Kapitalisme Pendidikan Terus Menuai Masalah, Islam Solusinya


MutiaraUmat.com -- Di tengah segala upaya untuk menuntaskan problem pendidikan, tapi malah menjadikan semakin jelas bahwa problem ini terus terurai tanpa menemukan solusi yang paripurna. Masalah demi masalah terus bermunculan. Salah satunya adalah masih minimnya sarana dan prasarana pendidikan di daerah yang jauh dari perkotaan. Misalnya di SD Negeri 084 Amballong, Desa Embonatana, Kecamatan Seko, Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Kondisi ruang kelas yang digunakan jauh dari kondisi ruang-ruang kelas di kota. Kondisi serupa dialami warga Desa Tau Lumbis, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara; warga di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Aruk, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat; dan daerah lainnya. Problem tersebut diperparah dengan kondisi akses transportasi yang sulit dan mahal. (Tribun News)

Selain itu, permasalahan rendahnya tingkat partisipasi sekolah masih mengemuka. Badan Pusat Statistik (BPS) menemukan bahwa tingkat partisipasi sekolah penduduk usia 16–18 tahun pada 2024 tercatat hanya sebesar 74,64% atau terdapat sekitar 25,36% penduduk usia 16–18 tahun yang tidak bersekolah. Di beberapa daerah di Papua Pegunungan, rata-rata lama sekolah bahkan hanya sekitar lima tahun. Rendahnya kemampuan ekonomi orang tua juga menjadi salah satu faktor yang menyulitkan siswa untuk mengakses pendidikan. Kesejahteraan guru yang rendah pun menambah karut-marut problem pendidikan. 

Sementara itu, dalam alokasi anggaran pendidikan di RAPBN 2026, sebanyak 29% diperuntukkan MBG. Berdasarkan keterangan terbaru Menkeu Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran DPR, Kamis (21-8-2025), porsi anggaran pendidikan masih tergerus oleh program Makan Bergizi Gratis (MBG). Dari total anggaran pendidikan, 29% atau Rp223,6 triliun dialokasikan untuk MBG, turun dari sebelumnya 44,2% (Rp335 triliun).

Sri Mulyani menjelaskan, anggaran MBG secara keseluruhan tetap Rp 335 triliun, tetapi kini sebagian diambil dari pos lain, yaitu Rp24,7 triliun dari anggaran kesehatan, Rp 19,7 triliun dari fungsi ekonomi, dan Rp 67 triliun dari anggaran cadangan. Meski demikian, jumlah Rp 223,6 triliun yang tetap dibebankan kepada anggaran pendidikan masih sangat besar, hampir sepertiga dari total 20% porsi pendidikan dalam APBN. 

Politik anggaran pendidikan yang lebih condong pada pada program populis jangka pendek ketimbang untuk menguatkan akar pendidikan. Alokasi dana yang sangat besar untuk MBG seharusnya tidak mengabaikan pembiayaan sekolah, peningkatan mutu guru, serta akses pendidikan di daerah tertinggal, terluar. Belum lagi angaran yang tersedot untuk sekolah rakyat dan sekolah garuda.
Hal ini jelas memperlihatkan proporsi anggaran pendidikan jauh dari memadai untuk memenuhi kebutuhan pendidikan seperti sarana-prasarana pendidikan, kesejahteraan guru, pemerataan pendidikan, peningkatan kualitas guru, dan lainnya. Jadi walaupun dinaikkan angaran pendidikan akan tetap amburadul ketika sistem yang digunakan untuk mengatur pendidikan adalah sistem sekuler. Belum lagi ditambah dengan bocornya anggaran dalam berbagai pos akibat adanya korupsi, lemahnya pengawasan, terhadap birokrasi dalam serapan anggaran, dan ketimpangan anggaran pendidikan. 

Output Pendidikan Sekuler 

Kita semakin miris dengan output yang dihasikan sistem pendidikan yang diterapkan di negeri ini seperti maraknya tawuran dan tindak kiriminal lainnya di kalangan pelajar akibat jiwa para pemuda yang kosong dari keimanan dan nilai-nilai Islam. Jadilah mereka generasi yang mudah galau, emosinya labil, mudah meledak-ledak, dan nirempati. Sistem pendidikan yang berbasis kapitalis sekuler memungkinkan menjadikan pelajar mudah melukai dan menghabisi nyawa manusia. Tidak punya rasa empati terhadap sesama manusia.

Sementara di kalangan mahasiswa adanya fenomena duck syndrome yang menggambarkan kondisi mahasiswa yang tampak tenang, percaya diri, dan mampu menguasai keadaan di permukaan, padahlal di balik itu mereka sedang berjuang keras, stres, bahkan tertekan untuk memenuhi tuntutan akademik maupun sosial.

