Mampukah Pesantren Menjadi Tonggak Awal Kebangkitan Islam?
MutiaraUmat.com -- Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar menyerukan kepada seluruh kalangan pesantren di Indonesia untuk menjadikan Musabaqah Qira’atil Kutub (MQK) tingkat nasional maupun internasional sebagai langkah awal menuju kebangkitan kembali The Golden Age of Islamic Civilization atau masa kejayaan peradaban Islam.
Dalam sambutannya saat membuka MQK Internasional di Pesantren As’adiyah Wajo, Kamis (2/10/2025), Menag menyampaikan bahwa kebangkitan peradaban Islam harus berawal dari pesantren.
“Sudah saatnya kita menghidupkan kembali kejayaan ilmu pengetahuan Islam seperti yang pernah terwujud pada masa Baitul Hikmah di Baghdad. Kebangkitan itu harus dimulai dari lingkungan pesantren,” ungkapnya.
Menurut Menag, peradaban Islam mencapai puncaknya pada masa Harun Al-Rasyid karena adanya integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum. Para ulama kala itu bukan hanya ahli dalam kitab kuning (ilmu-ilmu keagamaan), tetapi juga menguasai kitab putih (ilmu umum) seperti sosiologi, politik, dan sains.
“Pesantren tidak cukup hanya memahami kitab kuning atau kitab turats. Santri juga perlu mempelajari kitab putih, termasuk literatur berbahasa Inggris yang membahas berbagai bidang ilmu pengetahuan modern,” tegas Menag Nasaruddin.
(kemenag.go.id/27/09/2025)
Wacana kebangkitan kembali The Golden Age of Islamic Civilization (Zaman Keemasan Peradaban Islam) kian mengemuka, salah satunya disuarakan oleh Menteri Agama RI, Nasaruddin Umar. Beliau menyebut kegiatan seperti Musabaqah Qira’atil Kutub (MQK) nasional dan internasional sebagai anak tangga pertama menuju era kegemilangan itu, dengan pesantren sebagai benteng terkuatnya. Kunci lahirnya insan kamil (manusia sempurna), menurutnya, adalah integrasi antara Iqra’ (kitab putih/ilmu umum) dan Bismirabbik (kitab kuning/kitab turats).
Namun, sebuah pertanyaan besar muncul: mampukah visi ini terwujud di tengah arus sekulerisme liberal yang dominan saat ini? Pengkajian yang jujur dengan kacamata syariat memperlihatkan adanya distorsi terhadap posisi strategis pesantren.
Hari Santri setiap tahun pun digelar. Adapun tahun ini mengangkat tema “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia.” Tema yang sekilas sangat menarik. Namun, harus diwaspadai jika arahnya justru mengokohkan sekulerisme di tubuh pesantren, bukannya berfokus sebagai pusat pencetak ulama pewaris para nabi dan pemimpin peradaban Islam. Muncul upaya untuk mendistraksi fokus santri dengan memposisikannya sebagai duta budaya dan motor kemandirian ekonomi semata. Kita harus waspada agar tidak menggeser peran utama mereka sebagai santri.
Lebih jauh, muncul arah pembelokan perjuangan santri menjadi agen perdamaian dan perubahan sosial versi sekulerisme, serta mengarahkan mereka sebagai duta Islam moderat (wasathiyah) yang sering kali ditafsirkan bertentangan dengan implementasi Islam secara kaffah (menyeluruh). Upaya-upaya ini, jika dibiarkan, akan melemahkan peran pesantren sebagai institusi yang berpotensi melahirkan kader-kader yang berjuang bagi tegaknya peradaban Islam sejati.
Mewujudkan kembali peradaban Islam bukanlah sekadar narasi utopis, melainkan kewajiban syar’i bagi setiap mukmin. Peradaban yang dijanjikan itu memiliki fondasi, standar amal, makna kebahagiaan, dan gambaran yang jelas—semuanya bersumber dari Allah SWT.
Peradaban Islam dibangun di atas asas akidah Islam—keyakinan totalitas kepada Allah sebagai Pencipta, Pemelihara, dan Penentu hukum. Inilah yang membedakannya dari peradaban lain yang berasaskan sekulerisme, kapitalisme, atau sosialisme.
Miqyas (standar) amal dalam peradaban Islam adalah hukum syariat (halal dan haram) yang diturunkan oleh Allah SWT, bukan manfaat (sekulerisme) atau keinginan mayoritas (demokrasi). Makna kebahagiaan di dalamnya adalah tercapainya rida Allah SWT melalui ketaatan total pada syariat-Nya di dunia dan meraih surga di akhirat.
