Fenomena Job Hugging, Bertahan Saat Ekonomi Lesu
MutiaraUmat.com -- Bertahan dan berkembang merupakan kata motivasi yang digemborkan oleh motivator akhir-akhir ini. Namun, faktanya tidak ada pilihan selain bertahan di saat ekonomi sedang terpuruk. Alhasil tumbuh untuk berkembang hanyalah mimpi yang terkubur oleh keadaan.
Dahulu ada tren job hopping yang bertujuan untuk mencari pengalaman baru, koneksi yang lebih luas dan mengejar kenaikan gaji. Saat ini situasinya terbalik, muncul fenomena job hugging. Karyawan memilih bertahan di satu pekerjaan demi menjaga stabilitas. Job hugging mencerminkan rasa aman yang dicari pekerja di tengah pasar kerja yang melambat, perekrutan yang sedikit, dan ketidakpastian politik. Pangkal dari hal tersebut karena kondisi perekonomian yang amburadul.
Hasil survei Litbang Kompas tentang kondisi ekonomi nasional menyatakan bahwa sekitar 36 % responden mengakui bahwa tingkat penghasilan responden selama tiga bulan terakhir (Januari-April 2025) relatif tidak berubah. Namun, di tengah situasi ini ada sekitar 33 % yang menyatakan bahwa penghasilannya susut karena usaha melambat, 3 % yang anjlok karena Pemutusan Hubungan Kerja, 8 % yang tidak berpenghasilan karena tidak bekerja atau menganggur, serta mayoritas responden sekitar 76 % mengaku sulit mendapatkan pekerjaan untuk sekarang ini. (https://www.kompas.id/.../mengapa-fenomena-job-hugging...)
Fenomena job hugging juga terjadi di Amerika Serikat (AS). Namun, angkanya tidak setinggi yang ada di Indonesia. Angka pengunduran diri di AS sejak awal tahun 2025 hanya 2%. Menunjukkan angka terendah dalam hampir satu dekade. Maknanya, karyawan semakin enggan melepaskan pekerjaan yang sudah digenggam. (https://www.cnbcindonesia.com/.../job-hugging-fenomena...)
Tadjuddin Noer Effendi seorang pakar ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), menjelaskan tentang fenomena pekerja yang cenderung untuk tetap bertahan dalam satu pekerjaan yang sedang dijalani. Meskipun sudah tidak memiliki motivasi dan minat dalam pekerjaan tersebut. fenomena tersebut didasari karena ketidak adanya kepastian dalam lapangan kerja dan maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia.
Lulusan perguruan tinggi juga banyak terjebak dalam jeratan job hugging. Mereka lebih baik bertahan asal ada penghasilan. Meskipun banyak perguruan tinggi menawarkan kurikulum yang adaptif dengan dunia kerja, pada akhirnya lulusan perguruan tinggi juga tergerus pada pasar bebas.
Sekilas, pilihan untuk bertahan tampak lebih bijak ketimbang loncat sana sini untuk mencari pekerjaan baru. Dengan gaji yang sudah pasti, lingkungan sudah nyaman, dan risiko kehilangan pekerjaan lebih kecil. Namun, dibalik rasa aman, job hugging sendiri memiliki sisi negatif. Terlalu nyaman bisa membuat pekerja stagnan, kurang berkembang, demotivasi dan menimbulkan tekanan psikologi. Sehingga pekerja tidak kompetitif ketika pasar tenaga kerja kembali bergairah.
Rapuhnya Kapitalisme Dalam Menjamin Pekerjaan
Sungguh memprihatinkan kondisi maraknya job hugging di Indonesia maupun Amerika Serikat. Inilah bukti bahwa sistem Kapitalisme global itu rapuh. Tidak bisa menjamin pekerjaan bagi rakyatnya, justru membuat kesengsaraan di berbagai tempat.
Dalam sistem Kapitalisme, negara tidak terlibat langsung dalam menyediakan lapangan pekerjaan. Beberapa lapangan kerja justru disediakan oleh swasta. Akibatnya, keberlangsungan hidup pekerja bergantung pada mekanisme pasar. Dalam hal ini negara telah mengabaikan tanggung jawabnya sebagai pelayan dan pengurus rakyat (raa’in).
Tak hanya itu, negara hanya bertindak sebagai regulator, yaitu menetapkan regulasi dan kebijakan yang pro kapitalis (pemilik modal) dan sebagai fasilitator yang memudahkan asing atau swasta terlibat dalam penciptaan lapangan kerja. Kebijakan ekonomi yang dibuat oleh negara hanya menguntungkan segelintir elit kapitalis oligarki, sementara mayoritas rakyat tidak merasakan manfaatnya.
Parahnya lagi, hanya faktor keuntungan saja yang dikejar. Negara memberikan fasilitas untuk menggerakkan ekonomi non riil. Seperti penyaluran modal pada praktik ribawi. Aktivitas ekonomi ini memang menjanjikan keuntungan instan bagi pemilik modal. Tetapi berdampak pada minimnya serapan tenaga kerja karena tidak berfokus pada dihasilkannya produk berupa barang atau jasa. Sehingga pertumbuhan ekonomi pun terhambat.
