Sistem Demokrasi, Sistem Hipokrit


MutiaraUmat.com -- Aksi protes yang akhir-akhir ini menggema di Indonesia dipicu oleh sikap para pejabat yang tidak memihak rakyat dalam menerapkan kebijakan. Salah satunya memberlakukan pajak hampir ke semua jenis properti yang dimiliki rakyat. 

Di sisi yang lain korupsi para pejabat publik makin merajalela hampir di semua instansi negara.
Dan puncak dari kezaliman itu para wakil rakyat berjoget dengan gembira karena dijanjikan kenaikan tunjangan, padahal kinerja mereka tidak sebanding dengan kompensasi yang mereka dapatkan. 

Para wakil rakyat itu lebih banyak diam ketika membahas undang-undang yang tak pro rakyat bahkan lebih banyak meng-aamiin-kan daripada membela kepentingan rakyat.

Dari sini rakyat mulai merasa muak dengan sikap para pejabat dan para wakil rakyat. Para pejabat dan wakil rakyat itu berpesta pora dengan hasil korupsi mereka sedangkan rakyat dalam keadaan sulit dalam mendapatkan penghasilan hatta untuk makan sehari-hari saja.

Sungguh tragis, seorang pejabat dan wakil rakyat yang seharusnya melayani kepentingan rakyat malah bergelimang harta dan tak memperdulikan nasib rakyatnya sama sekali.

Para pejabat itu malah melakukan flexing di media sosial dengan memamerkan kekayaan mereka tanpa menimbang rasa dengan keadaan rakyatnya yang susah dalam memenuhi kebutuhan hidup. 

Lalu, apa fungsi mereka sebagai pejabat negara dan wakil rakyat?
Bukankah mereka dipilih oleh rakyat dan bertugas untuk melayani rakyat? Secara idealnya seorang pejabat dan wakil rakyat itu mengayomi dan melayani rakyat tetapi dalam sistem demokrasi ini mereka secara terang-terangan melakukan kezaliman yang sudah diluar nalar.

Sistem demokrasi yang secara teori akan menjadikan suara rakyat sebagai suara Tuhan nyatanya omong kosong belaka. Sistem demokrasi adalah sistem yang memproduksi orang-orang hipokrit. 

Mereka bekerja bukan untuk rakyat tetapi untuk diri mereka sendiri karena untuk menjadi pejabat dan wakil rakyat itu membutuhkan modal besar maka yang dipikirkan pertama kali bukan bagaimana melayani rakyat tetapi bagaimana bisa balik modal.

Itulah ironisnya demokrasi dan lebih mirisnya lagi masih banyak rakyat hari ini yang masih berharap pada sistem yang rusak dan merusak ini.

Jangan lupa demokrasi itu lahir dari barat yang meniadakan peran agama dalam kehidupan bernegara. Maka, bisa dipastikan ketika negara meniadakan peran agama maka aturan yang akan diterapkan adalah aturan manusia yang manusia itu penuh dengan kekurangan dan kelemahan.

Tidak demikian dengan Islam, Islam mengharamkan manusia mengatur kehidupannya sendiri tetapi harus mengikuti apa yang diwahyukan oleh Allah SWT melalui Rasul-Nya yaitu Nabi Muhammad Saw berupa Al-quran dan As sunnah.

Dalam Islam, posisi rakyat hanya sebagai pelaksana hukum yang termaktub dalam Al-quran dan As-sunnah. Rakyat bukan pembuat hukum. Suara rakyat bukan suara Tuhan karena rakyat itu manusia yang diciptakan Allah untuk beribadah kepada-Nya sehingga harus taat dengan apa yang diperintahkan dan dilarang oleh Allah SWT.

Karena itu dalam Islam tidak mengenal Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang ada adalah Majelis Ummah. Majelis Ummah dalam Islam jauh berbeda dengan DPR dari segi fungsi dan keberadaannya.

Dalam Islam, Majelis Ummah hanya berfungsi temporal yaitu hanya ketika Khalifah membutuhkan pendapat dari para tokoh umat untuk kemaslahatan umat. Sehingga tidak membutuhkan gedung dan tunjangan apapun (Nizom Hukmi fil Islam, hal. 209, Ustaz Abdul Qodir Zallum).

Cukup memberikan biaya transportasi kepada tokoh umat itu ketika dipanggil oleh khalifah bahkan tokoh umat itu akan secara sukarela dipanggil oleh khalifah untuk memberikan pendapatnya terkait kemaslahatan umat tersebut.

Dengan mekanisme seperti ini tidak perlu ada gedung dan tunjangan apa pun untuk wakil umat sebagaimana yang terjadi pada sistem demokrasi hari ini.

Sehingga gonjang ganjing terkait kenaikan tunjangan para wakil rakyat seperti pada sistem demokrasi tidak akan pernah terjadi dalam sistem Islam.

Model sistem pemerintah seperti Islam-lah yang seharusnya dituntut oleh umat bukan sistem demokrasi yang hakikatnya bukan untuk memberikan pelayanan pada umat. 

Apalagi Indonesia merupakan negara dengan jumlah mayoritas umat Islam, sudah seyogyanya memahami agamanya yaitu kewajiban menerapkan aturan syariat dalam kehidupan bernegara.

Dengan menerapkan sistem Islam, kesejahteraan tidak hanya dimiliki umat Islam tetapi juga umat yang lain yang mau tunduk dalam aturan Islam. Dengan demikian aturan Islam menjadi rahmat bagi manusia muslim maupun non muslim.

Sedangkan sistem demokrasi hakikatnya hanya hipokrit saja terhadap rakyat, berwajah dua, dia akan bermanis muka kepada rakyat ketika suara rakyat dibutuhkan untuk mengangkat elit politik tetapi ketika mereka berkuasa umat akan ditinggalkan begitu saja.

Dengan demikian, jangan hanya menuntut pembubaran DPR tetapi tuntutlah untuk menganti sistem demokrasi dengan sistem Islam, karena dengan penerapan sistem Islam ada dua keuntungan yang akan didapatkan oleh umat yaitu pahala dari Allah Swt karena sudah menaati perintah-Nya dan kedua, akan mendapatkan kesejahteraan dan keselamatan di dunia dan akhirat kelak. Wallahu’alam bishshawwab.

Oleh: Emmy Emmalya
(Analis Mutiara Umat Institute)

0 Komentar