Tragedi Filisida Maternal, Alarm Keras dari Sistem Rusak
Tintasiyasi.id.com -- Indonesia kembali diguncang tragedi memilukan. Seorang ibu muda, EN, memilih jalan paling kelam: mengakhiri hidup dua buah hatinya, lalu dirinya sendiri. Surat wasiat yang ia tinggalkan menyuarakan kepedihan mendalam—jeratan hutang, suami yang ingkar, dan keputusasaan ekonomi.
Peristiwa di Banjaran, Kabupaten Bandung ini kemudian dikategorikan KPAI sebagai filisida maternal, yakni pembunuhan anak oleh ibu, yang dalam kasus EN berlanjut menjadi maternal filicide-suicide.
Psikolog forensik Kasandra Putranto menegaskan bahwa tragedi semacam ini tak bisa hanya dilihat sebagai kriminal murni. Ada faktor multidimensional: psikologis, sosial-ekonomi, dan minimnya dukungan kesehatan mental.
Namun, apakah cukup menjelaskan kasus ini dengan alasan ekonomi dan tekanan pribadi semata? Tidak. Sesungguhnya, tragedi ini hanyalah puncak gunung es dari masalah struktural yang lebih dalam: kerusakan sistem sekuler-kapitalisme yang menjauhkan agama dari kehidupan dan menempatkan materi sebagai orientasi utama. Beginilah wajah sesungguhnya sistem sekuler kapitalis. Akankah dijadikan juara bertahan?
Sistem ini sanggup merenggut fitrah seorang ibu yang sejatinya penuh kasih, hingga tega melukai darah dagingnya sendiri. Ia juga mengikis peran suami sebagai qawwam, pelindung dan penanggung nafkah keluarga, sebagaimana firman Allah:
Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah memberikan nafkah dari hartanya...” (QS. An-Nisa: 34).
Bahkan, sistem rusak ini menjerumuskan umat dalam keputusasaan ekonomi yang berujung pada depresi, bunuh diri, dan filisida. Padahal Allah sudah memperingatkan:
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar (QS. Al-Isra: 31).
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Q.S. An-Nisa: 29
Nabi ï·º pun menegaskan:
“Barang siapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu di dunia, maka ia akan disiksa dengan hal itu pula pada hari kiamat.” (HR. Bukhari-Muslim)
Maka jelaslah, kasus EN bukan sekadar tragedi personal, tapi alarm keras bahwa sistem hari ini telah gagal menjaga kehidupan manusia. Solusinya tidak cukup dengan penyediaan layanan konseling atau edukasi digital.
Akar masalahnya adalah sistem yang rusak, dan bisa disembuhkannya hanya dengan kembali pada sistem yang benar: Islam kaffah dalam naungan Khilafah.
Islam menawarkan solusi komprehensif melalui pilar-pilar:
1. Individu dibangun dengan akidah yang kokoh, menjadikan halal-haram sebagai standar perbuatan. Karena kokohnya iman, ia akan sabar menghadapi ujian, meyakini janji Allah, dan tidak tergoda jalan pintas yang haram. Selalu takut sangsi berat di akhirat
2. Masyarakat dibentuk dengan budaya amar makruf nahi mungkar. Ia menjadi support system positif yang saling menjaga, bukan membiarkan saudara seiman terjerat masalah hingga berputus asa.
3. Negara hadir sebagai junnah (perisai) yang memastikan kebutuhan dasar rakyat terpenuhi: sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Negara menutup rapat pintu riba, pinjol, dan judi, sembari menjamin suami mampu menunaikan perannya sebagai qawwam.
Dengan sistem Islam, seorang ibu dapat fokus pada perannya sebagai ibu. Tanpa tekanan ekonomi yang menjerat. Ayah menjalankan kewajiban nafkah dengan tenang. Masyarakat hidup dalam suasana keimanan yang sehat. Negara mengayomi umat dengan aturan Allah, bukan dengan hukum buatan manusia yang rapuh.
Tragedi EN adalah jeritan pilu dari banyak ibu di negeri ini. Selama sekuler-kapitalisme terus dibiarkan berkuasa, tragedi serupa akan terulang kembali. Saatnya umat kembali kepada sistem Islam yang menyejahterakan, melindungi, dan memuliakan setiap jiwa. Wallahu a’lam bishshawwab.[]
Oleh: Ade Damayanti
(Anggota KMM Depok)
0 Komentar