MBG, Buah Kebijakan Populis



Mutiaraumat.com -- Setahun belakangan ini, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Program ini berfokus pada pemberian makan siang gratis bagi pelajar dan ibu hamil. 

Inisiatif tersebut merupakan salah satu janji kampanye presiden terpilih periode 2025–2029, Prabowo–Gibran. Dalam debat capres tahun 2024, Prabowo menyebut MBG diyakini mampu menjadi solusi memusnahkan stunting di Indonesia.

Namun, muncul pertanyaan besar, benarkah stunting dapat diselesaikan hanya dengan program makan bergizi gratis? Terlebih, dalam pelaksanaannya sudah muncul berbagai persoalan, mulai dari kasus belasan ribu siswa yang mengalami keracunan hingga besarnya dana yang digelontorkan, yang hampir menyentuh setengah dari anggaran pendidikan nasional selama satu tahun penuh.

Program MBG sesungguhnya merupakan visualisasi dan implementasi nyata dari gaya pemerintahan populis Prabowo–Gibran. Populisme adalah pendekatan politik yang menekankan pentingnya kepentingan rakyat biasa dibandingkan dengan elit politik atau kelompok yang dianggap berkuasa. 

Dalam praktiknya, pemimpin populis sering kali mengklaim diri sebagai representasi langsung dari suara rakyat.

Fenomena populisme sendiri muncul karena dua hal utama, yakni perkembangan teknologi media dan krisis legitimasi politik di berbagai negara. Kedua faktor ini melahirkan gaya kepemimpinan yang mengandalkan citra dan kedekatan emosional dengan masyarakat, namun sering kali mengabaikan kedalaman kebijakan.

MBG secara substansi memang memiliki manfaat sosial, tetapi program ini dirancang dengan dimensi komunikasi yang sangat kuat. Gaya pelaksanaannya sarat dengan “gimmick” politik yang dikemas secara menarik, menggunakan nama yang mudah diingat, serta diluncurkan pada momentum yang strategis agar mendapatkan perhatian luas dari media. 

Dengan demikian, MBG lebih terlihat sebagai proyek pencitraan ketimbang kebijakan yang lahir dari perencanaan dan kajian mendalam.

Dapat disimpulkan, pemimpin populis cenderung mengandalkan simbol dan citra yang kuat, tetapi dangkal secara substansi kebijakan. 

Pemerintah seolah bekerja hanya untuk menghasilkan “berita utama”, bukan membangun kebijakan berkelanjutan. Akibatnya, proses perencanaan yang seharusnya melibatkan riset mendalam, konsultasi publik, dan evaluasi teknis sering kali dipangkas demi menghasilkan momen yang “instagramable”. 

Dalam jangka panjang, hal ini berpotensi menciptakan jurang antara narasi dan realitas, sehingga rakyat hanya merasakan janji-janji yang indah secara visual, namun kosong secara material.

Dengan demikian, MBG yang menjadi produk utama pemerintahan populis saat ini sejatinya janji manis yang dipenuhi secara visual, namun tidak secara nyata. Allah berfirman:

“Demikianlah (sebagaimana Kami menjadikan bagimu musuh), Kami telah menjadikan (pula) bagi setiap nabi musuh yang terdiri atas setan-setan (berupa) manusia dan jin. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah sebagai tipuan. Seandainya Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak akan melakukannya. Maka, tinggalkanlah mereka bersama apa yang mereka ada-adakan (kebohongan)” (QS al-An‘am [6]: 112)

Lebih jauh lagi, MBG sebagai produk populisme merupakan bagian dari rintangan dalam menegakkan Daulah Khilafah. Dalam kitab Daulah Islam karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, pada bab Rintangan dalam Mendirikan Daulah Khilafah disebutkan:

"Adanya opini umum tentang kesukuan, nasionalisme, dan sosialisme, termasuk pendirian gerakan-gerakan politik dengan asas tersebut. Hal itu muncul akibat penguasaan Barat terhadap negeri-negeri Islam, penyerahan kendali pemerintahan kepada Barat, serta penerapan sistem kapitalis yang menanamkan kecenderungan mempertahankan diri di benak kaum Muslim.”

Dengan demikian, MBG bukan sekadar program sosial, tetapi merupakan produk sistem kapitalisme populis yang berfungsi menipu umat dengan kata-kata indah dan kebijakan simbolik. Lebih jauh, populisme seperti ini justru menjadi rintangan besar bagi tegaknya Daulah Islam.

Dalam sistem pemerintahan Islam (Daulah Khilafah), penanganan penyakit seperti stunting tidak diselesaikan dengan pendekatan instan seperti pemberian makan siang gratis, melainkan melalui kebijakan kesehatan dan pendidikan yang menyeluruh.

Departemen kesehatan dalam Daulah akan memantau kondisi ibu hamil dan anak-anak secara berkelanjutan. Penyakit seperti stunting membutuhkan waktu penyembuhan yang panjang dengan pengawasan ketat. 

Negara juga memiliki regulasi pencegahan yang jelas, seperti kewajiban edukasi gizi dan kesehatan bagi setiap ibu hamil. Edukasi ini disediakan secara luas, mudah diakses, dan gratis, karena pemenuhan ilmu dan kesehatan masyarakat adalah tanggung jawab negara.

Selain itu, dalam sistem ekonomi Islam, pemberian makan bergizi bukan tugas negara secara langsung, melainkan bagian dari tanggung jawab kepala keluarga atau wali. Tugas negara memastikan setiap individu mampu memenuhi kebutuhannya melalui distribusi yang adil dan jaminan lapangan kerja yang layak. 

Negara berkewajiban menyediakan fasilitas kesehatan terbaik, pendidikan berkualitas, serta media edukatif yang dapat membentuk masyarakat sadar gizi dan kesehatan. Dengan demikian, kesejahteraan tercapai bukan melalui program populis sesaat, melainkan melalui sistem yang kokoh dan berpihak pada syariat Islam.[]

Oleh: Annisa Nur Nabilah, (Mahasiswi)

0 Komentar