Kaum Liberal: Kesepian di Tengah Keramaian


MutiaraUmat.com -- Ada satu penyakit zaman now yang makin menjamur, tapi anehnya nggak ada obatnya di apotek manapun. Namanya kesepian di tengah keramaian.

Kalau di feed Instagram keliatan bahagia, di TikTok jogetnya nggak kalah lincah, nongkrong rame-rame pun selalu update “Cheerss guys” tapi begitu pulang ke kamar? Hening. Sepi. Cuma suara kipas angin atau AC rusak yang setia nemenin.

Itu lho, tipikal kaum liberal. Hidupnya kayak “Kebebasan level unlimited” tapi hatinya kayak kartu paket yang udah expired.

Kosong di Balik Sorak-sorai

Di permukaan, liberalisme kasih ilusi kebahagiaan, bebas nongkrong, bebas ngomong, bebas pake baju sesuka hati, bebas nentuin hidup sendiri tanpa aturan Tuhan. Kedengerannya kayak life goals, ya kan? Tapi kenyataannya, hati makin kosong.

Kebahagiaan cuma sebatas likes di medsos, tepuk tangan basa-basi di tongkrongan, atau validasi receh dari circle pertemanan. Begitu jatuh sakit, siapa yang nongol? Cuma keluarga. Begitu gagal, siapa yang dukung? Pada bubar jalan. Yang ada malah bilang, “Sabar ya bro, hidup emang gitu kok,” lalu ilang ditelan notif WhatsApp.

Dan parahnya, makin dikejar dunia, makin jauh rasanya. Kata pepatah, “Semakin diminum semakin haus.” Hawa nafsu emang nggak punya kata “Cukup”. Mau rumah mewah, udah punya. Eh ngincer villa. Udah punya villa, ngincer pulau pribadi. Begitu seterusnya sampai ajal datang, baru sadar semua cuma titipan.

Merasa Dikenal, Padahal Siapa Peduli?

Di dunia liberal, manusia gampang banget jadi angka. Kayak “Just another person” di antara lautan orang. Ada atau nggak ada, nggak ngaruh. Hilang dari tongkrongan? Nggak dicari. Mati pun, yang nangis paling keluarga inti.

Lucunya, kebahagiaan diukur dari “Rame-rame”. Nggak rame? Nggak keren. Nggak eksis. Padahal sering kali, makin rame makin kosong. Sampai-sampai, keluarga sendiri diabaikan. Anak ditinggal main gadget sendiri seharian, pasangan ditinggal kerja tanpa henti. Demi apa? Demi pengakuan dunia yang fana. Ujung-ujungnya hidup makin nelangsa, kaya enggak, bahagia juga enggak, norak? Iya.

Bahagia dalam Islam Itu Simpel

Beda sama Islam. Dalam Islam, bahagia itu bukan soal berapa banyak harta yang kamu punya, tapi soal seberapa banyak kamu bisa bersyukur.

Ibnu ‘Ata’illah as-Sakandari pernah mengatakan dalam Al-Hikam, “Kebahagiaan itu ada pada merasa cukup dengan Allah, bukan pada banyaknya kepemilikan dunia.”

Jleb. Dalem banget. Jadi, yang bikin hati lega bukan saldo rekening yang nambah, tapi hati yang ngerti bahwa Allah udah cukup jadi tempat sandaran.
Makanya orang beriman, meski hidup sederhana, tetep bisa bahagia. Mereka paham bahwa dunia cuma mampir ngombe. Fokusnya bukan sekadar “How to survive”, tapi “How to serve” gimana caranya jadi hamba Allah yang taat.

Solusi Bahagia: Syukur, Taat, dan Dakwah

Nah, di sinilah bedanya Islam sama liberalisme. Liberal ngasih resep palsu, bebas sebebas-bebasnya. Islam ngasih resep yang legit, yaitu syukur, taat, dan dakwah.

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani pendiri Hizb ut-Tahrir pernah menekankan bahwa manusia hanya bisa menemukan ketenangan hakiki kalau hidupnya diatur syariat Allah secara kaffah. Kenapa? Karena aturan manusia selalu berubah sesuai hawa nafsu, sementara aturan Allah sempurna dan sesuai fitrah. Bayangin deh:

Pertama, syukur bikin hati tenang. Karena sadar, nikmat kecil pun cukup kalau Allah ridha. 

Kedua, taat bikin hidup punya arah. Nggak lagi bingung “Mau ke mana nih hidupku?” karena jelas, targetnya surga.

Ketiga, dakwah bikin hidup bermakna. Karena kita nggak cuma mikirin diri sendiri, tapi ngajak orang lain buat sama-sama jalan di kebenaran.

Jadi, kalau kaum liberal bilang, “Hidup kan cuma sekali, nikmatin aja sebebasnya.”
Islam jawab, “Hidup memang sekali, makanya gunakan sesuai aturan syariat biar nggak nyesel di akhirat.”

Oleh karena itu, segera sadar dan bangkit. Ubah pemikiran dari liberal menjadi Islami mumpung masih ada kesempatan umur. Jangan mau ketipu ilusi setan.

Hidup liberal itu kayak ngejar bayangan. Dari jauh keliatan nyata, tapi makin dikejar makin kabur. Bahagia ala liberal cuma ilusi. Ada gemerlap, tapi nggak ada kedalaman.

Sementara Islam ngajarin bahagia sejati itu sederhana, yaitu syukur, taat, dan dakwah. Kaya-miskin bukan ukuran. Yang penting hati dekat sama Allah.

Kata Ibnu Attaillah, bahagia itu merasa cukup dengan Allah. Kata Syekh Taqiyuddin, kebahagiaan hakiki hanya bisa lahir dari hidup yang diatur syariat. Kalau dua ulama ini udah sepakat, masa kita masih ngeyel?

Jadi, yuk balik ke Islam kaffah. Jangan cuma jadi penonton dalam keramaian dunia. Jadilah hamba yang benar-benar punya makna. Karena bahagia bukan tentang seberapa ramai hidup kita, tapi seberapa ridha Allah kepada kita. []


Nabila Zidane
Jurnalis

0 Komentar