Pelajaran Berarti Dari Peringatan Hari Santri
MutiaraUmat.com -- Tahun ini, peringatan Hari Santri Nasional jatuh pada Rabu, 22 Oktober 2025. Berbagai instansi, lembaga pendidikan, dan lembaga keagamaan turut memperingatinya — mulai dari kegiatan apel, pawai, doa bersama, hingga perlombaan.
Tidak ketinggalan, ucapan Selamat Hari Santri Nasional juga disampaikan langsung oleh Presiden dari Istana Negara. Bertemakan “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia”, Presiden mengajak santri menjadi penjaga moral dan pelopor kemajuan. Beliau juga mengulas latar belakang peringatan Hari Santri dengan peristiwa Resolusi Jihad yang difatwakan oleh tokoh ulama sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asy’ari, pada 22 Oktober 1945 silam.
Siapakah Santri?
Menurut Wikipedia, secara bahasa santri berakar dari bahasa Sanskerta, dari kata Shastri, yaitu orang yang mempelajari kitab-kitab keagamaan.
Sedangkan secara istilah, santri berarti sebutan untuk seseorang yang mengikuti pendidikan agama Islam serta tinggal di sebuah asrama atau pesantren hingga mengabdi kepada pesantren atau masyarakat.
Demikian makna santri secara khusus. Namun secara umum, santri juga bisa bermakna orang yang mendalami ilmu agama untuk diamalkan dan didakwahkan kepada orang lain.
Peran Santri
Sejak dahulu kala, sejarah telah mencatat peran santri sangat penting dalam perjuangan mengusir penjajah. Semangat jihad fi sabilillah para santri bersumber dari akidah Islam yang menghujam dalam benak mereka.
Puncak perjuangan para santri tercatat dalam peristiwa 10 November 1945, setelah fatwa jihad KH. Hasyim Asy’ari berkumandang luas. Pekik takbir dan gelora perlawanan arek-arek Suroboyo yang dipimpin oleh Bung Tomo akhirnya berhasil mengomando semua elemen masyarakat, termasuk para santri, untuk melawan Sekutu. Pada waktu itu, terbunuhlah Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby. Pertempuran ini pun dimenangkan oleh rakyat Surabaya dan para santri. Peristiwa tersebut kemudian dikenang hingga hari ini sebagai Hari Pahlawan.
Namun sayang, peran santri hari ini dibajak menjadi agen moderasi dan pemberdayaan ekonomi. Pesantren dan ulama justru dimanfaatkan untuk melegitimasi pengokohan sistem sekuler kapitalis. Visi dan misi santri tidak lagi sejalan dengan semangat perjuangan membela Islam. Bahkan, baru-baru ini kesepakatan kerja sama antara Kementerian Agama dan Amerika Serikat terkait pendidikan agama Islam justru kontradiktif dengan pujian terhadap semangat jihad para santri mengusir penjajah. Akibatnya, peringatan Hari Santri terkesan hanya seremonial belaka.
Peran Santri Sejati
Meskipun saat ini penjajahan fisik di negeri kita sudah tidak terjadi, namun penjajahan nonfisik justru jauh lebih berbahaya. Tidak tampak kasat mata, tetapi daya rusaknya begitu besar. Penjajahan dalam bentuk hegemoni politik, ekonomi, pendidikan, dan budaya Barat begitu deras — merusak akidah, menghancurkan moral, menimbulkan kemiskinan, membelenggu manusia, meniadakan identitas diri, serta merusak kepribadian dan peradaban Islam.
Maka, sudah semestinya peran santri sangat strategis untuk menjaga umat dari pengaruh peradaban Barat serta mewujudkan peradaban Islam yang gemilang. Santri adalah orang yang faqih fid-din, menjadi agen perubahan, dan ulama warasatul anbiya (pewaris para nabi). Tugas santri adalah melakukan amar makruf nahi munkar, menunjukkan kepada umat mana yang hak (benar) dan mana yang batil (salah), sehingga masyarakat menjadi taat syariat.
Tentu penjagaan ini akan lebih maksimal jika negara mengambil peran sebagai benteng terdepan pelindung umat. Maka hal ini akan selaras jika negara juga menjadikan Islam sebagai asas. Sinergi antara umat, santri, ulama, masyarakat, dan negara akan mencegah hegemoni Barat atas negeri-negeri kaum Muslim.
Dan hal ini hanya akan terealisasi jika negara menerapkan syariat dalam bingkai sistem Islam kaffah, yaitu Daulah Khilafah.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Oleh: Umi Salamah
Komunitas Penulis Peduli Umat
0 Komentar