Menghentikan Kekerasan Fisik dan Seksual terhadap Anak dengan Pendekatan Islam
MutiaraUmat.com -- Seorang laki-laki di Buton, Sulawesi Tenggara, ditangkap setelah melakukan pemerkosaan terhadap keponakannya. LH (54) melakukan tindakan keji ini sejak lima tahun lalu ketika korban masih berusia 8 tahun. Kasus kekerasan seksual terhadap anak menjadi masalah serius di wilayah ini. Kepala Seksi Humas Polres Buton, Ajun Komisaris Suwoto, menjelaskan bahwa kasus ini terungkap setelah keluarga korban melaporkan kejadian tersebut. Pihak kepolisian kemudian menyelidiki dan berhasil menangkap LH, yang profesinya sehari-hari adalah seorang petani. (kompas.com, 23 Juni 2025)
Data yang diperoleh dari Simfoni PPA mencatat bahwa pada tahun 2023 terdapat 189 insiden kekerasan terhadap anak, sedangkan pada tahun 2024 angkanya menurun menjadi 150 insiden. Namun, hingga bulan Mei 2025, jumlah tersebut sudah mencapai 87 insiden, dengan mayoritas korban adalah anak perempuan. Menurut Sri Puji, angka ini belum bisa dianggap sebagai perbaikan karena pola kekerasan yang terjadi masih konsisten dan paling banyak berada dalam kategori kekerasan seksual. Ini menunjukkan bahwa masalah yang mendasari belum ditangani dengan sungguh-sungguh. Dilansir dari kaltimedia (23/6/2025).
Semua aspek yang menyebabkan terjadinya kekerasan fisik dan seksual pada anak tidak dapat dipisahkan dari akar permasalahannya, yaitu sistem kapitalisme sekuler yang berlaku sekarang. Sistem ini mengabaikan naluri orang tua yang seharusnya bertanggung jawab dalam melindungi anak-anak mereka. Sistem kapitalisme sekuler telah menghancurkan fungsi keluarga sebagai tempat yang aman dan sebagai sumber kepercayaan moral bagi anak.
Saat ini, fokus pendidikan dalam keluarga lebih terarah pada pencapaian materi, tanpa diimbangi dengan pemahaman Islam yang benar. Kurangnya pengetahuan serta pemahaman mengenai pola asuh dan pendidikan anak dalam Islam membuat peran orang tua menjadi tidak efektif.
Akibatnya, nilai-nilai ketakwaan yang seharusnya berkembang dan meresap dalam keluarga justru berkurang karena terpengaruh oleh nilai-nilai sekuler dan kebebasan yang jauh dari panduan wahyu. Orang tua bisa menjadi pelaku kekerasan fisik dan seksual. Sementara itu, anak-anak juga berisiko mengembangkan perilaku negatif dan melakukan maksiat, sehingga akhlak mereka bisa rusak akibat pengaruh pergaulan bebas yang menyesatkan.
Apalagi ketika kedua orang tua bekerja dengan padat di luar rumah. Pada saat itu, anak-anak lebih sering diasuh dan diajari oleh lingkungan di sekitar mereka. Tempat di mana anak tumbuh memiliki pengaruh besar terhadap perubahan sikap dan kepribadian mereka. Aspek ekonomi juga berkontribusi pada meningkatnya kasus kekerasan terhadap anak.
Tekanan ekonomi dapat membuat orang tua tidak rasional hingga menyiksa dan mengabaikan anak, bahkan melakukan tindakan kekerasan seksual. Misalnya, pelaku hubungan inces dalam kasus yang disebutkan sebelumnya mengakui bahwa ia tega menyetubuhi anaknya sendiri karena ingin cepat mendapatkan kekayaan dengan cara yang instan.
Keterbatasan finansial menjadi salah satu penyebab mengapa orang tua kurang memperhatikan cara mendidik dan membesarkan anak. Keterbatasan ekonomi sering kali menjadi alasan utama bagi orang tua untuk lebih fokus mencari uang dan memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka. Akibatnya, anak-anak menjadi terlantar dan tidak mendapatkan pendidikan yang seharusnya. Kontrol emosi yang buruk juga merupakan faktor yang menyebabkan kekerasan terhadap anak.
Sistem kapitalisme sekuler telah membentuk karakter masyarakat menjadi lebih emosional atau temperamental. Sudah banyak kasus kriminal yang terjadi akibat provokasi emosi atau kemarahan sesaat yang berujung pada kehilangan nyawa, termasuk anak-anak.
Lingkungan sosial dan budaya yang memberi toleransi terhadap kekerasan juga berdampak pada tingginya jumlah tindakan kekerasan. Apabila anak dibiasakan dengan perilaku yang menggunakan kekerasan untuk mengatasi masalah, maka sikap tersebut akan semakin mengakar pada diri mereka. Anak-anak sangat mahir meniru. Cara orang dewasa berinteraksi dengan mereka akan ditiru ketika mereka berinteraksi dengan orang lain.
Di sisi lain, lingkungan yang sekuler juga membentuk karakter anak menjadi sekuler. Jika masyarakat menganggap kemaksiatan dan keburukan sebagai hal yang biasa, hal ini akan menyebabkan perilaku tercela dan maksiat diterima sebagai norma, sehingga orang tidak lagi merasa bersalah atau takut terhadap dosa.