Ironisnya, dalam sistem Kapitalisme, kurikulum perguruan tinggi disiapkan agar sesuai dengan kebutuhan industri. Para lulusan didorong menjadi fleksibel, adaptif, dan siap masuk ke dunia kerja yang penuh ketidakpastian. Namun, semua upaya itu seolah sia-sia ketika prinsip liberalisasi perdagangan digaungkan, termasuk perdagangan jasa, menjadikan negara lepas tangan dalam memastikan setiap warganya bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka. Pendidikan yang semestinya menjadi jalan menuju kesejahteraan justru berakhir pada jebakan menghasilkan “pengangguran intelektual” atau pekerja yang bertahan dalam job hugging.
Jalan Keluar Job Hugging Dalam Pandangan Islam
Kerusakan sistem kapitalisme telah terpampang nyata dalam fakta keseharian. Dan Islam menawarkan solusi ideologis, menyeluruh dan bersifat sistematis. Solusi itu adalah penerapan syariat secara kaffah (sempurna) dalam naungan Khilafah Islamiyah, sebuah sistem pemerintahan yang berlandaskan akidah Islam dan menempatkan pemimpin sebagai pelayan rakyat, bukan penguasa yang menindas. Rasulullah saw., menegaskan hal tersebut dalam sabdanya :
“Imam adalah pengurus rakyat, dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam Muqaddimah Dustur Pasal 153 ditegaskan, negara adalah penanggung jawab utama dalam pengurusan rakyat, termasuk memastikan setiap warga memiliki kesempatan bekerja.
Dari pernyataan diatas, jelas bahwa penyediaan lapangan kerja bukan sekedar efek samping dari pertumbuhan ekonomi, melainkan kewajiban negara. Dan itu merupakan amanah syariat.
Negara dalam sistem Islam menciptakan lapangan kerja yang riil dan berkelanjutan. Dan Islam menolak sistem ribawi yang menjadi fondasi ekonomi kapitalis.
Karena, aktifitas riba dianggap sebagai sumber ketimpangan dan ketidakstabilan. Selain itu, akan tercipta kesengsaraan bagi pelakunya atau yang mengambil keuntungan darinya. Riba juga bukan dari aktivitas produktif, karena menciptakan uang dari uang. Dan riba jelas keharamannya. Di dalam surat al-Baqoroh Allah SWT
berfirman :
ٱلَّذِينَ ÙŠَØ£ۡÙƒُÙ„ُونَ ٱلرِّبَÙˆٰاْ Ù„َا ÙŠَÙ‚ُومُونَ Ø¥ِÙ„َّا ÙƒَÙ…َا ÙŠَÙ‚ُومُ ٱلَّذِÙŠ ÙŠَتَØ®َبَّØ·ُÙ‡ُ ٱلشَّÙŠۡØ·َٰÙ†ُ Ù…ِÙ†َ ٱلۡÙ…َسِّۚ ذَٰÙ„ِÙƒَ بِØ£َÙ†َّÙ‡ُÙ…ۡ Ù‚َالُÙˆٓاْ Ø¥ِÙ†َّÙ…َا ٱلۡبَÙŠۡعُ Ù…ِØ«ۡÙ„ُ ٱلرِّبَÙˆٰاْۗ ÙˆَØ£َØَÙ„َّ ٱللَّÙ‡ُ ٱلۡبَÙŠۡعَ ÙˆَØَرَّÙ…َ ٱلرِّبَÙˆٰاْ
Artinya : “Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti orang yang kerasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian disebabkan mereka berpendapat bahwa jual-beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”. (TQS al-Baqarah [2]: 275)
Di bawah sistem Islam, ada program yang bernama ihya’ul mawat (menghidupkan tanah mati) menjadi salah satu langkah konkret, tanah yang terbengkalai diberikan kepada rakyat yang siap mengelolanya, lengkap dengan bantuan modal, sarana, serta keterampilan. Dengan begitu, tercipta kemandirian ekonomi rakyat, bukan ketergantungan pada investasi asing.
Dalam hal ini Rasulullah ï·º bersabda, yang artinya “Barang siapa menghidupkan tanah mati (membuka lahan baru), tanah itu menjadi miliknya.” (HR Ahmad, At-Tirmidzi, dan Abu Dawud). Hadis ini menunjukkan bahwa usaha untuk mengubah tanah yang tidak produktif menjadi produktif akan membawa keberkahan dan tanah tersebut menjadi milik siapa yang berusaha.
Terakhir, didalam Islam, pendidikan dan pekerjaan selalu dibingkai dengan ruh dan keimanan. Sehingga rakyat sentiasa melakukannya bukan karena terpaksa, namun atas dorongan ibadah, serta sadar akan selalu terikat dengan standar halal-haram. Selain itu, negara juga mengurusi urusan rakyatnya juga dengan dorongan ibadah. Bukan hanya dorongan keuntungan semata.[]
Oleh: Thowiyatun Nadziroh (Aktivis Muslimah)
0 Komentar