Gelombang Protes Global: Gen Z, Solidaritas Kemanusiaan, dan Krisis setelah Pencegatan Global Sumud Flotilla
MutiaraUmat.com -- Pada awal Oktober 2025, dunia menyaksikan satu babak lagi dalam krisis kemanusiaan yang membelit Gaza. Upaya kemanusiaan oleh konvoi laut internasional yang menamakan diri Global Sumud Flotilla untuk mengantarkan obat dan makanan ke Jalur Gaza dihentikan oleh pasukan Israel, memicu gelombang kecaman, protes massa, dan aksi solidaritas lintas benua. Peristiwa ini menandai eskalasi baru dalam ketegangan yang bukan sekadar politik tetapi juga pertanyaan mendasar tentang akses bantuan kemanusiaan di zona konflik.
Agen berita Reuters melaporkan pada 2 Oktober 2025 bahwa militer Israel mencegat hampir seluruh kapal yaitu sekitar 40 kapal menurut penyelenggara dan menahan lebih dari 450 aktivis dari puluhan negara. Reuters menggambarkan operasi itu sebagai tindakan yang memicu kecaman internasional.
Organisasi penyelenggara flotilla menyatakan bahwa kapal-kapal tersebut membawa persediaan medis, makanan, dan kebutuhan dasar lainnya. Menurut para aktivis, penahanan dan pencegatan bukan hanya menghentikan distribusi barang, tetapi juga menghalangi hak atas bantuan kemanusiaan bagi warga sipil yang terlantar di Gaza.
Reaksi internasional muncul cepat dan beragam. Badan hak asasi PBB menuntut agar Israel memastikan keselamatan dan kebebasan para aktivis yang ditahan, dengan pernyataan publik pada 8 Oktober 2025 tersebut menekankan kewajiban internasional terkait akses bantuan kemanusiaan dan kondisi perlakuan terhadap tahanan.
Pada 3 Oktober 2025, Associated Press mendokumentasikan demonstrasi besar di Milan dan kota-kota lain, di mana ribuan orang turun ke jalan memprotes tindakan pencegatan dan menyerukan penghentian blokade kemanusiaan. Aksi-aksi serupa juga terjadi di London, Paris, Roma, Brussel dan kota-kota di Asia dan Afrika.
Di Maroko, protes generasi muda yang oleh sejumlah media disebut gerakan “Gen Z” mendapat sorotan khusus. Demonstrasi yang muncul pada awal Oktober 2025 memprotes pencegatan kapal-kapal bantuan dan mengecam apa yang mereka sebut “kebrutalan” dalam menghadang misi kemanusiaan. Analisis dari media seperti The New Arab (8 Oktober 2025), menggarisbawahi bahwa unjuk rasa pro-Palestina merupakan ekspresi moral generasi muda yang tumbuh dalam era informasi digital dan terhubung global.
Di tingkat praktis, penyelenggara flotilla menyatakan bahwa kapal-kapal membawa persediaan medis dan pangan yang ditujukan untuk rumah sakit dan titik distribusi di Gaza. Sementara otoritas Israel berdalih bahwa mereka menghentikan konvoi untuk menegakkan blokade yang menurut mereka “sah” demi keamanan, banyak pemerhati hukum maritim dan organisasi kemanusiaan mempertanyakan dasar hukum dan proporsionalitas tindakan tersebut. Perdebatan hukum internasional berkaitan dengan konflik pada perairan internasi pun terjadi.
Sejumlah generasi muda yang aktif di media sosial memanfaatkan platform online untuk menyebarkan bukti visual perjalanan flotilla, laporan lapangan, dan ajakan aksi damai di kota-kota mereka. Reaksi ini menunjukkan perubahan lanskap politik global di mana isu Palestina kembali menjadi perhatian generasi yang menilai keadilan kemanusiaan sebagai nilai moral utama.
Sayangnya, sekadar empati dan aksi solidaritas tidak akan pernah mampu menyelasikan masalah Palestina. Bahkan organisasi internasional pun hingga saat ini tidak dapat memberikan pengaruh yang berarti. Faktanya, kebiadapan Israel kepada umat Muslim Palestina semakin menjadi. Solusi two state yang ditawarkan sebenarnya bukan merupakan solusi yang akan menyelesaikan masalah ini.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan solusi dua negara yaitu menyetujui solusi dua negara akan menghentikan jihad fi sabilillah secara permanen untuk melawan kezaliman “Israel”, padahal jihad itu merupakan solusi syar’i yang wajib hukumnya yaitu merebut kembali tanah Palestina sebagai milik kaum Muslim yang telah dirampas oleh Yahudi. Di sisi lain menyetujui solusi dua negara berarti kita bersikap loyal kepada kaum kafir.
Tidak hanya itu, menyetujui solusi dua negara berarti kita telah mengakui keabsahan eksistensi negara kafir Yahudi sekaligus mengakui perampasan tanah milik kaum Muslim. Keputusan mengakui solusi dua negara merupakan sikap yang lemah dan khianat oleh pemimpin negeri-negeri Islam, yang seharusnya wajib berjihad menolong kaum muslim yang tertindas, namun mereka malah mengambil langkah tidak mau berperang.
Hal ini juga berarti memberi jalan kepada kaum kafir untuk menguasai atau mendominasi kaum Muslim, khususnya kaum Muslim Palestina. Mengakui kemerdekaan negara Palestina sebagai sebuah sebuah negara-bangsa (nation-state) yang sekuler, jelas akan semakin memecah belah umat Islam seluruh dunia yang seharusnya wajib hidup dalam satu negara saja (Khilafah). Firman Allah SWT, ”Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (TQS Āli ’Imrān : 103). []
Oleh. drh. Lailatus Sa'diyah
(Aktivis Muslimah)
0 Komentar