Peran media dan menjamurnya pornografi seharusnya menjadi tanggung jawab negara untuk melakukan pencegahan. Pemerintah perlu mengontrol dan memantau konten, acara, serta produksi film yang berkaitan dengan pornografi atau kekerasan.
Namun, sekularisme telah melemahkan fungsi negara dalam hal ini. Film yang mengandung unsur maksiat dan kekerasan dapat diproduksi secara bebas tanpa adanya pengawasan yang tegas. Konten yang tidak mendidik masih banyak beredar dan mudah diakses. Acara tontonan pun menjadi panduan. Mereka yang seharusnya memandu perilaku tidak lagi berpijak pada ajaran Islam. Pandangan sekuler menciptakan cara hidup dan pemikiran yang liberal, yang mendorong kebebasan dalam berekspresi dan bertindak.
Di sisi lain, peraturan hukum yang ada belum mampu memberikan efek jera, meskipun telah terdapat sanksi untuk pelanggaran terkait kekerasan terhadap anak. Aturan yang sudah ditetapkan, seperti Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan undang-undang sejenis, tidak berhasil menurunkan angka kasus kekerasan terhadap anak, bahkan jumlahnya semakin bertambah. Ini menunjukkan bahwa negara kurang efektif dalam menjamin dan melindungi anak dari tindak kekerasan.
Walaupun di setiap daerah telah diusahakan untuk menjadi kota atau sekolah yang ramah anak, jika sistem sekuler masih mendominasi, hasil positifnya tidak akan tampak. Program pendidikan anti kekerasan atau sejenisnya juga tidak akan berhasil mencegah kekerasan terhadap anak selama paradigma sekuler tetap kuat dalam kehidupan sehari-hari. Sekularisme menyebabkan orang tua kurang memberikan pemahaman tentang iman dan ketaatan kepada Allah Ta'ala.
Sekularisme menyebabkan hilangnya kegiatan amar makruf nahi mungkar dalam masyarakat. Sekularisme juga memperkecil peran negara dalam melindungi anak dari berbagai kejahatan dan tindak kekerasan. Semua pihak perlu menyadari bahwa sumber utama meningkatnya kekerasan terhadap anak adalah ideologi kapitalisme beserta keyakinan sekularisme yang menyertainya
Dalam Islam, menjaga dan melindungi generasi adalah tanggung jawab yang diemban oleh tiga pihak. Pertama, keluarga yang berfungsi sebagai lembaga pendidikan pertama dan utama. Orang tua, baik ayah maupun ibu, perlu menerapkan pola asuh dan pendidikan yang berlandaskan pada keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Salah satu peran penting keluarga adalah sebagai pelindung. Selain itu, menurut ajaran Islam, keluarga juga berperan dalam membentuk karakter Islam pada semua anggotanya, sehingga setiap orang dalam keluarga bisa memiliki pemahaman yang benar dan komitmen untuk melaksanakan kewajiban sesuai syariat.
Keluarga seharusnya menjadi tempat yang aman dan dipenuhi dengan suasana bahwa syariat Islam adalah petunjuk dalam beramal baik. Kedua, lingkungan. Komunitas memiliki peran penting dalam menciptakan suasana yang mendukung perkembangan anak. Masyarakat bertindak sebagai pengawas dan pengendali perilaku anak dari tindakan yang salah dan tidak pantas. Penerapan sistem sosial sesuai dengan prinsip Islam akan membantu masyarakat untuk terbiasa melakukan amar makruf nahi mungkar kepada siapa saja.
Kedua, lingkungan. Komunitas memiliki peran penting dalam menciptakan suasana yang mendukung perkembangan anak. Komunitas berfungsi sebagai pengawas dan pengendali perilaku anak dari tindakan kriminal dan perilaku negatif. Penerapan sistem sosial dalam Islam akan membentuk kebiasaan masyarakat untuk menjalankan amar makruf nahi mungkar kepada setiap individu. Ketiga, negara sebagai pengelola utama.
Tugas negara adalah memenuhi kebutuhan mendasar seperti pakaian, makanan, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, dan keamanan bagi setiap anak. Untuk membantu terciptanya keluarga yang mengikuti aturan syariat, negara menerapkan pendidikan yang berlandaskan akidah Islam sebagai kurikulum inti di institusi pendidikan. Tujuan dari kurikulum berlandaskan akidah Islam adalah untuk menghasilkan generasi yang memiliki cara berpikir dan sikap yang selaras dengan ajaran Islam.
Penerapan sistem pendidikan Islam yang berkualitas tanpa biaya akan memungkinkan setiap anak untuk melanjutkan pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi. Negara akan menyediakan pendidikan yang menyeluruh dan terintegrasi baik dalam sistem pendidikan maupun melalui berbagai saluran informasi dari departemen penerangan Khilafah. Peran lembaga dan saluran informasi juga berfungsi untuk memberikan pemahaman dan membimbing setiap orang, termasuk orang tua, agar menjadi hamba Allah yang taat.
Dengan cara itu, sistem Islam memberikan jawaban yang jelas dalam mencegah dan menangani masalah, dengan maksud untuk melindungi kelangsungan generasi agar terhindar dari berbagai ancaman seperti kekerasan, kriminalitas, dan kerusakan. []
Oleh: Kanti Rahayu
(Aliansi Penulis Rindu Islam)
0 Komentar