Lagi-lagi Korupsi, Apa Gunanya Sanksi?
TintaSiyasi.id -- Korupsi semakin merajalela dan terjadi hampir di setiap lini pemerintahan di negeri ini. Membelit bagaikan benang kusut yang sulit diuraikan. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah dan menindak pelaku korupsi dengan memberlakukan sanksi khusus. Namun, yang perlu dipertanyakan adalah: efektifkah sanksi yang dibuat untuk memberantas korupsi di negeri ini? Ataukah pemerintah memang tidak serius mengusut tuntas seluruh tindak pidana korupsi yang terjadi, mengingat kasusnya semakin masif dan terus bertambah?
Seperti halnya kasus korupsi yang terjadi di PT Pelindo baru-baru ini, yang menambah daftar panjang kasus korupsi di Indonesia. Berdasarkan keterangan Pelaksana Harian Kasi Penkum Kejati Sumut, Husairi, tim penyidik menetapkan dua orang tersangka dalam kasus korupsi ini, yaitu HAP yang merupakan mantan Direktur Teknik PT Pelindo, serta BS selaku Direktur Utama PT Dok dan Perkapalan Surabaya. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengadaan dua unit kapal tunda di PT Pelindo Cabang Dumai. (Detik Sumut, 25/09/2025)
Kasus ini terungkap akibat adanya ketidaksesuaian antara nilai kontrak dengan realisasi pembangunan kapal. Kontrak senilai Rp135 miliar dianggap tidak sesuai dengan kemajuan pembangunan fisik dan spesifikasi kapal, serta adanya ketimpangan antara hasil pekerjaan dengan biaya yang dikeluarkan. Akibat korupsi ini, negara mengalami kerugian senilai lebih dari seratus miliar rupiah yang berdampak pada keuangan dan perekonomian negara.
Kedua tersangka selanjutnya akan ditahan di Rumah Tahanan Negara Kelas I Medan selama 20 hari. Berdasarkan keterangan penyidik, keduanya ditetapkan melanggar Pasal 2 ayat (1) subsider Pasal 3 junto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Terlibatnya mantan Direktur PT Pelindo dalam kasus dugaan korupsi kapal tunda mengungkapkan lemahnya sistem pengawasan terhadap proyek-proyek berbiaya besar. Kerugian negara akibat korupsi bernilai ratusan miliar rupiah ini berimbas pada perekonomian nasional, meningkatkan kesenjangan sosial, serta berdampak pada menurunnya kualitas pelayanan publik.
Sistem kapitalisme yang berlandaskan asas manfaat dan materi membuat manusia bertindak semaunya dan mementingkan keuntungan pribadi semata. Akibatnya, proyek-proyek bernilai fantastis menjadi ladang empuk untuk diselewengkan. Hal ini diperparah oleh lemahnya akuntabilitas dan penyalahgunaan kekuasaan.
Korupsi sama halnya dengan pengkhianatan terhadap rakyat, karena dana yang seharusnya digunakan untuk berbagai program peningkatan kesejahteraan rakyat justru menjadi milik para pemangku kebijakan. Pada akhirnya, kepentingan rakyat terabaikan. Dalam Islam, korupsi merupakan perbuatan tercela yang diharamkan, karena mengambil sesuatu dengan kekuasaan secara batil sehingga menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Allah SWT berfirman:
“Janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah: 188)
Dalam Islam, setiap pemangku kebijakan akan selalu bertindak dengan hati-hati. Setiap kebijakan yang diambil harus sesuai dengan perintah dan larangan Allah. Kemungkinan untuk korupsi sangat kecil, karena ketakwaan setiap individu senantiasa terjaga. Pengelolaan proyek-proyek pun dilakukan secara akuntabel dan transparan.
Sanksi yang tegas diberlakukan bagi pelaku korupsi, sehingga menimbulkan efek jera bagi masyarakat lainnya. Setiap aset milik negara akan terjaga dan terlindungi, serta dimanfaatkan untuk kepentingan umat, bukan untuk kepentingan pribadi.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
Oleh: Irayani
Aktivis Muslimah
0 Komentar