Standar kebenaran dan perilaku tidak lagi merujuk pada halal-haram, melainkan pada kebebasan berekspresi, berpikir, dan bertindak. Lebih jauh, pendidikan dalam kerangka kapitalisme menjadikan sekolah bukan lagi ruang pembentukan akhlak, melainkan komoditas. Pendidikan mahal, kurikulum diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja,

Inilah mengapa, generasi yang dihasilkan cenderung permisif, bebas berperilaku, dan kehilangan pedoman moral. Memang program “penguatan karakter” dihadirkan dalam sistem pendiidkan saat ini, tetapi di lapangan, anak-anak justru dilatih menjadi roda kecil dalam mesin ekonomi kapitalisme.

Penyebabnya Sistem Pendidikan Kapitalis

Inilah akibat dari penerapan sistem kapitalisme dalami bidang pendidikan di negeri ini . Kapitalisme menjadikan pendidikan sebagai komoditas. Biaya pendidikan terus melambung tinggi, menjadikannya sebagai barang mewah yang tidak semua anak bangsa bisa menikmati. Sekolah dan kampus sering kali lebih mirip “pasar pengetahuan”, tempat ijazah diperdagangkan demi gengsi sosial dan akses pekerjaan.

Sistem pendidikan sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan mengambil HAM sebagai standar dan mencabut nilai-nilai agama dari para pelajar sehingga melahirkan generasi hedon, liberal, rapuh, serta niradab. Para pelajar menjadi terjangkiti pola pikir materialistik dan gaya hidup liberal hingga menjadikan mereka mengalami krisis identitas dan kehilangan visi akhirat.

Lebih dari itu, sistem pendidikan yang ada diarahkan untuk memenuhi kebutuhan industri, bukan kebutuhan bangsa. Kurikulum terus berubah mengikuti logika pasar global, menghasilkan lulusan yang “siap kerja”, tetapi tidak siap membangun peradaban. 

Kebijakan pendidikan kerap masih mengekang. Guru dan siswa dibebani standar administratif yang kaku, kurikulum pendidikan sekuler yang bergonta-ganti. Kesejahteraan guru honorer juga sangat rendah karena digaji dengan standar minimal upah yang bahkan tidak cukup untuk bertahan hidup.

Pemerataan pendidikan yang seharusnya membawa keadilan justru masih dipasung oleh sistem yang menempatkan uang sebagai penentu utama. Termasuk jauhnya kesenjangan pendidikan di perkotaan dan di desa hingga perbatasan.

Solusi Islam (Penerapan Politik Pendidikan Islam)

Berbagai problem pendidikan era kekinian sejatinya sudah diberikan solusinya dalam politik pendidikan Islam yang diterapkan oleh Negara Islam (Khilafah Islamiah). Pendidikan Islam merupakan sitem dari sebuah suprasitem Islam dalam negara Khilafah. Dalam perspektif Islam, pendidikan harus bertumpu pada akidah Islam. Islam memandang pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, melainkan pembentukan kepribadian Islam yang utuh. Kurikulum dalam Islam berlandaskan akidah Islam sehingga setiap ilmu—baik sains maupun humaniora—dikaitkan dengan keimanan kepada Allah swt. Moral dan akhlak dikawal ketat oleh syariat Islam yang jelas standar halal-haramnya. Kedua, orientasi peradaban umat. 

Adapun dalam politik pendidikan, Khilafah akan memastikan tujuan pendidikan, kurikulum, dan semua perangkat yang dibutuhkan, termasuk guru dan sarana prasarana. Dengan demikian akan tercipta tata kelola yang sederhana dalam aturan, cepat dalam pelayanan, dan dijalankan oleh orang-orng yang kapabel, amanah dalam tugas sehingga memutus penyimpangan termasuk penyimpangan anggaran dalam pendidikan.

Pendidikan Islam menjadikan biaya bukan sebagai penghalang. Dalam sejarah peradaban Islam, negara menanggung biaya pendidikan sehingga seluruh rakyat, kaya maupun miskin, berhak mengakses ilmu dengan kualitas terbaik. Negara akan mengelola kas negara dengan baik sesuai dengan aturan syariat sehingga menghasilkan kekuatan finansial yang mampu menyelengarakan sistem pendidikan yang terjangkau bahkan gratis hingga ke pendidikan tinggi. Tata kelola Pendidikan akan menjadikan Islam sebagai pengatur kehidupan. Negara bertanggung jawab langsung untuk menyelenggrakan pendidikan artinya negara hadir untuk rakyat dan menjamin penyelenggaran pendidikan sebagai hak dasar bagi seluruh warna negara. 

Guru pun dimuliakan sebagai teladan, bukan dicurigai apalagi dikriminalisasi. Dengan orientasi tidak hanya dunia tetapi juga akhirat, pendidikan Islam akan menghasilkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga bertakwa, berakhlak mulia, dan berjiwa pemimpin.[]


Eva Fauziyah
(Aktivis Muslimah)

0 Komentar