmat.com -- Dulu, saat rumah masih jadi pusat kehidupan, hiburan terbesar adalah duduk di kantor sambil menatap jalan raya yang ramai. Ada orang berlalu-lalang, kendaraan berderu, suara klakson bersahutan. Hiruk pikuk itu terasa seperti pertunjukan gratis, menghibur mata dan hati.

Kini, saat kantor justru jadi tempat tinggal, hiburan berganti sederhana, duduk berdua di rumah dengan suami menatap sepi. Hanya ada hening, sesekali suara burung atau pedagang makanan yang lewat depan kami.

Begitulah sob, rasa bahagia dan bosan rupanya hanyalah dua wajah dari satu koin yang sama, yaitu sifat manusia. 

Kita sering merasa wow pada sesuatu karena jarang ditemui. Saat hadir tiap hari, ia jadi biasa dan membosankan. Seperti perjalanan hidup, manusia terus mencari sesuatu yang baru untuk membangkitkan rasa. Pergi ke tempat baru, bertemu orang, mencoba hal segar.

Namun setelah sekian waktu, kita kembali merindukan yang dulu pernah kita tinggalkan. Itulah tabiat hati, selalu berpindah-pindah rasa.

Syaikh Ibnu ‘Atha’illah al-Iskandarī berkata dalam Al-Hikam,

"Janganlah perjalananmu berpindah dari makhluk menuju makhluk, namun segeralah berpindah dari makhluk menuju Sang Khaliq."

Kata-kata ini mengajarkan bahwa bosan dan bahagia dalam urusan dunia hanyalah lingkaran tanpa ujung. Bahagia karena hal baru, lalu bosan, mencari yang baru lagi, dan seterusnya. Jika hidup hanya berputar di situ, kita akan terus merasa kurang.

Rindu, Kangen, dan Rahasia Hati

Rasa rindu yang muncul pada suasana tertentu, entah itu keramaian kota atau kesepian desa, sebenarnya adalah tanda hati kita butuh sesuatu yang lebih dalam. Kita tidak hanya merindukan suasana, melainkan juga merindukan ketenteraman batin yang sejati.

Ibnu ‘Atha’illah juga pernah berpesan,

"Sesungguhnya salah satu tanda berpalingnya Allah darimu adalah ketika engkau sibuk dengan sesuatu yang tidak bermanfaat bagimu."

Artinya, bila hati hanya sibuk mencari suasana luar untuk merasa tenang, kita justru akan semakin jauh dari sumber ketenangan hakiki, yaitu Allah.

Bahagia karena suasana hanyalah ilusi sementara. Bahagia karena dekat dengan Allah-lah yang abadi.

Bahagia Itu Bukan di Mana, Tapi Dengan Siapa

Kita sering bertanya, “Lebih bahagia tinggal di rumah atau tinggal di kantor?” 

Padahal pertanyaannya bisa dibalik, “Lebih bahagia dekat dengan dunia, atau dekat dengan Allah?”

Jika kita jadikan dunia sebagai tujuan, bosan pasti datang. Namun jika dunia hanya jadi jalan menuju Allah, maka bahkan duduk sendirian pun bisa menjadi bahagia. Karena yang menemani adalah dzikir, yang mengisi hati adalah syukur.

Ibnu ‘Atha’illah berkata,

"Barang siapa yang tidak merasakan manisnya ibadah karena dosanya, maka hendaklah ia memperbanyak istighfar."

Kalimat ini menegaskan bahwa bahagia bukan karena pemandangan, bukan karena suasana ramai atau sepi, melainkan karena hati yang jernih dan dekat dengan Allah.

Seni Menikmati Hidup

Maka, seni dalam menikmati hidup bukanlah dengan terus mengganti suasana, melainkan dengan terus memperbaiki rasa.

Orang yang hatinya penuh syukur, ia akan bahagia di mana saja. Duduk di kantor ia syukuri, duduk di rumah ia nikmati.
Sebaliknya, orang yang hatinya gersang, ia akan bosan di mana pun. Jalan raya terasa berisik, rumah terasa sepi. Semua tidak ada yang pas.

Allah mengingatkan dalam Al-Qur’an,

“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)

Ayat ini menguatkan bahwa hati yang selalu ingat Allah tidak akan larut dalam rasa bosan. Justru ia akan menemukan bahagia di setiap keadaan.

Pada akhirnya, rasa bahagia dan bosan adalah alarm dari Allah agar kita tidak terlalu menggantungkan hidup pada suasana luar. Rindu pada suasana lama hanyalah tanda kita manusia biasa, tapi jangan sampai rindu itu membuat kita lupa kepada Sang Pencipta suasana.

Tanpa mengetahui tujuan hidup, suasana apa pun akan terasa membosankan. Ramai salah, sepi salah. Kaya kosong, miskin sempit. Karena hati manusia diciptakan bukan untuk sekadar menikmati suasana, tapi untuk mencari makna. Jika hidup berhenti di dunia, semua tampak sia-sia.

Ibnu ‘Atha’illah mengingatkan dalam Al-Hikam,

"Amal yang engkau lakukan tanpa menyadari tujuan hakikinya, hanyalah sekadar gerakan tubuh yang tak bernilai."

Allah menegaskan dalam Al-Qur’an,

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzāriyāt: 56)

Jika tujuan ini jelas, maka suasana apa pun bisa terasa bernilai. Duduk di keramaian kota, ada ibadah. Duduk di sepi rumah, juga ada ibadah. Semua menjadi ladang amal bila hati terikat pada tujuan sejati.

Seperti kata Ibnu ‘Atha’illah lagi,

"Janganlah kebahagiaanmu bergantung pada adanya nikmat. Namun jadikanlah kebahagiaanmu pada adanya Allah."

Kalimat ini menutup lingkaran rindu dengan jawaban paling sempurna bahwa kita tidak pernah benar-benar merindukan tempat atau suasana, tapi kita merindukan Allah yang memberi rasa damai dalam hati.

Jadi sob, bahagia dan bosan hanyalah sifat manusia yang akan terus berganti. Namun bila hati ditautkan pada Allah, bahagia sejati hadir di manapun kita berada.

Oleh: Nabila Zidane
Jurnalis

0 Komentar