Pesantren, dengan kekuatan membaca kitab turats dan memelihara habit-nya, memang merupakan komponen penting dalam melahirkan individu-individu unggul. Namun, komponen individu saja tidak cukup. Peradaban tidak dapat tegak tanpa sistem dan negara yang menerapkan seluruh syariat Islam.
Peradaban Islam sejati yang mampu membawa rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin) hanya akan terwujud secara menyeluruh dalam institusi politik Khilafah Islamiyah. Khilafah adalah sistem kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslimin di dunia untuk menerapkan hukum-hukum syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Menegakkan Khilafah adalah kewajiban yang telah disepakati oleh mayoritas ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, didasarkan pada dalil-dalil yang kuat dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmak sahabat.
Allah SWT berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu...” (QS. An-Nisa’: 59)
Ayat ini memerintahkan ketaatan kepada ulil amri (pemegang kekuasaan/khalifah). Perintah menaati sesuatu yang keberadaannya wajib secara implisit juga merupakan perintah untuk mewujudkan sesuatu itu. Sebab, banyak hukum syariat—seperti pelaksanaan hudud, jihad, pengurusan baitulmal, dan persatuan umat—yang tidak mungkin sempurna pelaksanaannya tanpa adanya ulil amri (khalifah) dan negara Khilafah.
Rasulullah SAW bersabda:
"Dahulu Bani Israil diurus oleh para nabi. Ketika seorang nabi wafat, digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi setelahku, tetapi akan ada khulafa (para khalifah) yang banyak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini mengisyaratkan bahwa kepemimpinan umat setelah Nabi SAW adalah melalui Khilafah.
Para sahabat Rasulullah SAW sepakat untuk memprioritaskan pengangkatan khalifah pengganti (Abu Bakar ash-Shiddiq), bahkan dengan menunda penguburan jenazah Rasulullah SAW. Hal ini menunjukkan bahwa urusan kepemimpinan umat merupakan kewajiban yang paling mendesak (mahkota kewajiban – taajul furuudh).
Sistem Khilafah adalah solusi paripurna karena datang langsung dari Allah SWT melalui syariat-Nya. Ia menawarkan pemecahan masalah secara menyeluruh. Khilafah menjamin pendidikan berasas Islam yang memadukan ilmu duniawi dan ukhrawi di bawah satu payung kurikulum syariat, mencegah sekulerisme di dunia pendidikan, dan memastikan pesantren kembali ke peran utamanya sebagai pencetak ulama mujtahid dan pemimpin umat.
Khilafah menerapkan sistem ekonomi Islam (baitulmal) yang adil, memastikan distribusi kekayaan merata, menjamin kebutuhan dasar rakyat (sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan) secara gratis dan berkualitas. Ia menerapkan hukum Allah secara kaffah (syumul), memberikan keadilan bagi seluruh rakyat tanpa memandang suku, agama, atau strata sosial, serta menjadi perisai (junnah) bagi umat dari segala ancaman.
Khilafah memiliki mekanisme untuk menyebarkan Islam bukan dengan paksaan, tetapi melalui dakwah dan teladan peradaban yang unggul, yaitu Khilafah Islam. Sebagaimana yang pernah didirikan oleh Rasulullah SAW dan diteruskan oleh para khalifah selama berabad-abad, bahkan diakui oleh sejarawan Barat sebagai pilar kemajuan peradaban dunia.
Indonesia, dengan pesantrennya yang kuat dan populasi Muslim terbesar, memiliki potensi besar untuk menjadi titik tolak kebangkitan kembali peradaban Islam. Namun, hal itu hanya akan terjadi jika upaya ini diarahkan pada perjuangan dakwah politik Islam yang terfokus pada pengembalian sistem Khilafah, bukan sekadar perbaikan parsial dalam sistem sekuler yang ada.
Khilafah adalah janji Allah SWT bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, serta merupakan satu-satunya jalan untuk mewujudkan zaman keemasan peradaban Islam yang sejati. Mari kita jadikan kewajiban ini sebagai orientasi utama perjuangan Islam demi meraih kemuliaan di dunia dan akhirat.
Wallahu a’lam bishshawab.
Oleh: Yusniah Tampubolon
Aktivis Muslimah
0 Komentar