Manusia Beriman sebagai Aset Bangsa: Pelajaran dari Indonesia dan Nepal
Sejarah menunjukkan, manusia yang beriman (baik pejabat maupun rakyat) adalah aset terbesar bangsa. Karena keimanannya, maka mereka otomatis anti rusuh, anti korupsi, anti sex bebas, anti maksiat, dan anti kriminal. Sebaliknya, sistem sekuler justru menjauhkan manusia dari rasa takut kepada Tuhan.
Hasilnya, pembangunan yang seharusnya membawa berkah justru menciptakan luka sosial. Kasus Indonesia dan Nepal menjadi pelajaran nyata.
Luka Kerusuhan di Indonesia
Sejak reformasi, Indonesia berkali-kali mengalami kerusuhan yang menelan korban besar, seperti peristiwa semanggi (1998–1999). Demonstrasi mahasiswa yang awalnya damai menuntut reformasi berubah jadi bentrokan dengan aparat. Puluhan mahasiswa gugur, ratusan luka-luka.
Kerusuhan Maluku (1999–2002). Konflik horizontal pecah hingga menewaskan lebih dari 8.000 orang, ratusan ribu mengungsi, ribuan rumah ibadah dan tempat usaha hancur. Luka ini meninggalkan trauma panjang.
Terbaru, kerusuhan Agustus 2025. Dilansir dari detik.com (1/9/2025) hanya dalam rentang sepekan (25–31 Agustus 2025), kepolisian mencatat 3.195 orang ditangkap dan 55 orang jadi tersangka akibat aksi unjuk rasa yang berujung rusuh di 15 provinsi. Rumah warga, fasilitas umum, bahkan sekolah ikut terdampak.
Faktor utamanya? Kesenjangan sosial, ketidakadilan, dan pejabat yang abai. Di tengah rakyat kesulitan harga pangan, banyak pejabat sibuk memamerkan kemewahan. Flexing di media sosial dengan mobil mewah dan pesta glamor menjadi duri di mata rakyat.
Gejolak Nepal: Gen Z Melawan Elite
Dilansir dari cnbcindonesia.com (11/9/2025) Nepal baru-baru ini (2025) juga diguncang protes besar yang dipelopori Gen Z. Awalnya dipicu kebijakan membatasi media sosial, namun berkembang jadi perlawanan terhadap elite politik.
Korban puluhan tewas, ratusan luka-luka, gedung parlemen dan perkantoran dibakar massa. Akar masalahnya adalah ketimpangan sosial, korupsi, nepotisme, dan gaya hidup mewah keluarga pejabat. Di tengah rakyat kesulitan mencari pekerjaan, elite politik malah menginap di hotel bintang lima dengan fasilitas super luks.
Kasus Nepal ini jadi cermin bahwa ketika pembangunan tak diimbangi iman dan keadilan, generasi muda bisa berubah jadi gelombang perlawanan yang meledak dalam kerusuhan.
Akar Masalah: Sekularisme Tanpa Kendali
Baik Indonesia maupun Nepal sama-sama terjebak dalam pembangunan yang berorientasi materi di bawah sistem sekuler. Dalam sistem ini, agama dipinggirkan dari urusan publik. Pendidikan lebih menekankan keterampilan teknis, bukan pembentukan iman. Negara sibuk mengejar angka pertumbuhan, tapi abai terhadap moralitas pejabat dan rakyat.
Akibatnya, kesenjangan sosial makin tajam. Korupsi jadi budaya. Flexing pejabat melukai hati rakyat. Kerusuhan muncul sebagai luapan frustasi.
Solusinya Kembali kepada Sistem Islam
Islam memandang pembangunan bukan sekadar fisik, tapi pembangunan manusia. Allah Swt berfirman dalam Al-Qur’an surah Adz-Dzariyat ayat 56 yang artinya, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”
Ayat ini menegaskan tujuan hidup manusia adalah ibadah, bukan sekadar mengejar materi. Maka pembangunan harus diarahkan pada terciptanya manusia bertakwa.
Manusia Bertakwa Adalah Aset Bangsa
Manusia bertakwa akan menjauhi korupsi karena takut pada hisab Allah Swt. Tidak rusuh, karena tahu kerusakan dilarang syariat. Tidak flexing, karena sadar semua harta hanyalah titipan. Tidak maksiat, karena berpegang pada halal dan haram. Mereka inilah pilar bangsa yang sesungguhnya.
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, pendiri Hizb ut-Tahrir, menegaskan bahwa membentuk manusia bertakwa tidak cukup dengan ceramah atau nasihat moral. Harus ada sistem pendidikan Islam yang diterapkan dalam kurikulum negara.
Tujuan pendidikan dalam Islam, menurut beliau, adalah membentuk syakhsiyyah Islamiyyah (kepribadian Islam), yaitu manusia yang berpikir dan berperilaku berdasarkan akidah Islam.
Prinsip Pendidikan Islam
Pertama, kurikulum berbasis Akidah Islam. Semua ilmu, baik sains, sosial, humaniora diajarkan dalam bingkai akidah. Tidak ada pemisahan ilmu agama vs ilmu dunia. Biologi dikaitkan dengan ayat penciptaan, ekonomi dengan hukum riba dan zakat, politik dengan konsep syura dan kepemimpinan.
Kedua, membentuk kepribadian Islam. Pendidikan diarahkan bukan hanya agar siswa pintar, tetapi juga takut melanggar syariat. Guru, metode, dan lingkungan sekolah semuanya Islami.
Ketiga, peran negara. Negara wajib menjamin pendidikan gratis, berkualitas, dan bebas dari ideologi sekuler-liberal. Negara juga bertanggung jawab mengawasi isi kurikulum agar tidak merusak akidah generasi.
Keempat, teladan pejabat. Jika pejabat adalah produk pendidikan Islam, mereka akan memandang jabatan sebagai amanah, bukan alat flexing. Hidup sederhana dan adil jadi teladan nyata bagi rakyat.
Oleh karena itu, kasus Indonesia dan Nepal menunjukkan bahwa pembangunan tanpa iman hanya melahirkan luka sosial, seperti korupsi, kesenjangan, dan kerusuhan. Bangsa manapun tidak akan pernah kuat jika hanya membanggakan jalan tol dan gedung tinggi, tetapi melupakan pembentukan manusia bertakwa.
Solusinya jelas, kembali pada Islam sebagai sistem hidup. Dengan menerapkan sistem pendidikan Islam dalam kurikulum, negara akan melahirkan generasi beriman yang cerdas, adil, dan bertanggung jawab.
Mereka inilah aset terbesar bangsa, bukan gedung tinggi, bukan mobil mewah, bukan angka pertumbuhan ekonomi, tapi manusia bertakwa yang takut melanggar perintah Allah dan menjadikan ridha-Nya sebagai tujuan hidup. []
Nabila Zidane
Jurnalis
0 Komentar